Investor telah berjuang melawan tingkat inflasi yang tinggi tahun ini dan kekhawatiran akan resesi pada tahun mendatang. Namun Bram Berkowitz dari Fool.com berpendapat bahwa tahun 2023 pasar saham bakal hijau kembali, berkat tiga faktor ini.
Jarak waktu menuju tahun 2023 hanya menyisakan hitungan minggu saja, dengan kondisi pasar sangat fluktuatif di mana indeks S&P 500 turun mendekati 18% pada tahun ini.
“Meskipun beberapa analis dan ekonom tidak berpikir kita keluar dari kesulitan dulu, hanya ada empat kejadian sejak 1929 ketika S&P 500 turun dua tahun atau lebih berturut-turut,” tutur sang jurnalis.
Dia menambahkan, ada banyak ketidakpastian di pasar saham, namun tiga hal ini dapat mengubahnya menjadi hijau pada tahun 2023.
1. Berharap Resesi Parah Tidak Terjadi
Sebagian besar ahli dan ekonom memperkirakan ekonomi AS akan mengalami resesi tahun depan atau pada 2024.
Namun, menurut Berkowitz, pertanyaan yang lebih besar adalah seberapa parah resesi itu.
“Ekonomi AS mungkin dapat menangani resesi ringan – dan bahkan mungkin agak membantu dalam menurunkan harga setinggi langit,” tulisnya.
Dia merujuk data, tingkat tabungan pribadi AS pada bulan Oktober telah mencapai beberapa level terendah yang pernah ada, dan konsumen juga menumpuk utang saat ini, dengan kredit bergulir sekarang jauh di atas level pra-pandemi.
Namun, konsumen telah bertahan relatif baik dengan tingkat pengangguran masih di bawah 4%, dan ada juga pertumbuhan upah yang cukup baik tahun ini.
“Itu untuk skenario resesi yang ringan. Namun resesi yang parah, di mana pengangguran melonjak, dapat memukul konsumen dengan keras, terutama jika harga tetap tinggi,” imbuhnya.
Menurutnya, tekanan resesi terhadap konsumen juga mempersulit perusahaan untuk membebankan biaya yang lebih tinggi.
Kepala penelitian ekuitas Saxo Bank, Peter Garnry, baru-baru ini mencatat bahwa proyeksi pendapatan untuk S&P 500 pada tahun 2023 adalah 7% di atas tahun ini, yang terlalu tinggi mengingat banyak dari perusahaan ini mengalami atau kemungkinan akan segera menghadapi tekanan margin.
Berkowitz meyakini, jika ekonomi AS dapat menghindari resesi yang parah dan pengangguran hanya meningkat sedikit, maka konsumen dan bisnis dapat menahan pukulan tersebut sampai ada stabilitas harga lebih lanjut.
2. Tanda-tanda Lebih Lanjut Meredanya Inflasi
Kenaikan suku bunga telah memukul saham tahun ini. The Fed telah bergerak cepat untuk memerangi inflasi ini dengan menaikkan suku bunga pinjaman semalam, suku bunga dana federal, dari praktis nol pada awal tahun hingga sekarang dalam kisaran 3,75% dan 4%.
Langkah Bank Sentral AS ini termasuk empat kenaikan suku bunga 75 basis poin berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Sekarang, ketua Federal Reserve, Jerome Powell telah mengindikasikan bahwa The Fed berada di jalur yang tepat untuk hanya menaikkan suku bunga dana federal sebesar 50 basis poin pada pertemuan terakhirnya tahun ini,” terang Berkowitz.
Hasilnya, Indeks Harga Konsumen (CPI) turun lebih dari yang diperkirakan pada bulan Oktober. Di mana CPI adalah salah satu metrik yang digunakan investor untuk mengukur inflasi.
Namun, dia menjelaskan, meskipun penurunan di bulan Oktober merupakan berita baik bagi pasar, itu tidak berarti The Fed telah memenangkan perangnya dengan inflasi.
“Selama tahun ini, ada saat-saat ketika CPI terlihat menurun, hanya menjadi lebih panas dari yang diharapkan pada bulan berikutnya, membuat beberapa orang percaya bahwa inflasi mungkin lebih bertahan daripada yang diperkirakan,” katanya.
Berkowitz mendorong, agar pasar melihat beberapa laporan IHK berturut-turut, serta data pendukung lainnya yang menunjukkan inflasi mereda dan akan jatuh mendekati target 2% The Fed.
“Semakin cepat ini terjadi, semakin cepat Fed dapat menghentikan kenaikan suku bunga, yang akan membantu saham,” tulisnya.
3. Berakhirnya Perang Rusia-Ukraina Akan Membantu Pasar Saham pada tahun 2023
Invasi berkelanjutan Rusia ke Ukraina telah menyebabkan kenaikan harga minyak dan energi yang signifikan, terutama karena AS, Uni Eropa, Kanada, dan Inggris telah berhenti membeli minyak Rusia sebagai bagian dari sanksi besar-besaran yang diberlakukan pada awal perang.
Berkowitz juga merujuk info bahwa Organisasi Negara Pengekspor Minyak telah membatasi pasokan minyak global, yang juga mendorong harga lebih tinggi.
“Perang juga menyebabkan kenaikan harga komoditas lain dan masalah rantai pasokan yang berkontribusi pada tingginya tingkat inflasi,” tulisnya.
Menurutnya, berakhirnya perang kedua negara di Eropa Timur itu pasti akan membantu pasar saham pada tahun 2023 mendatang.
“Jika ada sesuatu yang kita pelajari dari perang, dampaknya memang sangat tidak terduga. Sulit untuk memprediksi satu atau lain cara, tetapi invasi awal tahun ini membuat pasar lengah, jadi akhir tahun depan pasti bisa mengangkat pasar juga,” katanya.
Namun, Berkowitz tak menampik prediksi banyak pihak bahwa perang Rusia-Ukraina masih berlanjut hingga tahun 2023, karena Presiden Vladimir Putin menginginkan demikian. [ab]