Dalam sebuah kiriman blog terbarunya, IMF menekankan perlunya memperbarui sistem pajak global guna mengatur aset crypto dengan efektif.
IMF menyoroti tantangan yang dihadapi akibat anonimitas dan sifat terdesentralisasi dari crypto, dengan menyatakan bahwa penghindaran pajak dapat menjadi masalah yang signifikan jika mata uang kripto digunakan secara luas dalam transaksi.
Sistem Pajak Crypto
Dailyhodl melaporkan bahwa, IMF melihat transaksi crypto memiliki kesamaan dengan transaksi tunai dalam potensi untuk disembunyikan dari administrasi pajak.
“Meskipun penggunaan crypto untuk pembelian masih relatif kecil saat ini, adopsi yang luas tanpa persiapan sistem pajak yang memadai dapat menyebabkan lonjakan penghindaran pajak terhadap pajak nilai tambah (VAT) dan pajak penjualan,” ujar IMF.
Dan juga, itu pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan pendapatan pemerintah yang signifikan. Ancaman potensial tersebut dianggap sebagai risiko terbesar yang terkait dengan crypto.
Selain itu, IMF juga mengakui bahwa jika sebagian besar aktivitas aset crypto dilakukan melalui bursa terpusat, risiko penghindaran pajak dapat dikelola dengan lebih baik.
Bursa terpusat dapat tunduk pada protokol standar KYC dan potensialnya bahkan pajak penahanan. Beberapa negara sudah menerapkan aturan-aturan tersebut dengan harapan kepatuhan pajak akan meningkat sebagai hasilnya.
Dengan mengatur transaksi melalui bursa terpusat, administrasi pajak dapat memiliki visibilitas dan kontrol yang lebih besar terhadap aktivitas yang terkait dengan crypto.
Tantangan DEX
Namun, IMF menyoroti bahwa bursa terdesentralisasi (DEX) menimbulkan tantangan yang berbeda bagi pihak berwenang.
DEX memungkinkan individu untuk melakukan perdagangan secara langsung satu sama lain tanpa perlu melalui perantara, sehingga sangat sulit bagi administrasi pajak untuk menembus transaksi tersebut.
IMF mengungkapkan kekhawatiran bahwa aturan pelaporan dan potensi kegagalan beberapa perantara crypto dapat mendorong orang untuk semakin menggunakan DEX atau melakukan perdagangan peer-to-peer, yang tidak diawasi oleh badan pemerintah yang sentral.
Hal tersebut merupakan hambatan yang signifikan bagi otoritas pajak yang berusaha untuk memastikan kepatuhan.
Mengingat risiko potensial yang terkait dengan crypto, IMF menekankan perlunya mendesak untuk memodernisasi sistem pajak global.
Pemerintah harus secara aktif memperbarui peraturan pajak mereka dan mengimplementasikan langkah-langkah yang memperhitungkan karakteristik unik crypto.
Dengan meningkatkan transparansi, menerapkan aturan pelaporan yang efektif dan mengadopsi prosedur KYC yang lebih ketat, otoritas pajak dapat mengurangi risiko penghindaran pajak yang terkait dengan transaksi mata uang kripto.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, penerapan sistem pajak untuk aset crypto telah berlaku sejak bulan Mei 2022 lalu.
Di tanah air, jenis dan besaran pajak untuk aset crypto adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen per transaksi dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,1 persen per transaksi.
Berdasarkan Peraturan Menkeu No.68 tahun 2022, pemungutan pajak crypto berlaku untuk transaksi perdagangan atau swap di CEX untuk pair rupiah-crypto dan crypto-crypto.
Untuk transaksi di luar CEX, maka nilai pajak akan dikenakan dua kali lipat dari angka di atas.
Saat itu, sistem pajak crypto di Indonesia mendapat reaksi beragam, khususnya pada besaran pajak yang dinilai memberatkan para trader dan dikhawatirkan membuat mereka hijrah ke CEX yang beroperasi di luar negeri. [st]