Bitcoin Tertekan, 10X Research: Koreksi Belum Usai

Harga Bitcoin tertekan akibat kebijakan tarif Trump, 10X Research menilai koreksi belum usai. Sampai di level berapakah?

Sentimen positif terhadap aset kripto, termasuk harga Bitcoin tertekan, kembali mendapat tantangan serius setelah laporan terbaru 10X Research memperingatkan bahwa koreksi pasar saat ini belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Lembaga riset tersebut menilai kondisi makroekonomi global, termasuk pelebaran credit spread dan tekanan geopolitik antara AS dan Tiongkok, menjadi hambatan utama untuk pemulihan jangka pendek.

“Masih terlalu dini untuk membeli saat harga turun. Optimisme berlebihan terkait Tiongkok bisa menjadi jebakan,” tulis 10X Research dalam laporan hariannya, Selasa (9/4/2025).

Harga BTC Bisa Tertekan Terus Hingga US$60 Ribu

Menurut mereka, harga Bitcoin tertekan menembus ke bawah rata-rata pergerakan 21 mingguan di kisaran US$89.000, salah satu indikator penting yang sering digunakan untuk mengukur risiko penurunan lanjutan. Dalam situasi ini, harga Bitcoin disebut berpotensi menguji dukungan kritis di level US$73.000 dan bahkan bisa melemah ke kisaran US$60.000, jika tekanan makro memburuk.

harga bitcoin tertekan 2025

Kondisi ini diperburuk oleh pelemahan tajam permintaan global, tercermin dari anjloknya World Container Index untuk kontainer 40 kaki dari US$4.000 pada awal Januari menjadi US$2.100. Penurunan ini dinilai sebagai dampak langsung dari ketidakpastian perdagangan akibat ancaman kebijakan tarif tambahan oleh AS terhadap Tiongkok.

Kebijakan Tarif Impor Guncang Pasar Keuangan Global, Tak Terkecuali Bitcoin

Terkait Kebijakan Tarif Trump

Dalam laporan itu, 10X Research menyebut bahwa ketegangan dagang AS-Tiongkok tidak lagi sekadar soal tarif atau manufaktur dasar, melainkan telah berubah menjadi pertarungan strategis antara dua kekuatan teknologi global. Pemerintah AS disebut mencoba menekan pasar melalui sinyal menyesatkan, termasuk menghembuskan kabar gencatan senjata 90 hari yang ternyata tidak berdasar.

“Banyak investor yang tertipu oleh narasi ‘deal is near’. Padahal faktanya, Tiongkok kemungkinan akan menahan diri, bukan menyerah,” ujar 10X Research memandang konteks perang dagang itu.

Salah satu indikator risiko yang ditekankan adalah pelebaran US corporate credit spreads, yang kini mulai menyentuh level positif secara tahunan. Kondisi ini secara historis sering menjadi sinyal awal memasuki pasar bear untuk aset-aset berisiko, termasuk Bitcoin.

Lebih lanjut, laporan menyebutkan bahwa pasar saham AS juga belum menunjukkan pemulihan yang berarti. Koreksi 20 persen yang terjadi belum cukup untuk membentuk titik beli yang kuat, mengingat musim laporan keuangan kuartalan yang akan dimulai Jumat ini diprediksi diwarnai ketidakpastian. Banyak eksekutif diperkirakan tidak akan memberikan panduan kinerja ke depan, memperburuk ketidakjelasan arah pasar.

Ada Arus Keluar US$240 Juta, Pasar Kripto Ditinggal Investor?

Situasi likuiditas pun memburuk, dengan swap spread tenor tiga tahun menunjukkan peningkatan tekanan di pasar pendanaan perbankan. Imbal hasil obligasi AS naik tajam, sementara kepercayaan antarbank mulai tergerus. Ini memicu kekhawatiran akan dampak sistemik seperti yang terjadi pada krisis keuangan global 2008.

Dari sisi Tiongkok, tekanan deflasi dan lemahnya fundamental ekonomi menimbulkan potensi devaluasi yuan (CNY) dalam waktu dekat. Jika hal ini terjadi, efeknya bisa memperburuk tekanan inflasi global, meningkatkan imbal hasil obligasi, dan menunda harapan pelonggaran moneter dari The Fed. Ketua The Fed Jerome Powell sendiri sudah menyatakan bahwa belum ada rencana pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.

Meski pada 2015 devaluasi yuan sempat memicu reli Bitcoin, 10X Research menilai konteks saat ini sangat berbeda. Dukungan dari investor ritel Tiongkok tidak lagi sekuat dulu, tekanan regulasi lebih ketat, dan peran stablecoin yang kini dominan justru membuat pasar lebih rentan terhadap aksi likuidasi mendadak.

“Kali ini, tidak ada jaminan bahwa devaluasi yuan akan memicu lonjakan harga Bitcoin. Justru, Bitcoin bisa menjadi collateral damage saat investor beramai-ramai mencairkan aset demi memenuhi panggilan margin,” tulis laporan tersebut.

Di tengah ketegangan geopolitik dan melemahnya kepercayaan pasar, 10X Research menilai bahwa baik Presiden AS Joe Biden maupun pemimpin Tiongkok Xi Jinping sama-sama belum menunjukkan tanda-tanda mundur. Ketidakpastian menjelang pemilu paruh waktu AS bahkan dinilai bisa menjadi senjata Tiongkok untuk menekan ekonomi AS melalui efek kekayaan negatif (negative wealth effect) yang semakin dalam.

“Tanpa adanya dukungan fiskal atau moneter yang terkoordinasi, pasar kripto—termasuk Bitcoin—masih berisiko mengalami tekanan lebih lanjut,” pungkas laporan itu. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait