Rupiah kembali jadi sorotan. Dalam beberapa hari terakhir, nilai tukarnya terhadap dolar AS terus merosot hingga menyentuh kisaran Rp16.580 per dolar AS. Level ini nyaris menyamai titik nadir yang terjadi saat krisis keuangan Asia pada tahun 1998.
Banyak pihak yang mulai bertanya-tanya, ini pertanda apa? Dan lebih jauh lagi, apa imbasnya terhadap perilaku investor kripto di Indonesia?
Ketika Angka Jadi Alarm
Nilai tukar rupiah memang bukan hanya sekadar angka di layar monitor. Ia menjadi semacam termometer yang menunjukkan “suhu” kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi kita.
“Sentimen pasar sangat negatif, baik terhadap pasar saham maupun rupiah,” ujar Pauline Ng, Kepala Ekuitas untuk kawasan Asia Tenggara di JPMorgan Asset Management.
Saat ini, kekhawatiran datang dari berbagai arah, salah satunya adalah program belanja besar-besaran pemerintah yang mulai dipertanyakan keberlanjutan anggarannya.
Contohnya, seperti yang disorot oleh Kontan, adalah program makan siang gratis yang dirancang untuk lebih dari seperempat populasi Indonesia. Program ini memakan biaya sekitar Rp71 triliun.
Meskipun tujuannya mulia, banyak investor mulai gelisah, jangan-jangan ini akan menambah beban utang negara secara berlebihan. Dalam dunia finansial, kekhawatiran seperti ini bisa dengan cepat berubah menjadi arus modal keluar dari pasar domestik.
Investor Lari, Kripto Jadi Pelarian?
Di sisi lain, ketika rupiah tertekan, mata uang digital seperti stablecoin berbasis dolar AS justru dapat mencuri perhatian. Bayangkan saja, ketika nilai rupiah goyah, dan harga barang impor makin mahal, wajar bila sebagian masyarakat mulai mencari instrumen yang nilainya lebih stabil seperti dolar AS dan emas.
Stablecoin seperti USDT atau USDC menjadi semacam “penyimpanan nilai” alternatif yang dapat dilirik oleh investor ritel. Sederhananya, daripada simpan rupiah yang nilainya terus tergerus, lebih baik simpan aset digital yang nilainya dipatok terhadap dolar AS.
Tidak sedikit juga yang mulai menggunakan stablecoin sebagai cara menyimpan dana jangka pendek atau bahkan melakukan transaksi lintas negara tanpa harus melewati sistem perbankan tradisional yang lambat dan mahal.
Dunia Kripto, Aman atau Justru Terdampak?
Namun demikian, dunia kripto di Indonesia tidak sepenuhnya terlindungi dari efek melemahnya rupiah. Investor yang ingin masuk ke aset kripto harus terlebih dahulu menukar rupiah mereka ke aset digital.
Kalau nilai rupiah sedang rendah, tentu saja mereka harus mengeluarkan dana lebih banyak untuk mendapatkan jumlah aset yang sama. Ini bisa menghambat niat sebagian orang untuk mulai berinvestasi di kripto.
Lebih lanjut lagi, kondisi makroekonomi seperti saat ini juga bisa mempengaruhi psikologi pasar secara luas. Investor cenderung berhati-hati, menunda pembelian, atau bahkan menjual asetnya lebih cepat jika merasa kondisi pasar terlalu volatil.
Akibatnya, volume transaksi di bursa kripto lokal bisa menurun, dan platform perdagangan pun harus memutar otak agar bisa tetap menjaga likuiditas.
Cerita di Balik Layar: IHSG Turun, Kapitalisasi Kripto Lokal Ikut Lesu?
Seperti efek domino, tekanan pada rupiah juga merambat ke pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh titik terendah dalam tiga tahun sebelum akhirnya rebound menjelang libur panjang. Di pasar kripto sendiri, sentimen semacam ini kadang membawa dampak ganda, yakni di satu sisi memberi peluang, di sisi lain memunculkan rasa cemas.
Investor lokal yang sebelumnya agresif di sektor aset digital kini mulai cenderung defensif. Beberapa lebih memilih menyimpan USDT atau USDC daripada membeli token non-stabil yang harganya fluktuatif.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Situasi ini sebenarnya membuka mata banyak orang bahwa investasi, apapun bentuknya, tak pernah lepas dari kondisi makro. Stabilitas fiskal, kebijakan pemerintah, dan kondisi pasar global semuanya punya andil dalam membentuk perilaku investor.
Bahkan dunia kripto, yang sering dianggap terpisah dari sistem keuangan tradisional, ternyata juga ikut goyah.
Pada akhirnya, rupiah yang nyaris menyentuh rekor terendah bukan cuma soal angka, melainkan alarm yang membangunkan banyak investor dari tidur panjang mereka. Dan seperti kata pepatah, saat badai datang, sebagian orang membangun tembok, sementara yang lain membangun kapal.
Dalam konteks ini, stablecoin adalah kapalnya, dan dunia kripto mungkin akan tetap berlayar, meskipun ombak rupiah sedang tinggi. [st]