Ledakan dahsyat di Beirut, Libanon pada Selasa (4 Agustus 2020) petang, diduga didalangi oleh kelompok Hizbullah. Namun kelompok itu langsung membantahnya. Terkait itu, Hizbullah amat kerap disebut-sebut menggunakan Bitcoin guna mendanai organisasinya. Benarkah?
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
Fakta penting saat ini adalah ekonomi Libanon sedang morat-marit. Inflasi raksasa (hyperinflation) mencapai 200 persen, angka tertinggi setelah perang sipil.
Sanksi ekonomi oleh AS pun kian berdampak parah, sehingga akses dolar AS ke ekonomi negara itu semakin menipis.
Libanon kini tercatat sebagai negara pertama di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) dalam sejarah yang mengalami hiperinflasi, kata Steve H. Hanke, Profesor Ekonomi Terapan di Universitas Johns Hopkins, dan pakar hiperinflasi, akhir Juli 2020 lalu.
Hanke memastikan bahwa ini adalah krisis terburuk bagi Lebanon sejak perang saudara 1975-1990. Situasi menjadi lebih buruk, ketika negara gagal membayar utangnya pada Maret 2020.
Data resmi yang dikutip oleh Credit Libanais menunjukkan, bahwa biaya makan dan pakaian masing-masing naik 190 persen dan 172 persen pada Mei 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Laporan lain menunjukkan statistik serupa awal bulan ini.
Mata uang Pound Lebanon telah kehilangan 82 persen dari nilainya terhadap dolar AS di pasar gelap sejak Januari 2020.
Hizbullah, Libanon dan Bitcoin
Konon, di antara organisasi ekstremis paling menonjol pada 2020, Hizbullah di Libanon Selatan bisa dibilang paling mungkin mendapat manfaat dari penggunaan aset kripto seperti Bitcoin.
Hizbullah dikelompokkan sebagai kelompok teror oleh Amerika dan oleh 17 negara lainnya. Namun, sejumlah negara Uni Eropa tidak mengklasifikasikan Hizbullah sebagai kelompok teror.
Pada Juni 2020, Randa Slim, Direktur Program Diplomasi Lebanon-Amerika di lembaga think tank Middle East Institute di Washington DC, mengatakan dia yakin Hezbollah tertarik pada Bitcoin.
“Tidak ada pihak lain di Libanon yang memiliki jenis akses ke sumber daya keuangan atau infrastruktur militer untuk dapat mempertahankan perannya. Kita akan melihat dominasi Hizbullah atas kehidupan politik negara itu, dan semakin meningkat dalam kehidupan ekonomi negara itu,” kata Slim, merujuk pada krisis ekonomi Lebanon saat ini.
Kekuatan Hizbollah mungkin tumbuh, tetapi Bitcoin tampaknya tidak memainkan peran penting sejauh ini. Slim mengatakan dia belum melihat fokus dalam media yang berafiliasi dengan Hezbollah dan publikasi tentang aset kripto.
Jauh sebelum ledakan besar kemarin, Nassim Nicholas Taleb, penulis buku terkenal The Black Swan dan Fooled by Randomness mendesak agar warga Libanon agar menggunakan aset kripto, seperti Bitcoin, karena bank semakin menerapkan kontrol yang lebih ketat di tengah krisis keuangan yang semakin dalam.
Pada 16 April 2020 Bank Sentral Libanon memerintahkan pengiriman uang asing untuk dibayarkan dalam mata uang lokal dengan “kurs pasar”. Dari sudut pandang bank, itu adalah langkah-langkah menghindari bank rush.
Tak hanya kali ini Taleb menyuarakan dukungannya terhadap aset kripto, khususnya Bitcoin. Pada Desember 2019 lalu dia sangat senang bahwa dunia memiliki aset kripto.
“Ya, memang penipuan berkedok aset kripto itu adalah nyata dan tak dapat dihindarkan. Tetapi, ketika Anda melihat pemerintah, seperti di Libanon, yang melakukan penipuan mirip Skema Ponzi, maka Anda tahu benar mana yang lebih baik,” tegasnya kala itu.
Semakin Mudah Dilacak
Transaksi aset kripto, khususnya Bitcoin memang tidak sepenuhnya anonim alias pseudononim. Artinya, kendati sangat mudah mentransfer dana dalam bentuk Bitcoin ke manapun dan di manapun, selama pelakunya masih memerlukan uang fiat alias uang biasa yang diterbitkan negara, sangat mudah bagi pihak berwenang untuk melacaknya.
Jadi, dalam konteks Bitcoin digunakan secara masih untuk tindak kejahatan, sangatlah mustahil menjadi efektif. Uang tunai yang fisik tetap jadi primadona, karena lebih sulit untuk dilacak. Koruptor manapun suka uang tunai daripada Bitcoin. [red]