Peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) bertenaga blockchain justru berisiko tinggi dibandingkan teknologi biasa.
Intinya MIT menyimpulkan bahwa teknologi pemungutan suara berbasis blockchain bukanlah cara yang dapat diandalkan untuk meningkatkan jumlah pemilih yang lebih besar, bahkan dapat meningkatkan risiko peretasan.
“Sistem pemungutan suara berbasis blockchain membuka peluang peretasan, dengan hanya satu titik. Alhasil jutaan suara bisa diubah atau dihapus,” sebut peneliti MIT pada 16 November 2020, membandingkan dengan menghilangkan surat suara yang biasanya membutuhkan akses fisik di banyak titik.
Salah seorang peneliti, Ronald L. Rivest bahkan menegaskan bahwa sistem pemilu [di AS-Red] saat ini memang jauh dari sempurna, tetapi blockchain justru akan sangat meningkatkan risiko kegagalan pemilu berskala nasional yang tidak terdeteksi.
“Setiap peningkatan jumlah pemilih akan mengakibatkan hilangnya jaminan, yang berarti bahwa suara telah dihitung saat diberikan,” katanya mengacu pada sifat kekekalan data sekali ia disimpan di blockchain.
Dimaz Ankaa Wijaya peneliti blockchain di Australia, di media ini pernah menyoroti secara khusus soal wacana pemilu bertenaga blockchain.
Menurutnya, penerapan blockchain dalam sistem pemilu bukanlah perkara mudah. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mendapatkan sistem yang sempurna dari sisi teknologi, peraturan, hingga dapat diterapkan dalam kondisi yang tidak ideal seperti yang ada di Indonesia. Bukan sekarang, mungkin nanti di masa mendatang.
Selain itu, sistem pemilu berbasis blockchain juga harus memastikan bahwa para pemilik suara tidak dapat menjual suara mereka kepada calon pejabat yang akan dipilih. Ini adalah sebuah kebutuhan yang sulit dipenuhi, karena sistem kunci publik sederhana seperti yang ada pada Bitcoin tidak akan cukup untuk memastikan tidak ada politik uang. [Cointelegraph/red]