Harga Bitcoin (BTC) semakin mencuri perhatian di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump. Ancaman tarif impor baru berpotensi memicu inflasi dan ketegangan ekonomi, menjadikan Bitcoin sebagai aset lindung nilai yang semakin relevan saat ini.
Bitcoin Jadi Safe Haven di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Trump memperpanjang kebijakan tarif impor hingga Agustus 2025, menaikkan tarif tembaga sebesar 50 persen dan produk farmasi hingga 200 persen jika produksi tidak dipindahkan ke AS.
Selain itu, tarif tambahan 10 persen diberlakukan pada India, Indonesia, dan negara BRICS, sementara Uni Eropa juga terancam akibat ketegangan pajak pada perusahaan teknologi asal AS.
AS Ancam Jepang dengan Tarif 35 Persen, Bagaimana Nasib Pasar Kripto?
Menurut Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, kebijakan tarif agresif Donald Trump memperburuk ketidakpastian perdagangan global, dengan hanya Inggris dan Vietnam yang berhasil mencapai kesepakatan.Â
“China hanya mendapatkan penundaan terbatas. Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara Asia lainnya, termasuk Indonesia, telah diberitahu mengenai rencana tarif antara 25 persen hingga 40 persen, yang dapat meningkat jika negara-negara tersebut merespons dengan tindakan balasan,” jelas Fahmi.
Dalam kondisi ini, Fahmi berpendapat bahwa Bitcoin berpotensi menarik minat sebagai “safe haven” bagi investor yang ingin melindungi kekayaan mereka dari ancaman inflasi dan stagflasi. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa volatilitas jangka pendek masih berpotensi meningkat.
“Investor kripto sebaiknya mencermati indikator inflasi, pergeseran sentimen risk-off, serta rotasi modal antar aset, terutama jika ketegangan perdagangan semakin meningkat di paruh kedua 2025,” tambahnya.
Rasio Inflow/Outflow Bitcoin Capai Level Terendah
Data on-chain terbaru menunjukkan bahwa rasio inflow/outflow Bitcoin ke exchange saat ini berada di angka 0,9, level terendah yang pernah dicapai sejak 2022, menandakan adanya akumulasi jangka panjang.

Fahmi Almuttaqin, Analis Reku, menyebutkan bahwa kondisi yang terjadi saat ini di pasar memberi sinyal yang sangat positif untuk prospek harga Bitcoin ke depan.
“Gabungan antara rendahnya rasio inflow/outflow dan perpindahan aset institusional menunjukkan bahwa harga saat ini menjadi fondasi kuat. Jika pola siklus sebelumnya kembali terulang, kita bisa menyaksikan reli harga baru pada semester kedua 2025,” ujar Fahmi.
Lebih lanjut, data yang diungkap oleh analis CryptoQuant menunjukkan bahwa lebih dari 19.400 BTC baru-baru ini dipindahkan dari dompet lama ke dompet institusional. Ini mengisyaratkan aksi penempatan strategis oleh institusi besar.

Meskipun saat ini ada tekanan jual jangka pendek, harga Bitcoin tetap bertahan di kisaran US$100.000 hingga level US$110.000. Ini berkat minat beli yang tinggi dari pelaku pasar, yang memberikan pijakan penting bagi pergerakan harga BTC selanjutnya.
“Kisaran harga US$100.000 saat ini bukan hanya titik support teknikal, tetapi mulai menjadi zona akumulasi fundamental untuk potensi reli berikutnya,” tambah Fahmi.
Waktu Tepat untuk Menabung Bitcoin?
Bagi investor kripto, ini bisa jadi saat yang tepat untuk meningkatkan eksposur dengan menabung Bitcoin secara bertahap menggunakan strategi dollar-cost averaging (DCA). Namun, Fahmi Almuttaqin mengingatkan pentingnya manajemen risiko karena fluktuasi jangka pendek tetap mungkin terjadi.Â
Ancaman tarif baru dari Trump semakin menambah ketidakpastian pasar global. Meskipun demikian, Bitcoin berpotensi menjadi aset lindung nilai yang menarik di tengah situasi ini, karena ketegangan ekonomi lebih berdampak pada pasar tradisional.
Data on-chain menunjukkan akumulasi institusional, yang mengindikasikan harga Bitcoin berada pada titik kuat untuk melanjutkan reli harga. Investor bisa memanfaatkan peluang ini, namun tetap perlu waspada terhadap fluktuasi pasar crypto yang bisa terjadi. [dp]