Ada hal menarik yang kami peroleh dari jajak pendapat terbaru oleh Survey Monkey dan Global Blockchain Business Council. Diungkapkan rata-rata investor Bitcoin sangatlah muda, kaya dan sebagian besar adalah pria, mencapai 71 persen. Dan lebih dari separuhnya adalah kaum Milenial dan Generasi Z dengan rentang usia 18-34 tahun.
Data itu sama halnya mengatakan bahwa kedua generasi itulah yang mengalami kerugian besar dalam sejumlah ICO dan jatuh bangunnya harga Bitcoin. Jikalau menyebut sebagian di antaranya tak cukup matang untuk masuk ke dalam dunia kripto dan hanya ingin meraup keuntungan sesaat, ya tidak keliru juga.
Dalam survei berlingkup kecil oleh Clovr belum lama ini mengungkapkan, penggemar Bitcoin adalah kalangan Milenial dengan penghasilan lebih dari US$75 ribu per tahun, dan mereka tinggal di perkotaan. Survei itu dilakukan kepada 1000 responden warga Amerika Serikat (AS). Jelas tak menggambarkan situasi global, apalagi regulasi kripto di AS sendiri tak jelas dan tumpang tindih dengan beragam pendapat lintas lembaga tinggi di sana.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan kelas dunia melihat teknologi blockchain adalah ranah bisnis baru yang menggiurkan. Digadang-gadang sangat efisien dalam transaksi keuangan, perusahaan itu juga melihat peluang menjual kripto selayaknya sekuritas, sebagai instrumen mendapatkan dana dari publik tanpa melalui pasar saham sekalipun. Satu faktor pendorong yang terpenting adalah soal pasar yang sedang bertumbuh itu, remaja kian gandrung dengan investasi berbau kripto, yang sebagian besar mungkin tak punya bekal cukup ketika sudah tercemplung.
Di saat yang sama, ketika perbankan dan perusahaan non keuangan lain melihat ada gejala perubahan besar di lapangan, lama kelamaan jargon Tulip Mania yang dituduhkan terhadap Bitcoin dan kripto lain, kian sirna. Jargon itu dipindah yang jargon yang lebih lunak, yakni aset digital atau sekuritas atau komoditi, asalkan tidak disebut sebagai alat pembayaran, meskipun nyatanya memang mampu.
Harapan terbesar kepada kaum Milenial adalah kesadaran ingin belajar yang kadarnya lebih tinggi daripada sebelumnya. Berharap Bitcoin naik besar seperti sebelum medio Desember 2017 memang tak salah, tetapi diharapkan berpikir lebih rasional dan tidak gagap teknologi atau sekadar ikut-ikutan. Ekosistem blockchain dan kripto di masa depan akan jelas-jelas jauh berbeda. Bahkan dengan percepatan yang tak dapat diperkirakan, pemain besar, setidaknya dapat kita sebut sebagai investor institusi, memiliki peluang lebih besar untuk “memainkan” pasar. Mereka ibarat Goliath yang berkarakter elit, yang memiliki sumber daya besar untuk mengombang-ambingkan pandangan polos para pemain baru.
Bagaimana dengan Indonesia? Sangat naif, jika menggunakan takaran bertumbuhnya investasi kripto dari semakin banyaknya bursa kripto di Tanah Air. Ingat, kita masih berhadapan dengan keengganan para pemangku politik untuk segera menerbitkan regulasi khusus soal blockchain dan kripto. Walaupun Bappebti ingin menjadikan Bitcoin sebagai komoditi, hingga kini keluarannya tidak jelas, padahal sudah beberapa kali lembaga di bawah Kementerian Keuangan itu bertemu dengan para pelaku bisnis kripto di Tanah Air.
Filipina dan Singapura sudah memiliki rambu-rambu yang cukup matang untuk mengkomodir industri yang sangat disruptif ini. Filipina memiliki regulasi ketat bagi perusahaan mana saja yang hendak melakukan penggalangan dana melalui ICO. Regulasi itu memungkin badan pemerintah untuk mengulas terlebih dahulu whitepaper yang dimaksud, tidak bisa langsung mengumpulkan dana dari publik. Soal yang satu ini, Indonesia terkesan sangat permisif, karena banyak sekali perusahaan-perusahaan terkait blockchain dari luar negeri beroperasi di Indonesia secara daring, melalui aplikasi yang mengumpulkan dana dari orang Indonesia. Sepatutnya mereka itu mendirikan terlebih dahulu perwakilannya di Indonesia, baru bisa bertransaksi dan mengumpulkan cuan, karena bagaimanapun itu menyangkut persoalan pajak yang bisa diberikan kepada negara.
Penerbitan soal regulasi blockchain di Indonesia sudah sangat mendesak, mengingat soal pangsa pasarnya adalah kaum muda, yang secara modal pengetahuan sangat minim dengan keinginan kaya mendadak. Jangankan paham soal pasar saham, soal perbedaan antara konsep menabung dan investasi saja barangkali masih dangkal. Bahwa hasil program literasi keuangan oleh pemerintah yang dijalankan OJK dan Bank Indonesia, pun bisa dikaji ulang dengan memasukkan aspek investasi kripto ini.
Ujung-ujungnya ini adalah persoalan potensi penipuan yang datang dari dunia kripto sendiri, karena ini wacananya adalah soal duit dan cuan yang didorong oleh teknologi baru. Kita memang selalu tertinggal dengan negara lain, dan memang mungkin ditakdirkan hanya sebagai penonton, bukan pemain. Itu pun mungkin jenis penonton yang kurang cerdas. [vins]