Dalam sebuah studi terbaru, tim kuantum dari Google kembali mengguncang dunia teknologi. Kali ini, mereka bukan cuma memberikan angan-angan tentang masa depan, tapi juga alarm peringatan untuk keamanan digital yang selama ini dianggap kokoh.
Mereka menemukan bahwa enkripsi RSA 2048-bit, yang biasa digunakan dalam sistem perbankan dan beberapa sistem lama dompet kripto, berpotensi ditembus hanya dalam waktu kurang dari seminggu.
Padahal sebelumnya, diperkirakan butuh sekitar 20 juta qubit untuk mencapainya. Kini, angka itu menyusut drastis menjadi kurang dari 1 juta qubit berisik.
Kejar-kejaran Antara Teknologi dan Keamanan
Kalau kamu mengira RSA hanya untuk urusan kartu ATM lawas, perlu diketahui bahwa ia pernah menjadi standar emas dalam keamanan digital.
Dan meski Bitcoin tidak menggunakan RSA, karena memakai sistem kriptografi kurva eliptik (ECC), temuan ini tetap membuat banyak pihak merasa perlu mempercepat langkah menuju keamanan pasca-kuantum.
Di dunia digital, perubahan seperti ini seringkali datang lebih cepat daripada kesiapan kolektif untuk menghadapinya.
“Kami berhasil memangkas kebutuhan sumber daya kuantum secara drastis berkat peningkatan teknis seperti pendekatan approximate residue arithmetic dan metode pengolahan magic state yang lebih efisien,” jelas salah satu Peneliti Utama dalam studi ini,Craig Gidney, dilansir dari Arxiv.
Hal ini membuka pintu bagi kemungkinan baru, namun sekaligus juga menyisakan kecemasan, yakni seberapa dekat kita dengan era di mana keamanan digital tak lagi seaman yang kita bayangkan?
Bitcoin dan ECC, Masih Aman? Mungkin Tidak Lama Lagi
Sampai saat ini, Bitcoin masih menggunakan ECC 256-bit untuk melindungi transaksi dan wallet-nya. Tapi di sisi lain, jenis enkripsi ini juga termasuk dalam daftar target yang rentan terhadap komputer kuantum melalui algoritma Shor.
Analogi sederhananya begini, jika RSA seperti brankas baja dengan kombinasi angka yang rumit, ECC adalah versi lebih ramping dan canggihnya. Namun, dengan alat yang cukup kuat, seperti komputer kuantum berskala besar, keduanya tetap bisa dibobol. Dan kabar buruknya, alat itu tampaknya tak lagi terlalu jauh di depan.
Perkiraan saat ini menyebutkan bahwa untuk membobol ECC 256-bit, dibutuhkan sekitar 2.000 qubit logis.
Meskipun komputer kuantum dengan kapasitas tersebut belum tersedia sekarang, para ahli memperkirakan bahwa teknologi seperti ini bisa muncul dalam 10 tahun ke depan. Bisa dibilang, waktu bermain dengan kriptografi tradisional mulai menipis.
Di tengah potensi ancaman ini, muncul juga solusi yang mulai dikembangkan secara global, kriptografi pasca-kuantum. Beberapa algoritma pengganti sudah mulai distandarisasi oleh lembaga resmi, bahkan sejak tahun lalu.
Tujuannya jelas, menciptakan sistem yang tetap kokoh walaupun komputer kuantum jadi kenyataan. Tapi dalam praktiknya, berpindah dari satu sistem ke sistem lain tidak semudah mengganti sandi email.
Khususnya dalam sistem seperti Bitcoin yang sifatnya terdesentralisasi, migrasi seperti ini memerlukan konsensus luas dan proses bertahap yang bisa makan waktu bertahun-tahun.
Lebih lanjut lagi, banyak protokol lama, terutama yang digunakan di institusi keuangan, masih bergantung pada jenis enkripsi seperti RSA. Artinya, bahkan jika Bitcoin dan proyek blockchain lain bergegas meng-upgrade sistemnya, lembaga-lembaga besar lain bisa saja tetap tertinggal.
Sebuah analogi yang pas mungkin seperti mengganti semua kunci rumah di satu kota saat seseorang menemukan cara membuka gembok dengan sendok. Cepat atau lambat, semua akan terpengaruh.
Apa Artinya untuk Kita?
Bagi pengguna biasa, ini mungkin terdengar seperti sesuatu yang terlalu teknis. Tapi pada kenyataannya, kita hidup dalam dunia yang semakin tergantung pada keamanan digital.
Dari transaksi online, komunikasi pribadi, sampai penyimpanan aset digital seperti Bitcoin, semua itu berada di bawah payung enkripsi. Dan ketika payung itu mulai berlubang, pertanyaan utamanya bukan hanya “seberapa cepat bocornya?” tapi juga “apakah kita sudah punya payung cadangan?”
Namun demikian, tidak semua berita ini harus ditanggapi dengan ketakutan. Justru, ini menjadi momen untuk mulai terbuka terhadap perubahan teknologi dan memahami risiko yang menyertainya.
Lagi pula, lebih baik bersiap sebelum hujan turun, daripada basah kuyup sambil bertanya kenapa kita tidak membawa mantel. [st]