Bitcoin Disiapkan Jadi Aset Negara? Simak Langkah Nyatanya

Dalam beberapa bulan terakhir, perdebatan seputar posisi Bitcoin dan emas sebagai aset lindung nilai kembali menguat. Dalam video terbarunya, Anthony Pompliano, investor dan pendiri Professional Capital Management, menyampaikan pandangannya dalam diskusi bersama Polina Pompliano, Penulis buku Hidden Genius dan Pendiri dari The Profile.

Menurut Anthony, baik Bitcoin maupun emas sama-sama berfungsi sebagai bentuk uang sehat yang tidak bisa diciptakan kembali secara sewenang-wenang. Namun, pergerakan keduanya menunjukkan dinamika yang berbeda, terutama dalam situasi pasar yang penuh ketidakpastian.

Ia menjelaskan bahwa pada saat krisis, investor cenderung menjual berbagai aset dan beralih ke bentuk likuid seperti dolar AS dan obligasi pemerintah. Dalam proses ini, emas biasanya menjadi pilihan utama sebelum akhirnya Bitcoin menyusul.

Salah satu alasan utamanya adalah karena institusi besar dan bank sentral masih belum sepenuhnya nyaman atau diperbolehkan untuk mengalokasikan dana ke Bitcoin.

“Mereka ingin aset penyimpan nilai, jadi mereka beli emas lebih dulu. Bitcoin datang belakangan,” ujar Anthony.

Emas Naik Lebih Dulu, Bitcoin Menyusul

Anthony juga mengutip data dari David Foley dan Lawrence Leard yang menunjukkan bahwa pergerakan harga emas biasanya mendahului Bitcoin sekitar 100 hari. Meskipun saat ini emas unggul secara tahunan, dalam jangka panjang Bitcoin tetap mencatatkan performa lebih tinggi dibandingkan emas.

Ia pun percaya tren ini akan berlanjut, seiring meningkatnya pemahaman dan adopsi Bitcoin oleh institusi besar.

Yang menarik, ia juga menyoroti bahwa keberhasilan Bitcoin tidak serta-merta bertentangan dengan kekuatan dolar AS. Justru keduanya bisa tumbuh bersama.

“Sekarang dolar AS dan Bitcoin justru saling menguatkan. Mereka berjalan beriringan,” ungkapnya.

Gedung Putih dan Sinyal Positif untuk Bitcoin

Dalam kunjungannya ke Gedung Putih, Anthony mengungkapkan bahwa para pejabat di pemerintahan AS, termasuk Bo Hines, mulai menunjukkan pemahaman lebih dalam terhadap teknologi kripto. Ia bahkan menyebut bahwa Bitcoiners kini telah masuk ke dalam lingkaran pengambil keputusan.

“Kalau Bitcoiner sudah berada di posisi berpengaruh, maka arah kebijakan akan condong ke arah yang sama,” ujarnya.

Bahkan, saat ditanya apakah pemerintah berniat membeli 1 juta Bitcoin, Hines justru menanggapi dengan bercanda, “Mungkin kita harus beli sebanyak mungkin,” yang menunjukkan niat serius untuk menambah cadangan Bitcoin.

Tarif dan Ekonomi AS: Antara Peluang dan Risiko

Selain Bitcoin, diskusi juga menyentuh kebijakan ekonomi AS, khususnya soal tarif impor. Menurut Anthony, tarif adalah bagian dari pendekatan tiga arah yang diterapkan oleh pemerintahan saat ini, yakni mendorong industri dalam negeri melalui reshoring, memberikan insentif pajak bagi masyarakat berpenghasilan di bawah US$150.000 dan melakukan deregulasi.

Namun demikian, ia menyadari bahwa strategi tersebut tidak bebas dari kritik. Mulai dari kebingungan komunikasi, ketidakpastian pelaksanaan, hingga potensi dampak terhadap bisnis kecil.

Beberapa pelaku usaha bahkan mengajukan gugatan terhadap kebijakan tarif karena dinilai melampaui kewenangan Presiden.

Meski begitu, Anthony tetap optimis. Ia percaya bahwa jika dilaksanakan secara konsisten, strategi tarif dapat mendorong produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok luar negeri, terutama dari Tiongkok.

Ia bahkan menyebut bahwa teknologi seperti robotik dan AI dapat menjadi solusi agar manufaktur di AS tetap efisien tanpa harus mengorbankan biaya tenaga kerja.

Tarif, Ketidakpastian dan Jalan Panjang Menuju Evaluasi

Mengenai efektivitas tarif, Anthony mengungkapkan bahwa hasilnya bisa mulai terlihat dalam waktu 18 bulan. Ia merujuk pada pengalaman tahun 2018 saat beberapa produk seperti mesin cuci dan baja mengalami penurunan harga setelah diberi tarif.

Namun, ia juga menegaskan bahwa kebijakan ini harus dijalankan dalam kerangka yang jelas, seperti tarif umum 5 hingga10 persen untuk semua impor AS, dan penghapusan untuk produk strategis. Jika diterapkan secara acak dan tidak terstruktur, menurutnya justru bisa menimbulkan efek negatif.

“Kebijakan yang baik tetap lebih penting dibanding komunikasi yang sempurna, tapi idealnya kita punya keduanya,” ujar Anthony.

Dengan berbagai manuver pemerintah AS, baik di ranah fiskal maupun kebijakan industri, Bitcoin kini tak lagi berada di pinggiran. Ia menjadi bagian dari portofolio strategis negara.

Dan ketika investor institusi mulai melihat nilai Bitcoin setara dengan emas, maka arah baru dunia keuangan global pun mulai terbentuk, perlahan namun pasti. [st]

Terkini

Warta Korporat

Terkait