Kebijakan baru tarif impor dari AS bikin geger para penambang Bitcoin. Demi menghindari beban tarif yang bisa mencapai 104 persen, sejumlah perusahaan penambangan Bitcoin di AS langsung bergerak cepat.
Mereka mulai mempercepat impor peralatan tambang dari berbagai negara, termasuk Tiongkok, Malaysia dan Thailand, sebelum kebijakan itu benar-benar berlaku.
Dan yang paling mencolok, beberapa di antara mereka bahkan menyewa penerbangan khusus yang biayanya tak main-main.
“Perusahaan-perusahaan besar menyewakan tiket pesawat dengan harga 2-4 kali lipat dari harga biasanya, yaitu sekitar US$2-US$3,5 juta per penerbangan,” ujar Ethan Vera dari Blockspace dalam sebuah insight.
Penambang Bitcoin Berlomba Dengan Waktu
Bayangkan Anda sedang lomba lari, dan garis finisnya adalah tanggal efektif berlakunya tarif. Itulah yang kini terjadi di dunia penambangan Bitcoin. Kuartal pertama tahun 2025 jadi momen paling sibuk.
AS tercatat sudah mengimpor peralatan tambang senilai lebih dari US$860 juta hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini. Waktu adalah musuh utama. Jika terlambat sedikit saja, maka harga yang harus dibayar akan jauh lebih tinggi.
Beban tarif yang diberlakukan AS tak main-main. Untuk barang-barang dari Tiongkok, misalnya, tarif yang dikenakan mencapai 104 persen. Negara lain juga tak luput dari target.
Malaysia dikenai tarif 24 persen, sementara Thailand dibebani tarif 36 persen. Angka-angka itu membuat banyak perusahaan memilih bertindak sekarang ketimbang menyesal nanti.
“Blockspace memperkirakan bahwa penambang Bitcoin AS mengimpor penambang ASIC senilai lebih dari $2,3 miliar tahun lalu dan lebih dari $860 juta pada Q1,” ujar Vera.
Efek Domino ke Harga Peralatan
Naiknya tarif tentu tak berdampak di satu titik saja. Lebih lanjut lagi, harga peralatan tambang diprediksi akan melonjak antara 22 persen hingga 36 persen. Kenaikan ini jelas bukan kabar baik, terutama bagi penambang skala menengah dan kecil yang biasanya lebih sensitif terhadap biaya operasional.
Mau tak mau, mereka harus memutar otak lebih keras. Apakah harus tetap ekspansi dan menanggung biaya yang jauh lebih mahal, atau menunda dan kehilangan momentum saat jaringan sedang sibuk-sibuknya? Tidak mudah, apalagi di tengah persaingan yang semakin ketat.
Negara Lain Mungkin Untung
Di sisi lain, kondisi ini justru bisa jadi angin segar bagi penambang di luar AS. Saat harga peralatan di AS melonjak, produsen di Tiongkok dan negara Asia lainnya dipaksa mencari pasar baru untuk menyalurkan stok yang tertahan akibat tarif.
Akibatnya, negara-negara yang tidak terkena tarif tinggi justru bisa mendapat peralatan dengan harga lebih miring.
Itu seperti ketika ada toko diskon besar-besaran di kota sebelah, sementara Anda di kota sendiri justru kena pajak tambahan kalau beli barang serupa. Menariknya, hal ini bisa membuat negara-negara di luar AS jadi lebih kompetitif dalam sektor penambangan kripto.
Dampak Lebih Luas ke Pasar
Tak hanya dunia penambangan kripto yang terguncang. Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok juga ikut menggoyang pasar saham global. Indeks S&P 500 dan Dow Jones mengalami tekanan, sementara Bitcoin sendiri sempat tergelincir ke bawah US$75.000.
Gerakan pasar ini mencerminkan betapa eratnya hubungan antara kebijakan perdagangan dan dunia aset digital.
Tiongkok pun tak tinggal diam. Sebagai balasan, mereka menjatuhkan tarif 84 persen terhadap sejumlah barang dari AS. Balas-balasan ini membuat suasana makin tegang, seperti dua pemain catur yang terus mengorbankan bidak demi menjatuhkan raja lawan. Bedanya, dalam permainan ini, yang jadi korban bisa saja seluruh industri.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Dari kisah ini, ada satu pelajaran sederhana, di mana dunia kripto ternyata tidak lepas dari urusan dunia nyata seperti logistik dan kebijakan perdagangan. Bahkan, seberapa cepat Anda bisa mengimpor satu kontainer mesin tambang bisa berdampak besar pada keuntungan jangka panjang. Dan, tentu saja, pada seberapa keras dompet Anda harus berteriak.
Untuk sekarang, para penambang Bitcoin di AS memilih terbang tinggi demi menyelamatkan bisnis mereka. Tapi jika situasi terus memanas, pertanyaannya bukan lagi siapa yang bisa impor lebih cepat, tapi siapa yang masih bisa bertahan. [st]