Kadin: Penerapan Teknologi Blockchain di Indonesia Perlu Payung Hukum

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berpendapat, penerapan teknologi blockchain di Indonesia memerlukan payung hukum agar bisa diterapkan secara luas oleh pelaku bisnis. Ini menjadi salah satu rekomendasi Kadin kepada Pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam acara Blockchain Application and Econonic Forum 2018 di Jakarta, Selasa (9/10).

“Pemerintah perlu secara aktif melakukan penyusunan regulasi yang terkait teknologi blockchain, sehingga para pelaku usaha dan pemangku kepentingan lainnya memperoleh kepastian hukum dari penerapan teknologi tersebut,” ujar Rico Rustombi, Wakil Ketua Umum Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Kadin Indonesia saat menjadi pembicara utama dalam konferensi tersebut.

Kadin juga meminta pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk menerapkan teknologi blockchain dalam sektor pelayanan publik, sehingga bisa meningkatkan transparansi, kecepatan dan akurasi dalam melayani masyarakat.

Sejauh ini, dalam catatan BlockchainMedia, pemerintah Indonesia sudah mulai melakukan ujicoba penggunaan teknologi blockchain pada perpajakan melalui aplikasi Pajak Online.

Menurut Rico, penerapan teknologi blockchain di Indonesia masih dalam tahap sangat awal (very early stage). Beberapa pihak, menurutnya, sudah menunjukkan minat yang tinggi untuk menerapkan atau mengadopsi teknologi blockchain untuk mendukung operasional bisnis mereka.

“Namun demikian, minat yang tinggi tersebut saat ini belum diimbangi dengan regulasi, edukasi dan infrastruktur yang memadai,” tandasnya.

Karena itu, dari sisi edukasi, Kadin Indonesia bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) dan juga lembaga pemerintah, secara aktif mengadakan dialog dan forum diskusi maupun pelatihan untuk menyamakan pemahaman dan mendiskusikan potensi manfaat, peluang, tantangan dan risiko dari teknologi ini. Kadin Indonesia juga siap menjadi mitra pemerintah dalam memberikan masukan pada sisi penyusunan regulasi untuk penerapan teknologi blockchain di Indonesia.

Pada kesempatan temu pers, Rico mengatakan, Kadin Indonesia sejauh ini tidak memiliki proyek khusus soal blockchain. Diakuinya, bagi Kadin, teknologi ini memang masih baru. Karena itu, pihaknya sudah menjalin kemitraan dengan ABI, yang  juga juga sudah menjadi anggota Kadin.

“Pada saat ini Kadin sedang melakukan upaya-upaya yang sifatnya advokasi dan pelatihan untuk memberikan pemahaman kepada setiap stakeholders terutama kepada pemerintah,” ujarnya.

Mengapa pemerintah? Menurutnya, kunci sukses penerapan teknologi ini adalah regulasi. Rico mengatakan, sadar atau tidak sadar, per hari ini sudah banyak pihak, baik individu maupun organisasi menggunakan teknologi blockchain. Penting bagi pemerintah agar lebih aktif, jangan sampai terlalau lama untuk memahami esensi dari pada teknologi blockchain ini,” ujarnya.

Regulasi menurutnya penting untuk memberikan kepastian hukum jika terjadi perselisihan (dispute) ketika diterapkan di sektor bisnis. Karena itu, Kadin Indonesia dan ABI berharap agar regulasi ini sudah ada sebelum tahun 2020. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di dunia, di mana pada tahun 2020 diproyeksikan nilai transaksinya mencapai US$130 milyar.

Pada kesempatan yang sama, Pandu Sastrowardoyo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Blockchain Indonesia, mengatakan regulasi dibutuhkan dalam bisnis proses terkait penerapan  teknologi blockchain.

Pandu mengatakan, teknologinya sendiri memang seharusnya tidak perlu diatur. Tetapi, regulasi menjadi sangat penting pada saat teknologi itu berinteraksi  dengan proses bisnis, misalnya untuk legal instrumentation, dalam konteks audit,” ujarnya.

Ia mengatakan, bicara tentang audit biasanya terkait dengan dokumen fisik berupa kertas disertai tanda tangan basah.

“Sedangkan kalau kita memanfaatkan blockchain, kita sebenarnya bisa membuat suatu dokumen yang standarnya bisa lebih tinggi dari kertas sekalipun. Bisa dipercaya oleh banyak orang dan tidak ada satu pihak yang mengontrolnya. Tetapi diperlukan regulasi atau legal instrument untuk menyatakan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang benar dan dapat dipercaya keasliannya,” ujarnya.

Intinya, menurut dia, regulasi diperlukan untuk menyatakan bahwa aset digital dalam blockchain sama legalnya dengan dokumen dalam bentuk kertas.

Rico menambahkan, contohnya dalam transaksi jual beli aset seperti tanah. Dengan teknologi blockchian, fungsi notaris mestinya sudah tidak relevan lagi. Karena, ketika mereka berkomitmen untuk melakukan jual beli aset, semuanya sudah tercatat dalam jaringan blockchain. Tetapi persoalannya, regulasi di Indonesia masih memwajibkan transaksi jual beli tanah itu dikatakan legal atau sah jika ada akta jual beli, di mana di dalamnya ada tanda tangan notaris. Hal-hal seperti inilah, menurut Rico yang perlu diregulasi terkait aplikasi blockchain. [ptrs]

Terkini

Warta Korporat

Terkait