Ketika Hegemoni Dolar AS Mulai Ambrol Bukanlah Bualan

Hegemoni dolar AS memang mulai ambrol dan Ron Paul, mantan anggota DPR AS mengakui ini adalah sebuah kenyataan, tetapi perlu waktu lama untuk menjadi ‘kondisi penuh’. Di atas itu semua dia tak menampik hancurnya dolar AS memang akibat kewenangan sakti The Fed dalam membuat kebijakan moneter.

Turunnya pengaruh dolar AS di blantika ekonomi global sesungguhnya bukanlah isu baru. Bahkan setelah The Fed didirikan pada tahun 1913 lewat Federal Reserve Act, pendapat serupa mencuat, karena The Fed diberikan wewenang untuk membuat kebijakan moneter yang diperlukan tanpa persetujuan Kongres. Lembaga wakil rakyat itu memang tetap mengawasi bank sentral itu, tetapi terbatas dan bisa mengubah undang-undang The Fed.

Hingga ketika pada tahun 2018, ketika Tiongkok menelurkan program agak senyap bahwa mereka berencana tak pakai dolar AS sebagai cadangan devisa, termasuk di sejumlah aksi perdagangan antar negara.

Tiongkok tampak jelas mulai mempertimbangkan untuk tidak menggunakan dolar lagi sejak beberapa tahun terakhir, terutama sejak konflik perdagangan dengan Amerika Serikat meningkat pada tahun 2018.

Keputusan ini didasarkan pada beberapa alasan, termasuk kekhawatiran tentang kestabilan nilai dolar AS, upaya untuk memperkuat posisi yuan sebagai mata uang global, dan keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan Amerika Serikat.

Secara lebih khusus, pada tahun 2020, Tiongkok mengumumkan rencana untuk memperluas penggunaan yuan di sektor keuangan internasional, dan meningkatkan penggunaannya dalam perdagangan bilateral dengan mitra dagangnya.

Tiongkok juga telah memperkuat kerjasama dengan negara-negara lain, termasuk Rusia dan Iran, dalam menghindari penggunaan dolar dalam perdagangan bilateral mereka. Pekan lalu Tiongkok dan Rusia menegaskan program itu lagi, bahwa dolar AS tak lagi menjadi bagian perdagangan antar kedua negara, namun hanya pakai yuan.

Tambahan atas heboh hegemoni dolar AS yang ambrol, ketika ASEAN mengagendakan tak pakai dolar AS lagi dalam perdagangan antara negara. Itu bagian dari pertemuan menteri keuangan dan bank sentral ASEAN di Bali.

Bahkan dua hari yang lalu BRICS, organisasi ekonomi beranggotan Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan berencana akan membahas kemungkinan membuat mata uang baru untuk perdagangan.

Hegemoni Dolar AS Mulai Ambrol, Ron Paul: Ini Bukan Bualan

Hegemoni dolar AS sebagai bagian dari kekekalan dominasi yang mulai ambrol diakui sediri oleh Ron Paul. Tokoh AS berpengaruh ini yang merupakan mantan wakil rakyat di Negeri Paman Sam memang mengakui aroma tak sedap itu. Ron Paul mengakui bahwa Hegemoni dolar AS mulai runtuh adalah kenyataan.

Dia katakan itu di podcast terbaru “The Ron Paul Liberty Report,”, bahwa langkah Tiiongkok, Rusia, Brasil dan negara lain akhir-akhir memang mengancam posisi dolar AS sebagai mata uang cadangan global.

Paul yakin jika dolar AS pada akhirnya dicopot sebagai mata uang cadangan, ini akan memakan waktu lebih lama daripada beberapa prediksi yang beredar saat ini.

“Orang-orang telah membicarakan hal ini sejak lama, dan sungguh menakjubkan, selalu lebih lama dari beberapa prediksi. Seseorang dapat mengatakan pada tahun 1930 bahwa standar dolar tidak akan bertahan lama dengan diambil alih oleh Fed. Memprediksi waktu yang tepat memang sangat sulit,” ujarnya.

Ia juga menggambarkan situasi serupa, ketika pada tahun 1971 Presiden Richard Nixon mencabut secara sepihak sistem Bretton Woods, yang membuat dolar AS tak lagi dipatok nilai emas.

Bagi Paul, kehancuran dolar dimulai dengan pembentukan Federal Reserve, yang memiliki kewenangan untuk memanipulasi kebijakan moneter negara tanpa persetujuan kongres.

Namun, Paul percaya bahwa ada percepatan dengan pergerakan baru-baru ini dari negara-negara lain yang berusaha membuang dolar sebagai mata uang perdagangan.

“Ada tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, dan itu ada hubungannya dengan Tiongkok, Brasil, dan Rusia. Mereka mengeroyok kita. Jika berhasil, orang akan mencari kambing hitam. Jadi, kita harus melihat kebijakan moneter kita dengan cara yang jauh lebih jujur,” tegasnya.

Jauh di atas itu, hegemoni dolar AS yang mulai runtuh pada fitrahnya adalah perang mata uang antara negeri itu dengan Tiongkok yang mulai sakti dengan kemampuan ekonominya, memasukkan peran yuan yang lebih besar.

Tiongkok telah memperluas penggunaan mata uangnya sendiri, yuan, melalui penggunaannya dalam program Belt and Road Initiative (BRI) dan pendirian International Payment System (CIPS). Dalam jangka panjang, Tiongkok berharap bahwa yuan dapat menjadi mata uang internasional yang setara dengan dolar.

Keputusan Tiongkok untuk tidak menggunakan dolar lagi juga dapat dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi Amerika Serikat, termasuk sanksi ekonomi terhadap negara-negara tertentu dan langkah-langkah proteksionisme perdagangan. Selain itu, pergeseran kebijakan moneter oleh Bank Sentral Amerika Serikat juga mempengaruhi keputusan Tiongkok untuk tidak menggunakan dolar lagi.

Meskipun begitu, kita mungkin setuju dengan Ron, bahwa penggantian dolar sebagai mata uang internasional yang dominan akan memakan waktu dan tidak mudah dilakukan. Dolar tetap menjadi mata uang yang paling banyak digunakan di dunia, dan perlu adanya dukungan dari negara-negara lain untuk menggantikan peran dolar.

Selain itu, penggantian dolar juga harus diimbangi dengan stabilitas dan kepercayaan pada mata uang pengganti yang dipilih. Yuan, misalnya, masih memiliki tantangan dalam hal kepercayaan pasar dan stabilitas nilai tukarnya.

Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai penerbit dolar sebagai mata uang internasional, masih memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar. Oleh karena itu, pergeseran peran dolar sebagai mata uang internasional yang dominan masih memerlukan upaya dan waktu yang cukup lama.

Tiongkok, bersama negara lain mempertimbangkan untuk tidak menggunakan dolar lagi karena ingin mengurangi ketergantungan pada mata uang Amerika Serikat dan memperkuat posisi yuan sebagai mata uang global.

Namun, wacana dan pendapat bahwa hegemoni dolar AS akan berakhir, masih menyimpan tantangan besar dan memerlukan dukungan dari negara-negara lain serta stabilitas dan kepercayaan terhadap mata uang pengganti yang dipilih. Namun, setidaknya sejumlah gerakan negara-negara Asia selama beberapa pekan terkhir tampak menegaskan wacana itu dan mengukir sejarah baru. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait