Arthur Hayes: Bitcoin Melambung Bukan Karena Spot Bitcoin ETF

Mantan Bos BitMex, Arthur Hayes berpendapat, bahwa kenaikan masif harga Bitcoin (BTC) bukan didorong oleh spekulasi semakin dekatnya kelahiran beberapa Spot Bitcoin ETF seperti IBTC racikan BlackRock. Menurutnya, BTC mulai naik cepat menembus US$31 ribu kemudian menjadi US$35 ribu, karena pasar merespons tingginya aksi jual surat utang AS jangka panjang alias long term US treasury bond yang terjadi baru-baru ini.

Dalam catatan Arthur Hayes terbaru itu, tingginya aksi jual itu akhirnya mendorong The Fed menurunkan bunga investasi turun menjadi 11 persen pada 20 September. Akhirnya Bitcoin menguat 11 persen dan emas 1 persen.

Bagi Hayes, secara psikologis ini digambarkan bahwa ada kekhawatiran terhadap situasi inflasi dan menjelaskan investor beralih membeli Bitcoin dan emas.

“Jika surat utang AS jangka panjang gagal memberikan rasa percaya diri kepada investor, maka ketertarikan terhadap aset alternatif seperti emas dan Bitcoin dapat meningkat, terlebih-lebih ada ketakutan adanya inflasi ketika perang terus meningkat,” tutur Hayes.

Alasan Arthur Hayes agaknya cukup beralasan. Pasalnya, keterlibatan AS di perang Hamas-Israel baik secara tak langsung dan langsung memberikan sinyal, bahwa perlu biaya tambahan untuk biaya perang termasuk misi kemanusiaan jikalau ada. Ini bermakna perlu ada dana tambahan yang salah satunya dan utamanya diperoleh dari penjualan surat utang itu.

Surat utang atau obligasi AS sering dianggap sebagai salah satu investasi yang paling aman, karena dijamin oleh pemerintah Amerika Serikat. Para investor biasanya menganggapnya sebagai aset dengan risiko rendah yang stabil, yang memberikan pendapatan tetap dalam jangka waktu yang panjang.

Namun, jika para investor kehilangan kepercayaan pada obligasi ini, hal tersebut bisa disebabkan oleh berbagai alasan, seperti keraguan mengenai kemampuan pemerintah untuk melunasi utangnya atau kekhawatiran tentang tingkat return investasi.

Di saat yang sama, ketika para investor tidak lagi memiliki kepercayaan pada obligasi itu, mereka mungkin mencari aset alternatif untuk diinvestasikan. Dalam pernyataan Arthur Hayes, yaitu emas dan Bitcoin.

Emas sendiri memiliki sejarah panjang sebagai penyimpan nilai (store of value). Emas juga sering dianggap sebagai tempat perlindungan saat terjadi ketidakpastian ekonomi atau inflasi. Para investor mungkin beralih ke emas sebagai lindung nilai terhadap pelemahan mata uang konvensional atau sebagai cara untuk melindungi kekayaan mereka.

Sedangkan Bitcoin sebagai kelas aset baru yang cukup diminati, dianggap sebagai “emas digital” dan alternatif penyimpan nilai karena jumlahnya langka dan punya manfaat dalam transfer “uang”. Bitcoin juga telah mendapatkan popularitas sebagai lindung nilai potensial terhadap ketidakstabilan ekonomi, pelemahan mata uang, dan inflasi setidaknya sejak tahun 2010.

Terkait pendapat Arthur Hayes, bahwa peralihan investor ke aset lain, bisa menjadi lebih mencolok jika ada kekhawatiran tentang inflasi selama masa perang global, ada paparan yang menarik.

Saat konflik atau ketidakpastian terjadi, pemerintah AS biasanya meningkatkan pengeluaran mereka, yang dapat mengakibatkan inflasi jika tidak dikelola dengan baik. Dalam situasi tersebut, para investor mungkin mencari aset seperti emas dan Bitcoin yang kurang rentan terhadap pelemahan mata uang konvensional.

Pernyataan Arthur Hayes menunjukkan bahwa jika obligasi AS, yang biasanya dianggap sebagai investasi aman, kehilangan daya tarik bagi para investor karena kurangnya kepercayaan, hal tersebut bisa mendorong minat yang lebih besar pada aset alternatif seperti emas dan Bitcoin.

Tren ini dapat diperkuat dalam situasi di mana ada kekhawatiran tentang inflasi akibat konflik global, karena aset alternatif tersebut sering dianggap sebagai lindung nilai terhadap ketidakstabilan ekonomi dan pelemahan mata uang.

Potensi Pelemahan Mata Uang AS

Pendapat Arthur Hayes menyiratkan adanya potensi pelemahan mata uang AS di masa depan, jika aksi jual obligasi semakin agresif. Khususnya, ketika terjadi penurunan bunga obligasi AS jangka panjang, hal ini cenderung membuat investasi dalam dolar menjadi kurang menarik dibandingkan dengan mata uang lain yang menawarkan suku bunga yang lebih tinggi.

Dalam situasi seperti ini, para investor dapat mencari mata uang lain yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS mungkin menurun, dan ini dapat mengakibatkan depresiasi nilai tukar dolar terhadap mata uang asing.

Dampak pada Inflasi

Namun demikian dampak khusus pada inflasi akibat itu bisa jadi berbeda. Penurunan nilai bunga obligasi jangka panjang bisa menjadi indikasi awal dari ekspektasi pasar terhadap inflasi. Bunga obligasi yang lebih rendah dapat mencerminkan ekspektasi bahwa inflasi akan tetap rendah atau bahkan menurun.

Ini dapat menjadi pertanda bahwa para investor merasa yakin bahwa otoritas moneter, seperti Federal Reserve, akan menjaga inflasi tetap di bawah target sekitar 2 persen.

Di titik ini sekaligus menjadi penanda bahwa tingkat suku bunga acuan bisa lebih rendah daripada saat ini yang pada muaranya bisa mendukung pembelian terhadap aset lain selain dolar AS, yakni crypto seperti Bitcoin

Namun, perlu diingat bahwa inflasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan moneter dan fiskal, pertumbuhan ekonomi, pasokan dan permintaan, dan faktor-faktor lainnya. Penurunan bunga obligasi jangka panjang hanyalah salah satu indikator, dan ekspektasi inflasi yang akurat memerlukan penilaian yang lebih menyeluruh.

Arthur Hayes dan Potensi Melambungnya Crypto FIL

Selain melihat kekuatan positif terhadap Bitcoin, Hayes juga meramalkan potensi pertumbuhan harga Filecoin (FIL).

Awal bulan Oktober 2023, dalam tulisan, Hayes menekankan bahwa teknologi kecerdasan buatan (AI) memerlukan karakter “desentralisasi” untuk dua komponen kunci, yakni daya komputasi dan penyimpanan awan yang aman dan mudah diakses.

Baginya crypto yang sesuai untuk itu adalah Filecoin (FIL) yang dianggapnya sebagai hal yang penting untuk ekonomi AI yang sedang berkembang. Menurut analisisnya, lonjakan potensial tersebut bisa mencapai sekitar 1.730 persen jika rasio harga terhadap kapasitas mengalami kenaikan.

“Sejarah telah menunjukkan bahwa berinvestasi setelah mengalami berbagai tekanan selalu menjadi praktik yang paling bijak. Bayangkan saja, jika rasio harga/kapasitas hanya pulih sebesar 25 persen dari levelnya pada April 2021 menjadi US$4,86 per eksabibit (EiB), harga FIL bisa melesat menjadi US$59,29, hampir 17 kali lipat dari nilainya saat ini,” tuturnya. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait