Wacana Ethereum rollback kembali mencuat setelah Bybit diretas. Isu ini memicu perdebatan di komunitas kripto mengenai apakah intervensi blockchain masih memungkinkan dalam ekosistem yang kini semakin kompleks.
Sejarah mencatat bahwa reorganisasi Ethereum pernah terjadi setelah peretasan DAO pada 2016. Namun, apakah langkah serupa masih relevan dan dapat diterapkan untuk memulihkan dana yang dicuri dalam peretasan Bybit?
Wacana Ethereum Rollback Pasca Bybit Diretas
Dalam diskusi di X Spaces pada Sabtu, 22 Februari sebelumnya, CEO Bybit, Ben Zhou, menghadapi pertanyaan kontroversial: apakah ia mendukung Ethereum rollback ke kondisi sebelum peretasan yang dilakukan oleh Lazarus Group? Dengan kata lain, bisakah pencurian tersebut dibatalkan secara teknis?
Zhou tidak memberikan jawaban pasti. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa keputusan semacam ini tidak bisa dibuat oleh satu individu saja, karena dapat berujung pada hard fork Ethereum seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
“Saya tidak yakin apakah ini keputusan satu orang. Berdasarkan semangat blockchain, mungkin ini harus menjadi proses pemungutan suara untuk melihat apa yang diinginkan komunitas, tetapi saya tidak yakin,” ujar Zhou.
Pernyataan ini segera memicu perdebatan di komunitas kripto. Sejarah mencatat bahwa Ethereum pernah melakukan rollback setelah peretasan DAO yang menyebabkan kehilangan sekitar US$60 juta dalam ETH.
Langkah tersebut memicu perpecahan komunitas yang berujung pada hard fork Ethereum, melahirkan Ethereum Classic (ETC), yang mempertahankan transaksi asli, sementara Ethereum (ETH) memilih menghapus jejak peretasan dan melanjutkan dengan sistem baru.
Pengembang Ethereum Tegaskan Rollback Tak Mungkin
Menanggapi spekulasi ini, pengembang inti Ethereum, Tim Beiko, menegaskan bahwa reorganisasi Ethereum bukanlah solusi yang memungkinkan. Dalam tweet yang diunggah pada 23 Februari 2025, Beiko menjelaskan alasan teknis mengapa usulan tersebut tidak dapat diterapkan.
Menurut Beiko, selain Ethereum rollback pada 2016, hal serupa pernah terjadi pada Bitcoin pada 2010, ketika bug menyebabkan pencetakan 184 miliar BTC. Saat itu, kesalahan dapat diperbaiki karena jaringan masih kecil dan dampaknya terkendali. Namun, kondisi saat ini jauh lebih kompleks.
“Ethereum tidak bisa sekadar menghapus transaksi tertentu tanpa menimbulkan dampak luas di seluruh ekosistem,” jelasnya.
Kasus peretasan DAO pada 2016 memang membuktikan bahwa Ethereum rollback bisa dilakukan, tetapi situasinya berbeda. Saat itu, dana hasil peretasan sempat dibekukan selama sebulan, memberi waktu bagi komunitas untuk mengambil keputusan. Namun, pada akhirnya, langkah tersebut memicu hard fork Ethereum.
Terungkap! Lazarus Group Ternyata Dalang di Balik Peretasan Bybit
Dalam kasus peretasan Bybit, dana curian langsung dipindahkan melalui jaringan DeFi dan berbagai bridge, membuat pemulihan menjadi sangat sulit dan kompleks. Beiko juga memberikan perspektif tambahan mengenai skala intervensi yang pernah terjadi.
“The DAO memiliki ETH dalam jumlah yang kira-kira setara dengan seluruh WETH yang ada saat ini serta semua nilai yang diamankan oleh Layer-2, bukan hanya ETH di L2, tetapi juga semua token di dalamnya,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan ketika ekosistem masih lebih sederhana, reorganisasi Ethereum tetap merupakan langkah besar. Dengan banyaknya dApps dan transaksi yang terjadi saat ini, dampaknya tentu akan jauh lebih luas.
Reorganisasi Bukan Pilihan
Selain faktor teknis, Ethereum rollback juga berisiko mengguncang kepercayaan terhadap jaringan tersebut. Salah satu prinsip utama blockchain adalah keabadian transaksi (immutability). Jika reorganisasi Ethereum dilakukan, kepercayaan terhadapnya sebagai jaringan terdesentralisasi bisa runtuh.
Komunitas kripto secara luas menolak ide ini. Beberapa analis menilai kasus ini sebagai pengingat bagi bursa seperti Bybit untuk memperkuat keamanan mereka, daripada mengandalkan intervensi blockchain.
Lazarus Kabur Aja Dulu, ByBit Gelar Sayembara Rp2,2 Triliun!
Perdebatan ini juga membandingkan Ethereum dengan blockchain terpusat seperti Solana. Seorang pengguna bertanya apakah keduanya cukup terdesentralisasi untuk mencegah intervensi, yang kemudian dijawab oleh Beiko.
“Benar. Solana mungkin lebih cepat dalam menerapkan hard fork dibanding Ethereum, tetapi tetap akan ada banyak efek samping serta risiko bahwa hacker akan segera memindahkan dana mereka sebelum hard fork diterapkan,” jelasnya.
Dengan penolakan keras dari pengembang dan komunitas, reorganisasi Ethereum tampaknya tidak akan terjadi seperti di masa lalu. Kejadian ini semakin menegaskan bahwa dunia kripto tetap berpegang pada prinsip desentralisasi. [dp]