Tekanan inflasi yang terus membayangi ekonomi global mungkin menjadi momok bagi sebagian besar instrumen keuangan. Namun, menurut laporan terbaru dari Grayscale Research, kondisi seperti ini justru bisa menjadi angin segar bagi aset-aset langka seperti Bitcoin dan emas.
Dalam laporannya, mereka menyoroti bahwa struktur pasar Bitcoin saat ini tengah berkembang pesat, dan perubahan kebijakan pemerintah AS turut menjadi bahan bakar dari tren ini.
Stagflasi dan Kebangkitan Bitcoin
Jika kita mundur sejenak ke era 1970-an, situasinya cukup mirip. Saat itu, AS mengalami stagflasi, perpaduan antara inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang lemah.
Dalam kondisi seperti ini, emas menjadi pilihan utama karena dianggap mampu mempertahankan nilai ketika dolar AS tergerus daya belinya. Kini, Bitcoin dilihat sebagai penerus peran tersebut di era digital.
“Bitcoin punya peluang serupa seperti yang dimiliki emas di tahun 1970-an,” ujar Grayscale, dalam publikasi risetnya.
Lebih lanjut lagi, laporan tersebut menekankan bahwa situasi ekonomi global yang diwarnai ketegangan dagang dan potensi kebijakan tarif, khususnya antara AS dan Tiongkok, bisa mempercepat transisi menuju aset alternatif.
Bitcoin dinilai punya karakteristik unik sebagai komoditas langka dengan suplai tetap, dan semakin banyak dianggap sebagai safe haven digital di tengah ketidakpastian.
Saat Strategi Negara Masuk ke Dunia Kripto
Perubahan struktur pasar Bitcoin juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah AS yang belakangan ini menunjukkan pendekatan baru terhadap kripto. Salah satu contoh yang menarik perhatian adalah wacana pembentukan cadangan strategis Bitcoin yang didanai dari aset digital hasil sitaan pemerintah.
Wacana ini menunjukkan bahwa Bitcoin tak lagi hanya milik komunitas teknologi atau investor ritel, tapi sudah masuk dalam diskusi di level kebijakan negara.
“Struktur pasar Bitcoin saat ini berkembang lebih matang, salah satunya karena adanya dukungan kebijakan strategis dari pemerintah AS,” ujar Grayscale.
Di sisi lain, dolar AS juga diperkirakan akan kehilangan sebagian daya tariknya sebagai mata uang cadangan global apabila ketegangan dagang terus memanas. Jika permintaan terhadap dolar melemah, investor global tentu akan mencari alternatif.
Emas tetap menjadi opsi klasik, tetapi Bitcoin menawarkan pendekatan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman, terutama bagi generasi muda dan pelaku pasar yang terbiasa dengan aset digital.
Namun demikian, bukan berarti Bitcoin akan langsung menggantikan posisi dolar AS atau emas dalam waktu dekat. Masih banyak tantangan, mulai dari volatilitas harga hingga kebijakan regulasi yang belum sepenuhnya pasti.
Tapi satu hal yang jelas, Bitcoin bukan lagi sekadar eksperimen teknologi, melainkan bagian dari narasi ekonomi global yang lebih luas.
Sebagian analis bahkan menyebut bahwa, jika Bitcoin berhasil menjaga momentumnya dalam beberapa tahun ke depan, ia bisa memainkan peran penting dalam lanskap keuangan internasional.
Layaknya emas yang dulu menjadi jawaban atas inflasi, Bitcoin mungkin bisa menjadi versi modernnya di tengah era digital dan geopolitik yang serba dinamis.
Jika tren ini berlanjut, tidak menutup kemungkinan bahwa kebijakan fiskal dan moneter dari negara-negara besar akan mulai mempertimbangkan eksistensi kripto dalam peta strategi mereka.
Dan pada titik itulah, diskusi soal Bitcoin tidak lagi hanya terjadi di ruang-ruang komunitas daring, tapi juga di ruang rapat para pembuat keputusan.
Apakah kita sedang melihat babak baru dalam sejarah keuangan? Bisa jadi. Tapi satu hal yang pasti, Bitcoin bukan lagi sekadar topik ecek-ecek. [st]