Peringatan terbaru dari CEO BlackRock, Larry Fink, menjadi perhatian banyak pelaku pasar keuangan di AS. Dalam forum eksklusif di “Economic Club of New York” awal April lalu, Fink menyampaikan pandangannya yang cukup tajam.
Ia menilai bahwa kebijakan ekonomi yang didorong oleh sentimen nasionalisme dan gelombang tarif baru bisa mendorong inflasi ke level yang jauh lebih tinggi dari yang dibayangkan.
Tanpa basa-basi, Fink bahkan menyebut bahwa ekonomi AS saat ini kemungkinan besar sudah berada dalam resesi, berdasarkan percakapan langsungnya dengan berbagai CEO perusahaan besar. Ungkapan itu bukan sekadar alarm biasa, tetapi gambaran langsung dari ketegangan yang mulai terasa di dunia usaha.
Tarif Baru AS dan Risiko Konsumen Terhimpit
Berdasarkan laporan Reuters, kebijakan tarif baru dari pemerintah AS, terutama terhadap Tiongkok dan beberapa negara mitra dagang lain, menjadi sorotan utama.
Dalam pandangan Fink, efek domino dari kebijakan ini bisa menyeret daya beli masyarakat karena harga barang-barang konsumsi diprediksi akan naik secara bertahap. Pada akhirnya, ini bisa memperlambat belanja konsumen, yang sejauh ini menjadi salah satu penopang utama ekonomi AS.
“Pasar bisa saja turun lagi sebanyak 20 persen jika tekanan inflasi dan penurunan konsumsi tidak tertahan,” ujar Fink.
Kutipan ini menunjukkan kekhawatiran serius terhadap arah pergerakan pasar yang kini mulai kehilangan optimisme.
Faktor Tambahan: Deportasi Massal dan Krisis Tenaga Kerja
Namun ternyata bukan hanya soal tarif. Bos BlackRock tersebut juga menyinggung potensi inflasi dari kebijakan domestik lain seperti program deportasi massal.
Menurutnya, jika tenaga kerja dalam sektor-sektor vital seperti pertanian dan teknologi terus berkurang karena kebijakan imigrasi yang ketat, maka kelangkaan tenaga kerja ini bisa mendorong lonjakan biaya produksi.
Di sisi lain, sektor-sektor tersebut sudah mengalami tekanan sejak pandemi dan kekurangan pekerja hanya akan memperburuk ketimpangan antara permintaan dan penawaran. Dalam kondisi seperti ini, logis saja jika biaya hidup naik dan inflasi makin sulit dikendalikan.
The Fed Didesak Tetap Tahan Suku Bunga
Dalam kondisi ekonomi seperti ini, banyak investor berharap agar The Fed menurunkan suku bunga untuk merangsang pertumbuhan.
Tapi Fink punya pandangan berbeda. Ia justru menilai bahwa inflasi yang didorong oleh faktor non-moneter seperti tarif dan krisis tenaga kerja di AS, bisa memaksa bank sentral untuk tetap menahan bahkan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
“Pasar terlalu cepat mengantisipasi pelonggaran moneter,” tambahnya.
Ini seolah menjadi tamparan bagi para investor yang sebelumnya optimistis akan terjadi pelonggaran kebijakan suku bunga di sepanjang tahun 2025.
Pasar Melemah, Tapi Peluang Masih Terbuka
Meski demikian, Fink tidak sepenuhnya pesimistis. Ia menyebut bahwa penurunan pasar yang terjadi bisa menjadi kesempatan bagi investor jangka panjang.
Tentu saja, tidak semua orang berani masuk ketika pasar sedang bergejolak, namun bagi sebagian investor, situasi seperti ini justru dianggap sebagai momen emas untuk membeli aset dengan harga yang lebih rendah, termasuk kripto.
Bisa dibayangkan seperti berbelanja saat diskon besar-besaran. Risiko tetap ada, tapi potensi keuntungannya pun tidak kecil jika dilakukan dengan perhitungan matang. Maka dari itu, bagi mereka yang tahan banting dan berani menantang arus, masa depan bisa saja terlihat cerah setelah badai ini lewat. [st]