Kasus “Penipuan Bitfinex US$850 Juta”, Pelaku Pasar Kripto Angkat Bicara

Sejumlah pengamat dan pelaku pasar aset kripto Indonesia mengaku agak terkejut dengan pernyataan Jaksa Agung New York yang menuduh pemilik bursa kripto Bitfinex melakukan transaksi ilegal untuk menyamarkan dana yang hilang senilai US$850 juta.

Berdasarkan sejumlah dokumen, Jaksa Agung menyebutkan, Bitfinex menarik cadangan stablecoin Tether (USDT), yang diklaim didukung satu banding satu terhadap dolar AS, untuk membayar pengguna yang melakukan penarikan dana dari bursa kripto itu.

CEO Indodax, Oscar Darmawan ketika dihubungi hari ini mengatakan, jikalau itu benar-benar terjadi, maka sangat disayangkan, sebab sejak terbit pada tahun 2014, USDT paling besar ekosistemnya, sehingga jadi lebih popular dibandingkan jenis stablecoin lainnya.

“Saya merasa rumor yang terjadi di Tether memang sangat disayangkan, kalau misalnya itu benar terjadi. Tapi, saya percaya dunia stablecoin akan terus berkembang. Sekarang juga semakin banyak stablecoin yang terus berkembang dan lebih teraudit secara transparan. Bahkan, beberapa bank sudah mulai mengerjakan proyek serupa stablecoin ini. Memang dunia blockchain masih banyak sejumlah eksperimen, namun saya yakin semakin lama ekosistem ini akan makin dewasa dan akan lebih baik. Semua butuh proses, tidak terjadi secara instan,” kata Oscar.

Menanggapi tuntutan hukum oleh Jaksa Agung New York terhadap Bitfinex, pengamat blockchain, Dimaz Ankaa Wijaya mengatakan, sejak awal Bitfinex dan afiliasinya, termasuk stablecoin USDT yang dibuat oleh Tether sebenarnya bermasalah.

“Pernyataan Jaksa Agung New York itu sejatinya menegaskan permasalahan dan kontroversi seputar relasi bursa kripto Bitfinex, Tether dan USDT selama ini. Sebab, mereka tidak bisa memastikan uang dolar fiat milik mereka mampu mem-backup nilai USDT di pasar. Ini menjadi pelajaran bagi penerbit jenis stablecoin lainnya, bahwa aspek legal harus dipenuhi, karena bisa berdampak luas pada pasar kripto secara umum,” tegas Dimaz kepada Blockchainmedia hari ini melalui Telegram.

Namun demikian, di atas itu semua, lanjut Dimaz, stablecoin tidaklah ditakdirkan untuk abadi.

“Memangnya, audit seperti apa yang menjamin tidak ada kecurangan? Stablecoin barangkali akan berhasil jika memang mendapatkan dukungan pemerintah, sebagai pengganti uang kertas,” tegasnya.

Bos bursa kripto Triv, Gabriel Rey pun angkat bicara perihal kasus itu. Ia tak menampik adanya kontroversi USDT selama ini, sebelum munculnya tuntutan hukum oleh Jaksa Agung New York. Katanya, sebelum peristiwa ini, Bitfinex, Tether dan USDT sempat mendapatkan sorotan dari pihak berwenang di Amerika Serikat. Peristiwa teranyar itu sekadar menegaskan kontroversi itu lebih terang benderang.

“Demi keamanan saya menyarankan investor agar jangan memegang USDT sebelum Bitfinex dan Tether melengkapi dokumen yang diperlukan oleh Kejaksaan Agung New York dan menginformasikan bahwa sudah situasi sudah jelas dan aman. Kemudian tunggulah hingga Bitfinex mampu membuktikan mereka mempunyai laporan keuangan teraudit dengan baik soal aset maupun uang yang menyetarai peredaran USDT,” kata Rey.

Rey juga menyarankan, investor yang sekarang memegang USDT agar cepat menjualnya. Lalu alihkan dengan jenis stablecoin lain, seperti USDC yang diregulasi ketat oleh pemerintah Amerika Serikat.

“Token USD yang diatur oleh Negara Paman Sam memiliki risiko yang sangat rendah dibanding USDT, karena ketatnya peraturan pemerintah Amerika Serikat untuk melindungi investor. Sedangkan USDT saat ini tidak mengacu dalam peraturan dan undang-undang negara manapun,” kata Rey. [vins]

Terkini

Warta Korporat

Terkait