Bitcoin Disorot Lagi, Akankah Gantikan Dolar AS dan Emas Dunia?

Ketika dunia terus bergulat dengan ketidakpastian ekonomi dan dominasi dolar AS mulai dipertanyakan, muncul pertanyaan besar yang kini tak lagi dianggap tabu, apakah Bitcoin bisa menggantikan peran emas dan dolar AS sebagai standar moneter global?

Dalam sebuah perbincangan di kanal YouTube Anthony Pompliano, ekonom dan penulis ternama Saifedean Ammous mengupas argumen ini secara tajam, menyentil bagaimana sistem uang kertas yang bergantung pada pencetakan tak terbatas justru menjadi akar deindustrialisasi di AS.

Menurut Ammous, keberadaan “mesin cetak uang” memungkinkan pemerintah AS membeli banyak barang tanpa menghasilkan nilai riil dari sektor industri.

“Itu merusak kapasitas kerja, merusak insentif untuk membangun industri. Kalau mau memperbaiki itu, hentikan pencetakan uang,” ujarnya.

Baginya, solusi paling realistis bukan kembali ke standar emas, melainkan membangun standar Bitcoin, di mana dolar AS hanya bisa diterbitkan jika didukung oleh kepemilikan Bitcoin yang cukup.

Stablecoin: Pendorong atau Penunda Bitcoin Standard?

Namun di sisi lain, pemerintah AS justru tampak mendorong adopsi stablecoin seperti USDT atau USDC. Alasannya cukup pragmatis, di mana stablecoin mendongkrak penggunaan dolar AS secara global, terutama di negara-negara berkembang yang mata uangnya tidak stabil.

Ammous mengakui bahwa adopsi stablecoin memang memperluas akses terhadap dolar AS, bahkan menyebut Tether sebagai “perusahaan paling efisien dalam sejarah” karena mampu menghasilkan keuntungan miliaran dolar AS hanya dengan staf di bawah 100 orang.

Tetapi, menurutnya, dampaknya terhadap dominasi dolar AS mungkin dilebih-lebihkan. Stablecoin justru lebih banyak menggantikan mata uang lokal ketimbang bersaing langsung dengan Bitcoin. Di mata Ammous, penggunaan stablecoin bisa menjadi “gerbang awal” menuju Bitcoin.

“Saat orang terbiasa pakai stablecoin, mereka juga belajar soal private key dan dompet digital. Itu membuka jalan ke Bitcoin,” ungkapnya.

Ketegangan Dagang AS-Tiongkok: Tarik Ulur yang Makan Korban Sendiri

Di luar isu moneter, Ammous juga mengkritik kebijakan tarif tinggi yang dikenakan AS terhadap produk asal Tiongkok. Ia menyebut kebijakan ini sebagai langkah yang “menyiksa rakyatnya sendiri” karena membuat barang konsumsi jadi lebih mahal dan rantai pasok industri dalam negeri semakin terganggu.

“Tarif itu seperti menghukum rakyat sendiri agar bisa memaksa lawan tunduk. Padahal, Tiongkok bisa bertahan lebih baik dibanding AS,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti bagaimana kebijakan ini memperburuk citra AS sebagai mitra dagang. Ketidakpastian dan perubahan kebijakan yang mendadak mendorong banyak negara untuk menjaga jarak.

“Ketika negara mulai bermain dengan tarif sebagai senjata politik, dampaknya bisa berujung ke isolasi ekonomi dan bahkan konflik militer,” jelas Ammous.

Bitcoin dan Masa Depan Standar Moneter

Ammous berpendapat bahwa jika pemerintah AS terus membeli Bitcoin dan menambah jumlah kepemilikannya, pada titik tertentu akan cukup untuk mendukung seluruh pasokan dolar yang beredar.

“Kalau harga BTC naik 15 kali lipat dan jumlah Bitcoin milik pemerintah cukup, maka dolar AS bisa dijamin dengan Bitcoin. Di situlah kita masuk ke Bitcoin Standard,” ujarnya.

Namun begitu, ia juga menegaskan bahwa tidak perlu semua orang bertransaksi langsung di jaringan Bitcoin utama. Cukup menjaga agar sistem tetap terdesentralisasi dan tak bisa dimanipulasi.

Sementara itu, institusi seperti BlackRock atau MicroStrategy boleh saja memegang Bitcoin dalam jumlah besar, selama mereka tetap menjaga kepentingan investornya.

Di tengah semua dinamika ini, Bitcoin tampak perlahan tapi pasti mendekati tujuannya sebagai mata uang global yang tidak bisa dicetak sembarangan, tidak bisa disensor dan tak tunduk pada kebijakan moneter sepihak.

Mungkin, dalam beberapa tahun ke depan, dunia akan benar-benar menyaksikan peralihan kekuasaan dari dolar ke satoshi. [st]

Terkini

Warta Korporat

Terkait