Di tengah meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan yang kini telah berkembang menjadi konflik terbuka, dunia kembali dihadapkan pada kekhawatiran akan pecahnya perang berskala global.
Pada hari Rabu (7/5/2025), India meluncurkan serangkaian serangan udara bernama “Operasi Synindor” yang menyasar sembilan titik di wilayah Pakistan dan Kashmir yang dikuasai Pakistan.
Serangan ini merupakan respons atas insiden berdarah pada 22 April yang menewaskan 26 warga sipil di India, yang menurut pemerintah India, dilakukan oleh kelompok milisi yang didukung Islamabad, klaim yang dibantah keras oleh pihak Pakistan.
Ancaman Perang Global di Tengah Dunia yang Rapuh
Di sisi lain, reaksi Pakistan juga tak main-main. Pemerintah setempat mengklaim berhasil menembak jatuh lima pesawat tempur India dan melaporkan bahwa beberapa kota besar telah terkena rudal, menyebabkan kerusakan besar dan korban sipil.
Namun demikian, masalah ini tak bisa hanya dilihat sebagai konflik dua negara bertetangga. Kawasan Asia Selatan merupakan titik api global yang apabila dibiarkan bisa meletus dan menyeret kekuatan besar dunia.
Konflik ini terjadi saat AS tengah fokus di beberapa wilayah konflik lainnya, seperti perang Ukraina-Rusia, meningkatnya ketegangan di Gaza, serta persiapan Tiongkok untuk invasi ke Taiwan. Di tengah kondisi tersebut, muncul pertanyaan yang tak kalah penting, bisakah Bitcoin bertahan jika dunia benar-benar jatuh dalam perang besar?
Peran Bitcoin di Tengah Ketidakpastian Global
Lebih lanjut lagi, kanal YouTube Data Dash menyampaikan keprihatinan bahwa dalam dunia yang penuh gejolak, instrumen keuangan tradisional seperti saham dan mata uang nasional bisa saja runtuh sewaktu-waktu.
Dalam skenario seperti itu, Bitcoin, yang tak bergantung pada kebijakan inflasi, tidak dikelola negara, dan tidak terikat batas wilayah, mungkin justru menjadi satu-satunya pelarian bagi individu yang ingin melindungi nilai asetnya.
“Bitcoin tidak bisa dicetak, tidak bisa disita dan tidak bisa dimanipulasi oleh negara manapun. Ini bukan milik AS, Tiongkok, atau Rusia, ini milik dunia,” ujar host dari Data Dash.
Sejarah juga menunjukkan bahwa dalam krisis besar seperti gagal bayar Yunani atau kehancuran ekonomi Venezuela, minat terhadap Bitcoin melonjak drastis.
Maka tak heran jika saat dunia menghadapi risiko inflasi tinggi, gangguan pasokan global, dan runtuhnya kepercayaan terhadap bank sentral, Bitcoin kembali dibicarakan sebagai opsi cadangan yang serius.
Perdagangan Global dan Dampak Ekonomi Perang
Bayangkan jika perang benar-benar meluas. India merupakan pemain utama dalam industri farmasi, tekstil dan teknologi. Jika rantai pasok terganggu, maka harga barang kebutuhan global akan melonjak. Apalagi, kawasan konflik berada dekat dengan jalur pelayaran penting di Laut Arab.
Hanya ancaman kecil saja terhadap jalur minyak bisa mendorong harga minyak di atas US$150 per barel, memicu inflasi lintas sektor.
Di sisi lain, lonjakan tarif, penimbunan sumber daya dan proteksionisme bisa membuat perekonomian dunia yang terbuka selama puluhan tahun hancur dalam waktu singkat. Semua ini menjadi tekanan tambahan bagi pasar tradisional yang sudah ringkih akibat perang-perang lain yang belum juga mereda.
Dunia dalam Titik Kritis, Bitcoin Jadi Ujian Zaman
Saat ini, dunia bagai berjalan di tali tipis. Krisis di Ukraina, Gaza, Taiwan, dan kini di Kashmir menyebar layaknya percikan api di hutan kering. Tak berlebihan bila kita merasa bahwa satu kesalahan saja bisa membuat sistem global roboh.
Dalam situasi seperti itu, masyarakat dunia mencari pelindung nilai yang tidak bergantung pada pemerintah atau bank.
Bitcoin mungkin bukan solusi sempurna, namun setidaknya ia tidak rapuh, karena tidak terpusat dan tidak bisa disensor. Dan dalam dunia yang runtuh oleh ego, senjata dan inflasi, mungkin yang tersisa hanyalah kode dan kepercayaan. [st]