Pajak Kripto Disorot Lagi Usai Relaksasi Pungutan OJK

Pelaku industri crypto exchange Indonesia menyerukan penyesuaian pajak kripto di Indonesia, menyusul relaksasi pungutan OJK 2025.

Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menetapkan pungutan 0 persen kepada penyelenggara pasar keuangan digital, termasuk crypto exchange, untuk sepanjang tahun 2025 disambut baik oleh pelaku industri kripto di Indonesia. Namun di balik kebijakan relaksasi tersebut, pelaku usaha kembali menyoroti beban pajak atas transaksi kripto yang dinilai masih tinggi dan belum mendukung pertumbuhan industri secara maksimal.

Langkah OJK ini dinilai sebagai sinyal positif bagi pelaku pasar. Robby, salah seorang pendiri crypto exchange Reku, menyatakan bahwa kebijakan ini sangat dibutuhkan oleh industri yang tengah berkembang.

“Pastinya kita menyambut baik atas keputusan ini, yang mana industri kita masih butuh banyak dukungan dari semua sisi, dari pemerintah, regulator dan seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya kepada Blockchainmedia.id, Kamis (11/7/2025).

Usulan Hapus PPN Transaksi Kripto

Namun ia juga menambahkan bahwa pelaku usaha menghadapi tantangan besar dalam hal perpajakan, dengan harapan PPN transaksi kripto dapat dihapuskan, termasuk penyesuaian besaran PPh.

“Saya berharap kebijakan perpajakan juga dapat disesuaikan karena saat ini dengan jumlah biaya yang dikenakan, pelaku usaha kalah bersaing dengan pelaku industri global,” kata Robby yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) itu.

Robby lebih lanjut menegaskan bahwa tanpa penyesuaian kebijakan perpajakan, pelaku usaha lokal akan terus berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan penyelenggara platform kripto di luar negeri, yang umumnya menikmati insentif fiskal lebih besar atau bahkan pembebasan pajak.

Ia menyebut bahwa banyak pelaku pasar mulai melirik untuk bertransaksi melalui platform global yang menawarkan efisiensi biaya lebih tinggi, suatu kondisi yang menurutnya bisa merugikan ekosistem kripto dalam negeri jika dibiarkan berlarut-larut.

Lebih lanjut, Robby menilai bahwa keberadaan pungutan OJK sebesar 0 persen seharusnya menjadi momentum awal bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan perpajakan di sektor ini secara menyeluruh. Ia berharap adanya harmonisasi antara pungutan, pajak, dan regulasi yang tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga sebagai strategi untuk mendorong inovasi, menarik investasi, dan memperkuat posisi Indonesia dalam peta industri kripto global.

BACA JUGA  Pajak Kripto di Indonesia: Begini Tarif dan Cara Hitungnya!

“Apabila insentif fiskal yang diterapkan tidak cukup menarik, maka risiko brain drain dan capital outflow ke ekosistem digital luar negeri akan semakin besar,” imbuhnya.

BACA JUGA: Besaran Pajak Kripto Indonesia dan Cara Menghitungnya

Dalam pandangannya, sektor kripto di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung inklusi keuangan, digitalisasi ekonomi, dan pertumbuhan investasi anak muda. Namun potensi tersebut tidak akan optimal tanpa dukungan regulasi yang adaptif dan berpihak pada pengembangan teknologi serta model bisnis baru. Robby menyarankan agar ke depan ada dialog intensif antara pelaku industri dan pemerintah untuk merumuskan kerangka kebijakan perpajakan yang lebih adil, proporsional, dan kompetitif.

“Sebagai catatan tambahan, sebelumnya aset kripto diperlakukan sebagai komoditas sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, seiring dengan perkembangan regulasi dan statusnya yang kini lebih dipandang sebagai instrumen keuangan, ada harapan agar pengenaan PPN dapat dihapuskan demi menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Selain itu, penyesuaian terhadap skema Pajak Penghasilan (PPh) juga diharapkan dapat segera dilakukan, sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan daya saing pasar aset digital secara lebih optimal,” tegasnya.

Robby mengungkapkan bahwa sebelumnya tarif pungutan ditetapkan sebesar 0,045 persen dengan batas minimal sebesar Rp10 juta per tahun, yang dibayarkan dalam empat termin. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh entitas yang berada di bawah pengawasan OJK, termasuk koperasi, lembaga pembiayaan, serta pelaku pasar modal.

Ia menambahkan bahwa pada periode 2026 hingga 2028, besaran pungutan akan diberlakukan sebesar 50 persen dari tarif normal, sebelum diterapkan secara penuh sebesar 100 persen mulai tahun 2029.

BACA JUGA  Harga Shiba Inu Januari, Ini Prediksi AI
Penyesuaian besaran pungutan OJK, dengan relaksasi penuh 0 persen sepanjang 2025 dan kenaikan bertahap hingga tahun 2029. Sumber data: OJK.

Harus Diikuti dengan Perubahan Perpajakan

Dalam wawancara terpisah bersama jurnalis Blockchainmedia.id, CEO Indodax, William Sutanto, juga menyampaikan pandangan serupa. Ia menilai kebijakan pungutan 0 persen dari OJK adalah langkah maju, tetapi tidak cukup jika tidak diikuti dengan perubahan dan penyesuaian perpajakan.

“Kebijakan relaksasi dari OJK ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, tetapi perlu dilengkapi dengan relaksasi pajak kripto,” ujarnya.

William menggarisbawahi bahwa negara lain telah lebih agresif dalam memberikan insentif fiskal bagi pelaku industri aset digital.

“Thailand membebaskan pajak keuntungan modal untuk transaksi kripto di platform berlisensi selama lima tahun. Di Dubai, individu sama sekali tidak dikenakan pajak atas aktivitas kripto. Sedangkan di Amerika Serikat baru-baru ini muncul RUU yang mengusulkan pembebasan pajak untuk transaksi kripto,” jelasnya.

Perbedaan perlakuan ini menunjukkan bahwa jenis transaksi kripto sangat menentukan besaran dan jenis pajak yang dikenakan. Dalam konteks ini, pelaku industri menilai bahwa struktur perpajakan yang tetap dikenakan atas nilai transaksi, bukan atas keuntungan bersih, cenderung memberatkan.

Khususnya bagi trader ritel yang melakukan transaksi dalam jumlah kecil atau dengan frekuensi tinggi, akumulasi beban pajak dapat menggerus potensi imbal hasil secara signifikan. Maka tak heran jika para pelaku industri berharap adanya harmonisasi kebijakan pajak sejalan dengan relaksasi pungutan OJK, agar industri kripto di Indonesia dapat bersaing secara sehat di tingkat global.

“Harapan kami, ke depan dapat dilakukan harmonisasi antara pungutan, pajak, dan regulasi agar industri kripto di Indonesia dapat berkembang lebih pesat dan memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional,” tambah William. Ia juga menegaskan komitmen Indodax untuk terus bekerja sama dengan regulator dalam membangun ekosistem kripto yang sehat, aman, dan kompetitif.

Dengan beban pajak yang dinilai tidak seimbang terhadap insentif yang diberikan, pelaku industri menilai bahwa keberhasilan relaksasi pungutan OJK seharusnya menjadi momentum awal bagi pemerintah untuk merancang sistem perpajakan yang lebih mendukung inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital.

BACA JUGA  Berita Kripto Terpopular Sepekan: Perhitungan Pajak Kripto hingga Bos Robinhood Dukung DOGE

Aturan Pajak Kripto di Indonesia

Di Indonesia, pengguna aset kripto masih diwajibkan membayar dua jenis pajak atas setiap transaksi, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1 persen. Kebijakan pajak ini diatur dalam PMK No. 68/PMK.03/2022, dengan dasar hukum Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021. Tata cara pemungutan dan pelaporan dijelaskan dalam PER-13/PJ/2022.

Pajak dikenakan atas nilai transaksi secara keseluruhan, bukan atas keuntungan bersih. Hal ini dinilai sebagai salah satu penyebab utama mengapa investor dan trader merasa terbebani. Sebagai contoh, pengguna yang menjual aset kripto PEPE senilai Rp25.065.749 dikenai potongan total sebesar Rp30.656,67. Komponen potongan tersebut terdiri dari Pajak sebesar 0,1 persen senilai Rp25.096,41 dan biaya CFX sebesar 0,0222 persen senilai Rp5.560,26. Dengan demikian, total potongan yang dikenakan pada transaksi ini mencapai Rp30.656,67 atau setara dengan 0,1222 persen dari nilai bruto transaksi. Dalam contoh ini, tidak ada PPN karena transaksi dilakukan dari kripto ke rupiah, bukan antar aset digital.

Model pemungutan pajak seperti ini dianggap tidak proporsional, terutama bagi investor ritel yang melakukan transaksi kecil namun sering.

“Struktur perpajakan saat ini tidak mempertimbangkan apakah pengguna untung atau rugi. Bahkan saat merugi pun pajak tetap dikenakan kepada pengguna, karena dasarnya adalah nilai transaksi,” ungkap seorang trader yang enggan disebutkan namanya.

Dalam konteks persaingan global, kondisi ini menempatkan pelaku industri lokal pada posisi kurang menguntungkan. Banyak pengguna beralih ke platform luar negeri yang tidak membebankan pajak serupa atau bahkan menawarkan nol persen pajak untuk mendorong adopsi. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait