Ngeri! Pajak Kripto di India Mencapai 30 Persen, Investor Marah: Seperti Pajak Judi

Pajak kripto di India ternyata lebih mengerikan daripada pajak kripto di Indonesia. Kalau di Indonesia totalnya 0,2 persen, maka di India, negara “tega” memungut pajak hingga 30 persen. Warga pun protes di Internet dan berdampak pada menurunnya volume perdagangan. Ada apa sebenarnya?

Pajak berjenis PPh (Pajak Pertambahan Hasil) sebesar 0,1 persen dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) Final juga sebesar 0,1 persen, akan berlaku di Indonesia mulai 1 Mei 2022.

Kebijakan itu menyulut beragam tanggapan dari publik, khususnya warga kripto +62. Bahkan Oscar Darmawan Bos Indonesia merasa keberatan dengan itu. Kemahalan, katanya!

Sementara itu Dimaz Ankaa Wijaya peneliti blockchain di Australia juga senada, karena menilai kelas aset baru itu masih baru di Indonesia dan bisnis serta industri terkait dengan itu masih baru berkembang, sehingga perlu kelonggaran.

Wacana soal pajak memajak untuk transaksi kripto di crypto exchange ini sebenarnya sudah lama bergaung. Di banyak negara, pajak terhadap transaksi kripto beragam besarannya, bahkan ada yang tidak dikenakan sama sekali, seperti di negara ini.

Pajak Kripto di India 30 Persen, Dianggap Sangat Tak Masuk Akal

Tapi yang sangat menonjol ada di India baru-baru ini. Berlaku sejak 1 April 2022 lalu, pajak kripto di India menjadi 30 persen!

Pajak yang dianggap tidak masuk akal itu muncul setelah parlemen India menyetujui RUU Keuangan 2022 yang diajukan oleh kementerian keuangan.

“Pajak tetap sebesar 30 persen sekarang berlaku mulai 1 April 2022 untuk pendapatan yang diperoleh pengguna dari transaksi perdagangan kripto di crypto exchange lokal,” sebut Bitcoin.com, melansir komentar warga kripto India di Twitter. Pajak seperti ini sama seperti Pajak Pertambahan Hasil (PPh) di Indonesia.

Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman menyebutnya sebagai pajak untuk “crypto income or digital asset investments“. Jikalau NFT (non-fungible token) termasuk dalam kategori digital asset, maka transaksi NFT di toko NFT di India juga jadi sasaran pajak. Ingatlah bahwa banyak selebritas di India tak sedikit menerbitkan NFT, seperti aktor tampan si Salman Khan.  Ini sempat juga diwacanakan di Indonesia oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait NFT Ghozali.

Aditya Singh, Youtuber kripto di India misalnya meyakini, bahwa pajak kripto 30 persen itu berdampak pada menurunnya volume perdagangan di crypto exchange besar di India, seperti Coindcx, Bitbns, Zebpay dan Wazirx.

Singh membuktikannya dengan menyematkan sejumlah grafik perdagangan lewat Twitter pada 2 April 2022 lalu.

Sementara itu dilansir dari IndiaTimes, Nischal Shetty CEO WazirX (bursa kripto terbesar di India, milik Binance), menyebutkan bahwa pajak sebesar itu adalah fakta terburuk untuk industri ini.

Saking ngerinya dampaknya, Manhar Garegrat petinggi di CoinDCX berpendapat pajak mengakibatkan berkurangnya volume dan menyusul trading order sangat sulit dieksekusi.

“Tidak akan ada likuiditas tersisa di pasar. Itu pada ujungnya akan menghapus ekosistem kripto di India,” katanya.

Puncak Tarik Ulur Aturan: Investor Versus Negara

Pajak kripto ini adalah puncak tarik ulur ekosistem kripto di India. Pada beberapa tahun lalu, pemerintah benar-benar ingin meniadakan aktivitas kripto di negara itu, termasuk sektor penambangan kripto, hingga Mahkamah Agung memerintahkan pemerintah dan bank sentral untuk membuat peraturan yang lebih sistematis, alih-alih melarangnya tanpa dasar dan argumen yang jelas.

Awalnya peraturan itu dianggap positif terhadap ekosistem di India dan menguntungkan ekonomi negara, tapi berujung pada pajak yang dianggap sangat tak masuk akal.

Saking tingginya pajak itu, muncul petisi di Change.org yang meminta pemerintah India mencoret pajak 30 persen untuk kripto itu. Per Selasa (5/4/2022) tandatangan dukungan mencapai 103 ribu.

Reuters mencatat, India memiliki sekitar 15-20 juta investor kripto dengan usia rata-rata 17-27 tahun. Total aset yang dimiliki oleh investor kripto India setara US$5-6 miliar.
Sebagian besar dipegang oleh investor kecil dengan maksud untuk mendiversifikasi portofolio mereka.

Industri kripto di India, diklaim oleh pemasang petisi, juga memberikan kontribusi signifikan kepada negara dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, membawa investasi asing, pajak pertambahan nilai dan pendapatan pajak penghasilan kepada pemerintah.

“RUU yang telah disahkan oleh parlemen sama halnya menempatkan kripto seperti kejahatan perjudian. Ini bisa berdampak negatif pada industri kripto dan ekonomi negara secama umum,” tercantum di petisi itu.

Berdasarkan arsip Blockchainmedia.id, pada tahun 2021, India tercatat sebagai pemegang kripto nomor 1 di dunia. Bahkan pada November 2021 disebutkan kenaikan pengguna kripto di India dan Pakistan mencapai total lebih dari 600 persen.

Negara lewat pemerintah tentu menghadapi dilema tersendiri soal memajaki kripto yang nilainya sempat mencapai lebih dari US$3 triliun ini. Di satu sisi ingin menyelamatkan keuangan negara karena tergerus dampak pandemi. Dan di sisi lain, ingin mendukung industri teknologi keuangan baru ini.

Warga Kripto Indonesia Bisa Apa?

Khusus di Indonesia, jumlah pengguna kripto yang tak kalah hebat dengan India dan diklaim terbesar ketiga di Asia, pajak 0,2 persen itu masih terhitung lebih masuk akal dibandingkan di India. Pun lagi lebih besar jika dibandingkan dengan cuan ribuan persen yang mereka peroleh dalam tempo relatif singkat.

Tapi tetap saja, jikalau investor retail yang juga merasa terganggu dengan pajak sebesar itu, bisa-bisa saja beralih menggunakan layanan lain di luar negeri, yang tak kena pajak sama sekali atau jauh lebih kecil.

Asal tahu saja, perdagangan aset kripto di Indonesia naik signifikan. Hingga Februari 2022, transaksi aset kripto telah mencapai Rp83,8 triliun dengan jumlah pengguna 12,4 juta investor, meningkat dari pencapaian pada akhir tahun 2021 sebanyak 11,2 juta investor.

Sementara itu, kata Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, hingga Januari 2022, pelanggan aset kripto yang terdaftar untuk bisa bertransaksi kripto mencapai 11,2 juta. Dari jumlah itu, 90 persennya adalah generasi milenial dengan usia 20-30 tahun.

“Itu yang terdaftar untuk melakukan aktivitas melalui trading yang ada di Indonesia,” kata Jerry, Se­nin 14 Februari 2022, dilansir dari Antara.

Jerry menyam­pai­kan, antusiasme transaksi aset kripto di Indonesia semakin me­ning­at. Hal itu terlihat dari akumulasi transaksi se­panjang 2021 mencapai Rp859,4 triliun.

Angka itu meningkat signifikan dibandingkan trans­aksi aset kripto pada 2020, Rp65 triliun. Dengan demikian, rata-rata transaksi aset kripto per hari mencapai Rp2,3 triliun. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait