Fakta dan Mitos NFT, Kripto dan Blockchain

Fakta dan mitos NFT, termasuk tentu saja seputar kripto dan blockchain, berkelindan di keseharian kita. Untuk mengupas dan meluruskannya perlu argumen khusus.

OLEH: Dimaz Ankaa Wijaya, Ph.D
Peneliti Blockchain di Universitas Deakin, Australia

Beberapa waktu yang lalu seorang dosen Universitas Padjadjaran mengirim pesan kepada saya melalui Instagram. Beliau meminta saya untuk memberi tanggapan terhadap sebuah artikel menarik karya Gamal Abdul Naser atau Gamalan. Artikel itu diunggah di situs miliknya, empat.id yang berjudul “Melawan Blockchain, Cryptocurrency, NFT

Isinya ya, sejalan dengan judulnya, memberikan sanggahan terhadap pendapat-pendapat umum seputar tiga topik ini: blockchain, cryptocurrency dan NFT (non-fungible token). Artikelnya cukup panjang, dan untuk menanggapi, tentu saja perlu dibuatkan artikel baru tentangnya.

Oh iya, artikel Gamalan memberi istilah baru pada topik-topik di atas, yakni “borkchan” untuk blockchain, “kleptocurrency” untuk cryptocurrency dan “NTF” untuk NFT.

Barangkali ini bentuk ketidaksukaan beliau terhadap topik-topik ini, tetapi yang jelas artikel saya ini akan lebih netral dalam menanggapi. Karena, bagaimanapun, tulisan Gamalan sebagian di antara ada benarnya.

Saya harus mengakui Gamalan fasih menjabarkan teknologi blockchain (atau “borkchan”, sesuai istilah pilihannya), serta asal-usul dari cryptocurrency dan NFT. Kemudian ia mulai menyebut beberapa pernyataan dan memberikan argumen bantahannya. Nah, mari kita telaah setiap pernyataan dan argumen Gamalan tersebut.

NFT Lintas Game, Lintas Blockchain

Gamalan berpendapat bahwa mustahil NFT bisa dipadupadankan untuk semua game dan antar game yang berbeda ataupun antar blockchain yang berbeda-beda.

Pendapat itu mengacu pada perkembangan metaverse saat ini yang pada prinsipnya adalah game 3 dimensi yang menggunakan game engine khusus, misalnya Unity. Metaverse (dibaca: game) Decentraland telah mampu memadukan NFT di dalamnya. Itupun memanfaatkan blockchain tertentu, yakni Ethereum.

Game, metaverse, NFT lintas blockchain, menurut Gamalan ibarat mengisi daya listrik pada mobil diesel, berharap mobil tersebut berubah menjadi mobil elektronik.

Demi Metaverse, Microsoft Beli Activision Blizzard, Setara Rp986,46 Triliun

Ya, tentu saja, kehidupan nyata tak seperti itu. Sebuah produk harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu menyokong fitur-fitur yang diharapkan ada pada produk tersebut. Sekalipun itu ada, itu sekadar skenario, seperti yang dijelaskan di artikel ini.

Ini mungkin menjelaskan, langkah Microsoft yang membeli perusahaan game Blizzard Activision senilai lebih dari Rp900 triliun, hanya menitikberatkan pada metaverse (game). Belum ada nada pengayaan blockchain dan NFT di dalamnya.  Itu jelas lebih masuk akal, karena Microsoft sendiri adalah pengembang game termasuk alatnya, yang terhitung sukses, lewat XBox.

NFT Melindungi Kreator dan Menjamin Keaslian Karya Seni

Ada sejumlah argumen yang kurang tepat di pernyataan Gamalan itu. NFT dapat menjamin keaslian adalah kurang tepat. Tak hanya barang elektronik, bahkan barang fisik seperti lukisan pun bisa dipalsukan. Jadi, kurang tepat memang bila NFT dipakai untuk menjamin provenance dari sebuah karya.

Jika kurang yakin adanya celah replikasi NFT yang mewakili file digital (JPG, MP4, WAV), Anda bisa membaca artikel apik ini. Sesuai dengan isi artikel itu, siapapun dengan mudah dan melakukan replikasi terhadap NFT Ketua MPR Bambang Soet ini.

NFT Tidak Bisa Menyelesaikan Masalah Royalti

Gamalan juga membahas soal NFT yang ia sebut tidak bisa menyelesaikan masalah royalti. Padahal, tidak selamanya hal ini tepat. Andaikata seorang seniman mewujudkan karyanya dalam bentuk NFT, justru royalti dapat dipastikan pembayarannya. Mengapa? Karena transaksi yang terjadi, selama tereksekusi melalui smart contract, dapat mengutip persentase royalti sesuai dengan yang telah ditentukan.

Transaksi yang difasilitasi oleh pihak ketiga justru tidak mampu menjamin pembayaran persentasi royalti kepada sang artis, karena potensi fraud yang disengaja, ataupun kesalahan hitung yang tidak disengaja.

Gamalan berpendapat bahwa seorang artis yang memproduksi banyak karya tidak memerlukan blockchain karena dapat dilakukan dengan sistem yang ada.

Wah, pendapat ini memang ada benarnya. Tapi ada juga salahnya. Layaknya orang mempertanyakan keberadaan kereta api, padahal sudah ada mobil yang fungsinya sama: mendukung mobilitas manusia. Tujuannya sama, tetapi fiturnya berbeda. Sudah barang tentu hasilnya pun, berbeda pula.

NFT dan musik. Gamalan meragukan kalau kedua hal ini dapat digabungkan, karena membentuk NFT atas karya musik berarti mempublikasikan lagu tersebut untuk diakses khalayak ramai.

Persepsi ini ada benarnya. Akan tetapi, NFT adalah soal kepemilikan dan bukan aksesibilitas. Contoh saja, sebuah NFT termahal yang pernah dijual milik Beeple, The First 5000 Days, dapat diakses semua orang untuk dilihat, bahkan disalin dan disimpan. Akan tetapi, NFT ini toh tetap ada harganya!

NFT Memberikan Keuntungan yang Besar kepada Kreator

Gamalan meyakini mereka yang untung lewat NFT adalah artis yang sudah punya nama. Tetapi, argumen ini tentu dipatahkan oleh Ghozali, mahasiswa asal Semarang yang menjual foto dirinya di Opensea sebagai NFT. Karyanya telah diperjualbelikan dengan total nilai 395 ETH atau tak kurang dari Rp17 miliar rupiah. Padahal, sebelum karyanya yang berjudul “Ghozali Everyday” sukses, ia bukan siapa-siapa.

Argumennya tentang NFT tidak menyelesaikan masalah discovery, ya tentu saja tidak karena memang tidak didesain untuk tujuan itu!

Ini Alasan NFT Ghozali Bernilai Hingga Miliaran Rupiah

Kesimpulan Gamalan tentang NFT yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah orginalitas karya, royalti, dan discovery, tidak disertai dengan argumentasi yang kokoh untuk memperkuat pendapatnya.

Cryptocurrency Permudah Transaksi Tanpa Bank

Gamalan sebenarnya menyetujui pernyataan di atas. Akan tetapi untuk menunjukkan ketidaksukaannya pada produk ini, ia mengalihkan pokok pembicaraan pada volatilitas nilai cryptocurrency terhadap mata uang fiat.

Padahal bila dipikir-pikir, tak ada kaitannya antara kemudahan transaksi dengan valuasi nilai cryptocurrency dengan mata uang fiat. Demikian pula sepertinya ia lupa bahwa mata uang fiat pun memiliki volatilitas harga dengan mata uang asing lain.

Lebih lanjut, menurutnya, proses pertukaran cryptocurrency dari dan ke mata uang fiat membutuhkan bank. Memang benar, akan tetapi tidak selamanya demikian.

Bila diinginkan, pertukaran dapat dilakukan langsung tanpa perantara bank. Bank, di sini, adalah alternatif media transaksi dan bukan satu-satunya cara. Berbeda halnya dengan transaksi perbankan, di mana bank adalah medium utama perpindahan aset dari satu rekening ke rekening lainnya.

Cryptocurrency Itu Jaminan Privasi

Gamalan menyerang cryptocurrency dari sisi privasi. Padahal, privasi adalah konsep yang selalu berkembang.

Dahulu, orang mudah saja memberikan informasi nama, tanggal lahir, serta alamat tempat tinggal. Kemudian, banyak orang menyadari informasi ini seharusnya privat.

fakta dan mitos NFT kripto

Bahkan kini, menyebarkan nomor induk kependudukan (NIK) yang tak terhubung langsung dengan informasi pribadi pun sudah dikategorikan pelanggaran privasi. Tak hanya itu, penyebaran alamat surel dan nomor ponsel yang tak ada hubungan langsung dengan privasi, adalah sebuah hal yang menimbulkan polemik.

Isu privasi pada cryptocurrency juga merupakan sebuah hal yang berevolusi. Bitcoin awalnya juga disebut sebagai produk dengan privasi. Namun pengetahuan dan analisis data berkembang untuk membuktikan bahwa pendapat bitcoin sebagai produk privasi adalah kurang tepat.

Namun tidak semua blockchain tidak privat meski datanya bersifat publik. Produk seperti Monero dan Zcash masih mempertahankan statusnya sebagai aset kripto privat karena tak mudah dianalisis.

Blockchain Secara Desain Aman

Sayangnya bagian ini tidak disertai dengan penjelasan yang benar oleh Gamalan. Terlihat bagaimana lemahnya pengetahuan Gamalan di bidang keamanan siber (cybersecurity).

Keamanan pada dasarnya tidak absolut. Sebuah produk yang mengklaim diri aman selalu memiliki syarat dan ketentuan (S&K) berlaku.

Nah, S&K keamanan ini di dalam dunia akademik biasa disebut dengan asumsi keamanan (security assumption) atau model keamanan (security model), atau sering disebut juga dengan model ancaman (threat model).

Nah, sebuah produk dikembangkan berdasarkan asumsi keamanan yang sudah diterima. Akan tetapi, produk tersebut bisa saja tidak aman atas asumsi keamanan yang berbeda. Konsep ini terlihat abstrak, namun untuk mudahnya akan diberikan sebuah pengandaian.

Begini: sebuah rumah biasanya dilengkapi dengan tembok, pintu (lengkap dengan kunci dan anak kunci), serta pagar, sebagai fitur-fitur keamanannya. Asumsi keamanan yang umumnya diambil oleh para pengembang rumah adalah, rumah tersebut harus “aman dari pencuri dari luar rumah yang tidak memiliki anak kunci yang tepat”.

Namun terlihat jelas, keamanan rumah tersebut rentan dengan “pencuri dari dalam rumah”, “pencuri yang memiliki anak kunci yang tepat”, “pencuri yang mampu membobol kunci”, ataupun lebih ekstrim lagi, “pencuri yang membawa traktor untuk menghancurkan pagar sekaligus tembok”.

Rumah tersebut dianggap aman hanya atas dasar asumsi keamanan tertentu, dan tidak aman atas asumsi keamanan lainnya. Namun, asumsi keamanan rumah tersebut sudah dianggap memadai. Risiko keamanan lainnya seperti traktor merupakan risiko keamanan yang dapat diterima, misalnya karena ada siskamling setiap malam. Tetapi, siskamling ini pada dasarnya bukan termasuk fitur yang dibangun oleh si pengembang rumah.

Nah, kembali lagi ke sistem blockchain yang dianggap tidak benar-benar aman oleh Gamalan. Gamalan mengatakan bahwa sistem blockchain amat bergantung pada hash collision. Padahal, hash collision ini tidak dapat dihilangkan sama sekali untuk protokol hashing manapun, dikarenakan birthday paradox.

Hash collision akan selalu ada, akan tetapi untuk mencapainya diperlukan usaha yang amat-sangat-luar-biasa-ekstra-keras-sekali, kecuali ada faktor keberuntungan di dalamnya.

Lebih lanjut lagi, Gamalan menyerang kelemahan pada pengelolaan private key. Memang betul, private key adalah salah satu titik lemah pada semua teknik kriptografi asimetris.

Sistem yang kompleks memiliki subsistem khusus yang mengelola private key, misalnya hardware security module (HSM). Kembali lagi, pengelolaan private key tidak termasuk di dalam asumsi keamanan sistem dasar blockchain, jadi, ya, memang tidak aman.

Ini kan, sama seperti keamanan rumah yang bergantung pada keamanan anak kunci. Bila anak kunci hilang, sangat besar peluang pencuri memasuki rumah dengan anak kunci tersebut.

Kemudian, Gamalan menambahkan studi kasus di mana seorang hacker yang mengirim token yang berisi smart contract berisikan perintah berbahaya. Jujur saja, saya tak paham apa yang ia maksudkan.

Tak hanya di blockchain, seseorang yang mengetahui nomor rekening bank tertentu bisa mengirim uang ke rekening bank tersebut tanpa izin si pemilik rekening bank, terlepas dari mana uang yang dikirim tersebut berasal. Iya kan?

Guna Blockchain Selain Cryptocurrency dan NFT

Gamalan sepertinya mulai lelah dalam memberikan argumen yang masuk akal. Argumentasi lemah Gamalan sangat mudah dipatahkan hanya dengan googling satu-dua menit saja.

Tautan ini adalah hasil pertama yang saya dapatkan dari kata kunci “blockchain use-cases”. Gamalan juga kurang memahami bahwa ada teknik kriptografi tingkat lanjut (advanced) seperti zero knowledge-proof (ZKP) dan ring signature (RS) yang bisa dipakai untuk meningkatkan privasi transaksi.

Ada banyak use-case lain yang saya jelaskan. Tetapi saya berharap bisa berdialog langsung dengan Gamalan. Karena, menulis semua ini, akan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan, dan bisa jadi tidak dapat dipublikasikan karena kepanjangan.

Blockchain Menambah Masalah pada Distribusi Software

Gamalan berargumen bahwa blockchain menambah kompleksitas saat memindahkan data dari satu software ke software yang lain. Benar, tetapi, semua orang juga tahu itu.

Sebagai usaha untuk memberikan final blow pada blockchain, Gamalan berkomentar “Tidak bisa masalah sosial diselesaikan dengan teknologi saja. It’s totally against my intelligence to support a scam.”

Tidak ada masalah sosial yang bisa diselesaikan secara sempurna dengan teknologi saja. Memang benar. Bila ada, maka Microsoft, Google, dan perusahaan besar lain pasti sudah menemukan caranya.

Tetapi penyebutan scam menunjukkan bahwa “he has no idea what he wrote”. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait