Ethereum (ETH), yang selama ini dianggap sebagai raja smart contract, kembali mendapat kritik tajam setelah sebelumnya dilanda berbagai polemik.
Justin Bons, pendiri Cyber Capital, menuding kepemimpinan Ethereum bersifat “diktator” dan mengklaim bahwa Solana (SOL) tengah “memakan pasar” dengan pendekatan yang lebih terbuka.
Pernyataan kontroversial ini memicu perdebatan di kalangan komunitas crypto, terutama terkait arah masa depan Ethereum dan peran solusi layer-2 (L2) dalam ekosistemnya.
Solana vs Ethereum: Pasar Menilai Sendiri
Dalam serangkaian cuitan, Bons menegaskan bahwa meskipun Solana bukanlah platform yang sempurna dan memiliki banyak kekurangan, ia tetap lebih diminati oleh pengguna dibandingkan Ethereum.
Alasannya? Pengguna lebih memilih menghadapi downtime daripada kehilangan dana akibat celah keamanan pada L2 atau mengalami sensor transaksi oleh sequencer L2.
“Semakin buruk anda menganggap Solana, semakin terlihat bagaimana Ethereum sedang mengalami kemunduran,” ujar Bons.
Ia menambahkan bahwa membandingkan Solana dengan Ethereum bukan hanya soal keunggulan teknis, tetapi juga soal bagaimana ETH kehilangan daya saing di pasar yang semakin kompetitif.
Ekosistem yang diciptakan oleh Vitalik Buterin tersebut telah lama mengandalkan solusi L2 seperti Arbitrum (ARB), Optimism (OP), dan Base (BASE) untuk skalabilitas. Namun, menurut Bons, ketergantungan ini justru menjadi bumerang.
Vitalik Buterin Buka Suara di Tengah Polemik Ethereum Foundation
Ia menuduh bahwa keberadaan L2 lebih banyak menyerap nilai dari ETH daripada mengembalikannya, menciptakan hubungan parasit yang lambat laun dapat melemahkan ekosistem ETH.
Ethereum dalam Kendali “Diktator”?
Salah satu kritik paling tajam yang dilontarkan Bons adalah terkait tata kelola (governance). Ia menilai bahwa pengembangan ETH dikendalikan oleh kelompok kecil developer yang mirip dengan model kepemimpinan diktator.
“Sebaliknya, ETH diperintah secara diktator dari atas ke bawah oleh para pengembang yang hidup di ivory tower & tidak terhubung dengan realitas pasar yang kompetitif, mendorong ETH ke jurang kehancuran!” tegasnya.
Dengan kata lain, kondisi Ethereum saat ini tidak mencerminkan prinsip desentralisasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam dunia blockchain.
Justin Bons mendorong agar ETH beralih ke sistem tata kelola berbasis on-chain voting, yang memungkinkan semua orang berpartisipasi dalam keputusan besar tanpa campur tangan entitas terpusat.
“Solusinya adalah tata kelola pemangku kepentingan berbasis on-chain. Dalam konteks ini, Ethereum Foundation akan menjadi tidak relevan. Alih-alih mencari kepemimpinan di institusi terpusat yang rentan terhadap korupsi, ETH bisa mengatur dirinya sendiri! Voting on-chain memungkinkan kita melewati semua politik dan omong kosong!” tulis Bons.
Namun, ia pesimis hal ini akan terjadi, mengingat banyak kepentingan industri bernilai miliaran dolar yang bergantung pada model yang ada saat ini. Dengan kata lain, solusi yang ideal justru bisa menghancurkan bisnis layer-2 yang selama ini menopang ekosistem Ethereum.
Akankah Ethereum Bangkit?
Ethereum masih menjadi blockchain terbesar untuk smart contract dan aplikasi terdesentralisasi (dApps), tetapi kritik seperti ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar yang perlu segera diselesaikan.
Menimbang Keunggulan Smart Contract Blockchain Ethereum dan Solana
Sementara Solana tetap menjadi pesaing utama meskipun sering mengalami gangguan jaringan, daya tariknya tetap kuat karena menawarkan pengalaman pengguna yang lebih sederhana dan efisien.
Jika kritik Bons benar, ETH menghadapi dilema besar: tetap mempertahankan struktur yang ada dengan risiko semakin kehilangan pangsa pasar, atau berani melakukan reformasi tata kelola yang dapat mengguncang industri yang sudah terbentuk di atasnya.
Bagaimanapun, persaingan antara Ethereum dan Solana terus berkembang, dan masa depan keduanya di pasar kripto akan bergantung pada bagaimana mereka merespons tantangan ini. [dp]