Tiongkok, Irak, dan 8 Negara Ini Melarang dan Ogah Terima Kripto!

Di tengah meningkatnya adopsi kripto secara global, beberapa negara tetap mengambil sikap keras terhadap aset digital ini, termasuk Irak dan Tiongkok.

Berdasarkan laporan Shafaq, ada setidaknya sepuluh negara masih melarang kripto atau menerapkan pembatasan ketat pada 2025. Alasan di balik kebijakan ini beragam, mulai dari stabilitas ekonomi, pencegahan pencucian uang, hingga kontrol keuangan yang lebih ketat.

Irak: Melarang Kripto Sejak 2017, Tapi Perdagangan Masih Berlangsung

Irak menjadi salah satu negara yang telah melarang kripto cukup lama, sejak 2017. Bank Sentral Irak (CBI) menegaskan bahwa risiko kejahatan keuangan, volatilitas, serta perlindungan konsumen menjadi faktor utama di balik keputusan ini. Institusi keuangan dan penyedia layanan pembayaran pun dilarang keras untuk berurusan dengan aset digital.

Tak hanya dari sisi pemerintah, otoritas agama di Irak juga memberikan peringatan terkait kripto. Pada 2018, Komite Fatwa Tertinggi Pemerintah Regional Kurdistan mengeluarkan fatwa yang melarang OneCoin, sebuah aset digital yang kontroversial.

Namun, meskipun larangan ini diberlakukan, perdagangan kripto secara informal tetap terjadi. Hal ini memperlihatkan tantangan dalam menegakkan aturan di tingkat individu.

Tiongkok: Melarang Kripto, Tapi Kembangkan Yuan Digital

Tiongkok telah menerapkan kebijakan ketat terhadap kripto sejak 2017, dimulai dengan melarang bursa perdagangan. Seiring waktu, kebijakan ini diperluas hingga mencakup pelarangan aktivitas penambangan serta larangan bagi institusi keuangan untuk menangani transaksi kripto.

Namun demikian, meskipun ada tindakan keras dari pemerintah, perdagangan kripto di pasar gelap masih aktif.

Menurut laporan dari Chainalysis, Tiongkok menempati peringkat ke-20 dalam Indeks Adopsi Kripto Global 2024. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok terus mengembangkan mata uang digital bank sentral (CBDC) dengan memperluas program uji coba yuan digital ke berbagai sektor.

Mesir: Melarang dengan Regulasi Ketat

Di Mesir, regulasi kripto masih sangat ketat, meskipun tidak ada larangan total. Bank Sentral Mesir terus memperingatkan risiko transaksi kripto, dan banyak platform perdagangan menghadapi kendala hukum dalam beroperasi.

Selain itu, faktor agama juga memainkan peran dalam kebijakan ini. Beberapa ulama Islam mengklasifikasikan kripto sebagai haram karena sifatnya yang spekulatif.

Meski demikian, fatwa-fatwa ini tidak memiliki kekuatan hukum, dan perdagangan peer-to-peer tetap marak terjadi. Laporan dari majalah digital asal AS, CEOWORLD, menyoroti tantangan besar dalam mengawasi aset digital yang sifatnya terdesentralisasi.

Negara-Negara Lain yang Masih Larang Kripto

Selain Irak, Tiongkok dan Mesir, beberapa negara lain yang masih melarang kripto pada 2025 adalah Algeria, yang menerapkan larangan penuh dengan alasan keamanan finansial dan stabilitas ekonomi, meskipun perdagangan kripto secara informal tetap berlangsung.

Bangladesh juga melarang kripto sejak 2017 dan menerapkan sanksi berat bagi pelanggar, termasuk denda dan hukuman penjara. Juga, Nepal telah menyatakan kripto sebagai aktivitas ilegal dan menindak tegas para pedagang serta operator bursa yang tidak berizin.

Afghanistan, setelah dikuasai Taliban pada 2022, kembali melarang kripto dan melakukan penangkapan serta penutupan bursa untuk menegakkan aturan tersebut. Sementara itu, Maroko telah melarang transaksi kripto sejak 2017, tetapi adopsinya tetap tinggi, mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan regulasi baru yang lebih terbuka.

“Menyadari maraknya penggunaan kripto, otoritas Maroko mempertimbangkan kembali pendekatan mereka. Bank Al-Maghrib, bank sentral Maroko, telah merancang undang-undang untuk mengatur aset digital, yang menandakan kemungkinan pergeseran ke arah legalisasi,” tulis majalah tersebut.

Di sisi lain, Bolivia, yang sejak 2014 telah melarang kripto dengan alasan stabilitas moneter, mulai melunak pada Juni 2024 dengan mengizinkan lembaga keuangan memproses transaksi kripto melalui saluran resmi.

Sementara itu, Rusia pun sempat mengusulkan larangan penuh pada 2022, tetapi akhirnya memilih untuk mengatur industri ini. Meski aktivitas penambangan kini diperbolehkan, pembayaran domestik dengan kripto masih tetap dilarang.

Masa Depan Regulasi Kripto

Meskipun sejumlah negara tetap melarang kripto, tren global menunjukkan adanya perubahan dalam cara pemerintah mengelola aset digital ini. Beberapa negara yang sebelumnya melarang total kini mulai mempertimbangkan regulasi yang lebih fleksibel.

Sebagai contoh, Maroko tengah menyusun regulasi baru untuk mengawasi pasar kripto dengan lebih baik, sementara Bolivia telah mencabut larangan sebelumnya untuk memungkinkan transaksi melalui jalur resmi.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tantangan regulasi masih ada, fleksibilitas dan adaptasi terhadap tren global tetap menjadi faktor kunci dalam kebijakan masa depan.

Dengan dinamika yang terus berubah, industri kripto masih harus menunggu bagaimana kebijakan ini akan berkembang di tahun-tahun mendatang. [st]

Terkini

Warta Korporat

Terkait