Kisah Jurnalis “Wall Street Journal” Bikin Kripto Sendiri

Steven Russolillo, reporter Wall Street Journal (WSJ) mendapat tugas tidak mudah dari atasannya. Ia diminta harus memahami seluk beluk sektor teknologi blockhain dan kripto yang kini sedang booming lalu menuangkannya ke dalam berita. Alih-alih hanya dengan mewawancarai sejumlah narasumber, agar informasinya lebih presisi, ia pun memutuskan membuat kriptonya sendiri, yakni WSJCoin. Karya jurnalistik Steven itu didokumentasikan melalui video yang diterbitkan di website wsj.com, Rabu (03/10).

Menurut Steven, WSJCoin kelak dapat digunakan untuk berlanggan berita WSJ, sekaligus merupakan cara yang ampuh untuk menarik pembaca baru. Namun, sebelum bisa menjual WSJCoin, Steven harus membuatnya terlebih dulu. Sejurus kemudian, melalui Google ia mencari-cari beragam layanan ICO. Salah satu yang ia temukan adalah Developcoins, perusahaan yang menawarkan jasa pembuatan kripto sampai selesai.

Steven ingin memastikan kripto besutannya dibikin secara profesional. Ia pun terbang ke salah satu “surga kripto” terbesar di dunia, yakni Jepang. Di sana, Steven bertemu dengan sejumlah developer dan miner untuk mempelajari kripto lebih dalam.

Singkat cerita, setelah menimbang-nimbang, Steven memutuskan meluncurkan WSJCoin dengan menggunakan platform yang tidak terlalu terkenal, bernama Iroha. Walaupun disebut berbeda dengan layanan blockchain lainnya, Iroha sebenarnya menggunakan blockchain Hyperledger, sebuah proyek open-source besutan Linux Foundation yang disokong oleh IBM.

Steven akhirnya menyadari membuat WSJCoin itu ternyata sangat mudah dan cepat: cari sebuah startup blockchain, minta developer-nya membuat kode dan lahirlah sebuah koin baru. Karena itu, menurutnya ada lebih dari dua ribu token kripto saat ini, berdasarkan data dari Coinmarketcap.com. Yang sulit adalah membuat sebuah kripto yang bernilai, bermanfaat dan memiliki daya tarik luas.

Muncul satu pertanyaan penting dari diri Steven: apakah industri dunia memang membutuhkan ribuan uang kripto? Jawabannya ada pada fakta, bahwa aksi jual tahun ini menyebabkan kapitalisasi pasar kripto anjlok lebih berat bagi altcoin dibanding Bitcoin. Tetapi masih ada harapan, terutama bagi para pengiat kripto yang meyakini potensi teknologi blockchain.

Steven akhirnya bermitra dengan developer Makoto Takemiya dan mulai mengerjakan WSJCoin. Token tersebut bersuplai 8,4 milyar unit. Setelah semua spesifikasi ditentukan, token WSJCoin lahir dan siap digunakan. Selanjutnya, Makoto membangun sistem Point of Sale, dan bahkan membeli beberapa botol bir menggunakan kripto baru itu.

Setelah memastikan token itu dapat digunakan, Steven mengunjungi konferensi internasional, Token2049 yang berlangsung di Hong Kong, Maret 2018 lalu. Di sana Steven mendiskusikan WSJCoin dengan sejumlah pakar kripto dan pegiat blockchain. Ternyata WSJCoin disambut dengan baik oleh komunitas, tetapi Steven kesulitan menjualnya kepada investor.

Walau sejumlah peserta konferensi mendukung WSJCoin, termasuk mantan CTO Ripple Stefan Thomas, mereka mengakui bahwa kripto adalah aset yang beresiko, dan harus diperiksa secara seksama sebelum menjadi pilihan investasi.

Ketika Steven menawarkan JSECoin kepada beberapa pegiat blockchain, mereka mengajukan pertanyaan serupa: “WSJCoin itu bisa dipakai untuk apa?”

“WSJCoin akan digunakan sebagai alat pembayaran untuk berlangganan Wall Street Journal,” jawab Steven dengan yakin.

Usai berpromosi di konferensi itu, Steven berbincang dengan redaktur Wall Street Journal, Neal Lipschutz. Steven meminta persetujuan Neal sebelum memasarkan WSJCoin. Walau Steven sangat bersemangat, Neal menolak memberikan izin.

“Maaf, Steven. Wall Street Journal adalah bisnis media, bukan industri kripto. Tugas kita hanya meliput industrinya dengan menjadikannya dalam berita, sebagaimana kita membuat liputan tentang perbankan, bukan terlibat langsung di dalamnya,” kata Neal.

Steven langsung bilang kepada Makoto, sang developer, “Makoto, kill WSJCoin!

Perjalanan Steven tersebut menyoroti permasalahan umum saat ini, bahwa token kripto memang sangat mudah dibuat, tetapi network effect yang dibutuhkan agar token tersebut berhasil tidaklah mudah diraih.

Steven memang dikenal sebagai jurnalis yang sering menulis soal perkembagan kripto dan blockchain. Bahkan media tempat ia bekerja pernah membuat laporan investigasi yang menguak sisi buruk industri itu.

Pada akhir September lalu, WSJ mengungkap sejumlah kriminal yang memakai layanan ShapeShift untuk menukar Bitcoin menjadi Monero, sebuah kripto yang unggul soal fitur anonimitas. Menyusul serangan ransomware WannaCry, di mana peretas dari Korea Selatan memeras jutaan dolar dari berbagai pemerintahan dan bisnis, penyelidikan WSJ melacak Bitcoin hasil pemerasan tersebut ke ShapeShift. WSJ menulis, ShapeShift tidak mengubah kebijakannya tentang KYC/AML setahun setelah serangan tersebut, dan terus memroses dana kriminal sehingga tidak dapat dilacak.

ShapeShift tentu saja menyangkal hasil liputan itu, sembari mengungkapkan bahwa aksi pencucian uang berskala lebih besar justru terjadi di industri perbankan konvensional. [ed]

Terkini

Warta Korporat

Terkait