Dolar AS Berpotensi Jatuh Keras Jika The Fed Terus Naikkan Suku Bunga di Kala Ekonomi Melemah

Dolar AS, berdasarkan indeks dolar (DXY) melonjak lebih dari 10 persen sepanjang tahun ini. Memuncak di 109,2 pada 14 Juli 2022 dan kini di kisaran 105,8, greenback diproyeksikan akan jatuh keras jika The Fed terus menaikkan suku bunga acuan di kala pertumbuhan ekonomi yang merosot.

“Dolar AS tetap mendekati tingkat tertinggi 20 tahun, tetapi The Fed saat ini bergeser menjauh dari kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif yang akan membalikkan arah dolar AS,” kata ekonom Barry Eichengreen dari UC Berkeley, dilansir dari Business Insider, Sabtu (30/7/202).

Pada tahun 2022, dolar telah melonjak lebih dari 10 persen terhadap mata uang utama lainnya. Ia menguat ke tingkat yang tidak terlihat sejak 2002, karena The Fed telah mendorong suku bunga lebih tinggi dengan kecepatan yang lebih cepat daripada yang dimiliki bank sentral lain di seluruh dunia.

Perang Rusia melawan Ukraina, meningkatnya ketegangan AS-Tiongkok atas Taiwan, dan risiko geopolitik terkait Iran, juga dapat memperkuat status dolar sebagai safe haven asset bagi investor.

“Tetapi pada akhirnya, pergerakan dolar AS baru-baru ini telah didorong oleh bank sentral. Hal yang sama akan terjadi ke depan,” kata Eichengreen.

dolar AS
Indeks dolar AS (DXY) melemah signifikan setelah memuncak lokal di 109 pada 14 Juli 2022. Sejak 18 Juli 2022 DXY berada di bawah Moving Average (MA) 50 di time frame 24 jam, sebagai cerminan pasar bersikap depresif dengan greenback itu.

Menurut Eichengreen, ada titik balik dari itu semua. Dengan The Fed relatif berada di belakang untuk menjinakkan inflasi, pasar telah memperkirakan ekspektasi kenaikan suku bunga tambahan, yang berarti setiap kenaikan di masa depan justru tidak mungkin menggerakkan dolar lebih tinggi, lagi.

Sementara itu, bank sentral di negara lain semakin agresif dengan kenaikan suku bunga mereka sendiri, tetapi dolar sudah tergelincir.

Dan risiko resesi AS meningkat drastis, sementara harga dolar saat ini didasarkan pada ekspektasi bahwa Fed akan terus menaikkan suku bunga di tengah ekonomi yang berkembang, kata Eichengreen.

Faktanya, data pemerintah yang keluar pada Kamis lalu mengungkapkan ekonomi AS mengalami kontraksi untuk kuartal kedua berturut-turut, sehinga secara teknikal AS masuk resesi, walaupun tidak separah Maret 2020.

“Gagasan bahwa, dalam keadaan resesi ini, inflasi akan tetap tinggi satu digit dan oleh karena itu The Fed akan dipaksa untuk melanjutkan siklus pengetatannya. Dan itu cukup gila,” tulis Eichengreen sebelum data PDB AS keluar.

Sementara saham menguat tajam pada Rabu di tengah komentar Ketua Fed Jerome Powell bahwa perlambatan kenaikan suku bunga kemungkinan terjadi karena kebijakan menjadi lebih ketat, pengamat bank sentral di Wall Street memperingatkan pasar salah membaca The Fed.

Misalnya, Renaissance Macro Research memperkirakan inflasi tidak mungkin turun cukup cepat bagi The Fed untuk berputar.

Piper Sandler mengatakan pernyataan Powell, bukanlah kata-kata ketua Fed yang berputar ke arah sikap dovish. Dan analis di NatWest Markets mengatakan prospek suku bunga bahkan bisa lebih tinggi.

Namun dalam pandangan Eichengreen, ada sedikit tanda bahwa inflasi akan cukup keras untuk memerlukan kenaikan suku bunga agresif yang berkelanjutan.

“Jadi, jika ekonomi dan inflasi melemah, maka The Fed akan berhenti sejenak, dan dolar akan berbalik arah ke bawah. Ini bukanlah lagi risiko yang bisa diabaikan,” pungkasnya.

Sementara itu, Trading Economics memproyeksikan, nilai dolar masih akan terus tinggi hingga kuartal ke-3 tahun 2023, dengan DXY berada di kisaran 113. Pada kuartal ke-3 dan ke-4 tahun ini, diperkirakan masih naik di kisaran 108 dan 109.

“Indeks dolar mengakhiri bulan Juli di dekat 106,5, di bawah tertinggi 20 tahun di 109,3 yang disentuh pada awal bulan, dan bertahan dekat dengan posisi terendah dua bulan, karena investor mencoba menilai prospek ekonomi dan apa langkah The Fed selanjutnya. The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada Juli dan Ketua Powell mengisyaratkan bahwa kenaikan yang lebih kecil akan datang, tergantung pada data ekonomi. Angka PDB muka untuk kuartal ke-2 menunjukkan ekonomi AS berkontraksi sebesar 0,9 persen, menyusul penurunan 1,6 persen pada kuartal sebelumnya. Pada saat yang sama, inflasi PCE baru dan biaya tenaga kerja berada di atas perkiraan, sebagai tanda inflasi belum mencapai puncaknya. Sebagian besar investor saat ini memperkirakan The Fed akan memberikan kenaikan suku bunga 50 basis poin yang lebih kecil pada September, dengan suku bunga memuncak pada Desember 2022 dan pemotongan suku bungan mungkin terjadi pada tahun 2023,” tulis Trading Economics,” [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait