Harga Bitcoin (BTC) melonjak 5,1 persen (US$8207-US$8.623) pada hari Rabu (9/10/2019), sebagai titik tertinggi dalam dua minggu terakhir. Kenaikan harga terjadi setelah Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mengatakan akan mencetak uang untuk meningkatkan cadangan bank. Langkah itu dipandang pasar sebagai langkah yang dapat memicu inflasi, sebab jumlah yang beredar di masyarakat semakin banyak.
Joe DiPasquale, CEO BitBull Capital mengungkapkan pemicu lainnya adalah spekulasi bahwa Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) mungkin menyetujui reksadana Bitcoin (Bitcoin ETF). Reksadana jenis ini kelak bisa diperdagangkan di bursa efek, selayak saham. Pengumuman oleh UNICEF bahwa mereka akan menerima sumbangan dalam bentuk kripto dianggap sebagai pendorong kenaikan Bitcoin itu.
Namun SEC pada Rabu kemarin akhirnya menolak proposal oleh Bitwise Asset Management. SEC beralasan bahwa cara-cara yang ditawarkan oleh Bitwise untuk mencegah kecurangan perdagangan belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari SEC. Proposal Bitcoin ETF oleh Bitwise adalah proposal terakhir yang diserahkan oleh perusahaan swasta kepada SEC.
“Komisi tidak menyetujui perubahan peraturan yang diusulkan ini karena, ada persyaratan yang belum dipenuhi, yakni bahwa aturan perdagangan efek secara nasioanl harus dirancang untuk mencegah tindakan dan praktik penipuan dan manipulasi,” jelas SEC. Penolakan itu belum direspons “stabil” oleh pasar. Ini terlihat dari rentang perdagangan di wilayah US$8.500, turun tipis sebesar US$100.
Ricky Li, Pendiri Altonomy, kepada Coindesk mengatakan Bitcoin diharapkan bisa bertahan di kisaran US$7.500 dan US$9.000. Di saat yang bersamaan, katanya, trader bisa melakukan aksi jual pada resistensi US$9.000. Jikalau Bitcoin berhasil menembus titik itu, maka kenaikan akan terus berlanjut. [Coindesk/Red]