Memindai 5 Faktor Risiko Resesi dan Dampaknya Terhadap Pasar Kripto

Risiko resesi semakin kuat dan nyata jika situasi ekonomi terjadi berseberangan dengan beberapa faktor berikut ini, dan bagaimana dampaknya dengan pasar kripto yang sekarang sedang loyo?

Sebelum kita memindai satu per satu faktor itu, mari kita segarkan dulu kerangka berpikir kita tentang dampak makroekonomi terhadap pasar keuangan secara umum.

Patut dipahami relasinya erat dengan faktor jumlah uang dolar yang beredar di ekonomi. Ini adalah konsep dasar makroekonomi, berdasarkan kebijakan oleh bank sentral sebuah negara. Dalam konteks uang dolar, maka otoritasnya berada di The Fed.

Begini ceritanya, melalui sudut pandang supply and demand dolar AS. Jika pasokan/penawaran (supply) dolar AS di pasar melimpah, maka pasar uang disebut likuid. Ini bermakna, suku bunga yang ditetapkan oleh The Fed sangat rendah agar ekonomi bisa terangsang dan berkembang.

Dolar yang melimpah biasanya dirancang ketika ekonomi tumbuh lambat. Pada tahun 2020 misalnya, setelah pandemi muncul, ekonomi melambat dan itu memaksa The Fed menggelontorkan dolar yang banyak ke pasar, di mana cara yang ditempuh lainnya adalah meningkatkan pembelian obligasi perusahaan dan obligasi pemerintah dan jenis surat berharga lainnya. Inilah yang disebut dengan pelonggaran kuantitatif.

Namun upaya itu justru tak terkendali, karena industri terseok-seok dan uang dolar sebanyak itu bukan masuk ke komponen produktif, tetapi konsumtif ke pasar saham dan pasar kripto. Alhasil inflasi tak dapat dihindari, karena pasokan dolar lebih banyak daripada yang bisa diserap (demand) ke komponen produktif itu.

Jadilah per Maret 2022 lalu inflasi tahunan di Amerika Serikat adalah 8,5 persen. Angka itu yang tertinggi sejak tahun 1981 untuk mencerminkan tingkat keparahannya, karena harga barang dan jasa sangat tinggi. Sebagai catatan, Bitcoin (BTC) lahir pada tahun 2008 ketika suku bunga yang murah itu terjadi, dampak krisis ekonomi kala itu.

Nah, agar inflasi bisa ditekan, dolar AS yang banyak itu harus ditarik kembali dari pasar. Caranya, adalah kebalikan dari sebelumnya, yang disebut dengan pengetatan kuantitatif. Secara praktis, yang dilakukan The Fed secara bertahap adalah dengan meningkatkan suku bunga acuan dan mengurangi aset mereka alias menjualnya. Cara pertama ini sudah ditempuh sejak Maret 2022 lalu hingga beberapa kali pada tahun ini dan tahun berikutnya. Itu akan paralel dengan pengurangan aset itu.

Suku bunga yang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya akan mendorong lebih banyak dolar AS di produk tabungan dan deposito, termasuk besarnya imbal hasil investasi surat berharga pemerintah AS. Itulah yang menahan dolar “parkir” begitu saja.

Jadi, melalui sudut pandang supply and demand itu juga, dolar berangsur-angsur akan semakin langka daripada sebelumnya. Itulah jua yang sekarang terjadi, nilai dolar (DXY) semakin tinggi dibandingkan sebelumnya.

Nah, ini tentu saja berdampak pada pasar saham dan pasar kripto. Pasalnya kinerja perusahaan masih melemah dan mendorong banyak orang melepas saham dan memindahkan ke aset lainnya, seperti tabungan dan obligasi yang imbal hasilnya lebih besar dan pasti.

Kendati pasar saham masih dianggap aman, tetapi mengandung risiko dengan kebijakan The Fed saat ini. Jikalau pasar saham saja dana yang keluar besar, tentu saja pasar kripto yang terbukti sangat berisiko tinggi juga bernasib serupa. Ingatlah, saat ini kripto untuk kali pertama tampil di panggung investasi, ketika The Fed tidak melakukan pelonggaran kuantitatif.

Resesi dan Pasar Kripto

Dengan kata lain, agar pasar saham dan kripto bisa rebound signifikan, situasi makroekonomi harus serupa dengan sebelumnya, di mana jumlah dolar yang beredar juga banyak dan menghasilkan inflasi apik.

Nah secara teoritis, jika kebijakan The Fed saat ini (pengetatan kuantitatif) gagal, maka bisa berujung pada resesi. Kondisi resesi ini akan memaksa The Fed akan menggelontorkan dolar AS lagi agar ekonomi bisa diselamatkan.

Perihal potensi resesi ini juga sudah dialamatkan oleh sejumlah perusahaan ternama, seperti Bank of America dan Deutsche Bank. Bank of America beberapa bulan lalu meramalkan, resesi bisa terjadi pada tahun depan. Ketika itu terjadi, mereka berpendapat justru menguntungkan pasar kripto, karena pasar saham terus terseok-seok. Artikel terkait bagaimana resesi berdampak positif terhadap kripto, bisa dibaca di artikel ini.

Bahkan Elon Musk sudah was-was sejak tahun lalu dan baru-baru ini meramalkan hal serupa. Ia juga berencana akan memangkas jumlah karyawan sebanyak 10 persen dari total 100.000 karyawan Tesla.

5 Faktor Risiko Resesi

Nah, beranjak dari itulah, mari kita pindai 5 faktor risiko muncul resesi berikut ini yang kami sarikan dari artikel karya Blu Putnam, Managing Director and Chief Economist di CME Group. Perusahaan ini adalah pengelola pasar komoditi berjangka terbesar di dunia, yakni CME. Namun artikel Putnam memang tidak membahas relasi antara resesi dan pasar kripto. Pandangannya bisa kita jadikan acuan soal situasi makroekonomi di masa depan.

1. Suku Bunga Acuan Lebih Tinggi oleh The Fed

Pelaku pasar cenderung mengharapkan The Fed menaikkan suku bunga jangka pendek menjadi sekitar 3 persen pada awal tahun 2023 dan kemudian mengambil jeda. Besaran itu dinilai masih dalam wilayah netral alias tidak terlalu agresif dan cenderung akomodatif.

“Nilai netral itu dianggap tidak menjadi faktor pendorong terjadinya resesi. Resesi mungkin terjadi, jikalau suku bunga jauh lebih tinggi daripada itu,” tulis Putnam.

2. Stimulus Fiskal Besar-besaran dengan The Fed Membeli Obligasi

Faktor ini, menurut Putnam, mustahil terjadi. The Fed justru baru saja mulai menyusutkan neracanya. Ini berarti bank itu tidak akan lagi membeli sejumlah besar surat berharga AS dan sekuritas yang didukung hipotek setiap bulan.

“Dengan berkurangnya permintaan, maka harga obligasi turun dan imbal hasil meningkat, termasuk pasar perumahan jauh lebih dingin. Cara ini lebih mempertimbangkan risiko inflasi,” jelasnya.

3. Naiknya Biaya Modal Perusahaan dan Upah Karyawan

Banyak perusahaan cenderung menghadapi tekanan terhadap margin keuntungan, karena biaya modal yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Selain itu perusahaan harus menghadapi kenaikan upah karyawan untuk mengejar inflasi.

“Faktor itu bisa jadi tolak ukur terjadinya resesi, tetapi tidak selalu,” jelas Putnam.

4. Harga Minyak Tinggi

Konflik Rusia-Ukraina jelas-jelas membuat harga minyak dunia sangat tinggi dan mendorong harga bensin melenting tak terkendali.

“Faktor ini berkontribusi pada peningkatan risiko resesi dan kenaikan biaya modal, tetapi sejauh ini ekonomi AS masih mampu mengatasi guncangan jenis ini,” jelasnya lagi.

5. Ekonomi Tiongkok Melambat Tajam

Dampak kebijakan “covid-zero” terhadap ekonomi Tiongkok yang lebih lemah tidak baik untuk komoditas tertentu, karena pertumbuhan ekonomi melambat.

Namun, Tiongkok yang lebih lemah lebih mungkin tercermin dalam depresiasi yuan daripada berkontribusi pada resesi AS.

“Intinya adalah bahwa pertumbuhan AS tentu saja melambat kembali ke tren pertumbuhan setelah rebound cepat dari guncangan pandemi, tetapi itu tidak berarti resesi sudah dekat,” pungkasnya.

Putnam menutup, bahwa pasar ekuitas (saham) memiliki banyak tantangan tambahan selain risiko resesi yang berkontribusi pada penilaian ulang valuasi pada April dan awal Mei 2022.

Kesimpulan

Resesi dan pasar kripto punya relasi yang cukup erat. Jika resesi terjadi, kripto bisa tumbuh signifikan, pasalnya pasar saham dan pasar kripto punya relasi positif, sebab arus modal investasi tradisional kian melimpah ke industri kelas aset baru ini. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait