Ethereum 2.0, Apa Saja Risikonya?

Proses pembaruan menuju blockchain Ethereum 2.0 dengan model Proof of Stake (PoS) membawa manfaat tambahan bagi penggunanya. Salah satunya, yaitu model staking d imana pengguna menerima pendapatan pasif dari memvalidasi transaksi dengan cara menyimpan sebanyak 32 ETH untuk menjadi simpul validator atau bergabung ke staking pool.

Dua pertiga (66 persen) komunitas Ethereum mendukung model staking. Banyak pakar meyakini pembaruan ini akan berdampak positif bagi harga dan volume perdagangan aset kripto Ether (ETH).

Changpeng Zhao CEO Binance mengatakan, bahwa staking akan menstabilkan harga aset kripto. Selain itu, transaksi jaringan bisa lebih murah dan cepat dengan biaya gas yang menurun.

Praneeth Srikanti, Kepala Investasi ConsenSys Ventures, menambahkan PoS akan meningkatkan permintaan ETH, sebab pengguna mendapatkan peluang imbalan staking dan juga penggunaan ETH dalam aplikasi DeFi (decentralized finance).

Kendati demikian, model staking tersebut mengandung risiko, termasuk dampak bagi penambang yang masih berjalan di jaringan Ethereum 1.0. Transisi ini disebut akan membuat penambang ETH akan gulung tikar atau menambang aset kripto lain.

Ada pula risiko bagi para staker yang menyimpan dana di jaringan Ethereum, sebab tidak semua pengguna memahami seluk-beluk staking yang mungkin tergolong rumit.

Model staking yang rumit bisa berakibat kepada pencurian private key dan kesalahan saat proses transfer. Selain itu, transisi dari Ethereum 1.0 ke 2.0 menghadirkan risiko lock up, di mana Ether yang disimpan di rantai PoS baru tidak bisa dicairkan jika terjadi penurunan harga yang mendadak.

Kabar baiknya, menurut Eliezer Ndinga dari 21Shares, bursa kripto dan layanan kustodian lain bisa membantu dengan proses transisi ini. Layanan staking pihak ketiga juga bisa jadi solusi, tetapi dana pengguna bisa diakses oleh pihak ketiga tersebut.

Direktur komunikasi OKCoin Will McCormick mengatakan risiko lockup justru menyeimbangkan antara potensi imbalan staking dan trading sehingga menarik pangsa investor yang lebih luas.

Aplikasi desentralistik (DApp) yang dibangun di atas Ethereum akan tetap beroperasi dan tidak mengalami perubahan sampai diperbarui secara manual ke versi 2.0. Tetapi ada ancaman pembaruan ke versi 2.0 gagal secara teknis akibat pemisahan jaringan atau peretasan keamanan.

Pengembang SKALE Konstantin Kladko menyatakan ada kelemahan dalam penerapan staking Ethereum 2.0, sebab bisa jadi tidak ada cukup dana untuk memulai jaringan tersebut. Tidak ada metode untuk transfer balik ke versi 1.0, sehingga validator bisa kehilangan 50 persen uangnya, tambah Kladko.

Bukan hanya resiko kegagalan, Ethereum 2.0 juga menghadapi resiko penundaan. Lanre Ige dari 21Shares berkata risiko terbaru adalah kegagalan membarui jaringan secara tepat waktu.

Simpul validator yang memakai peladen (komputer server) pihak ketiga bisa juga menjadi sasaran empuk peretas. CTO bursa Bitfinex Paolo Ardoino meproyeksikan hal tersebut akan menggiurkan bagi peretas.

“Sangat penting bagi para pengguna berhati-hati memindahkan dana dari Ethereum 1.0 ke 2.0, kecuali mereka benar-benar sudah paham dan nyaman dengan tingkat keamanan blockchain Ethereum 2.0,” kata Ardoino.

CEO OKEx Jay Hao menambahkan bisa jadi masih butuh bertahun-tahun sebelum Ethereum 1.0 sepenuhnya terpadu menjadi 2.0, sebab transisi di antara kedua versi blockckhain yang amat berbeda ini, bisa menyebabkan adanya kerentanan, sehingga mudah diserang.

“Mengingat krisis ekonomi saat ini dan kelemahan sistem keuangan tradisional, aset kripto dan DeFi semakin relevan. Tetapi, jika sektor aset kripto tidak bisa ramah pengguna dan blockchain macet dengan banyak transaksi, sulit kiranya mengajak massa yang lebih banyak untuk bergabung. Kendati ada risikonya, ETH 2.0 merupakan langkah yang vital,” pungkas Hao. [cointelegraph.com/ed]

Terkini

Warta Korporat

Terkait