Mimpi Bitcoin Naik di Kala Resesi Ekonomi Global

Bitcoin bisa saja sangat tangguh dan memberikan imbal hasil lebih tinggi ketika turbulensi ekonomi terjadi di sejumlah negara di masa lalu atau ketika munculnya ketidakpastian ekonomi sejak awal tahun ini, yang disebut diperkuat oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Setidaknya itu kenyataannya dan Grayscale punya datanya, seperti yang kami bedah beberapa waktu yang lalu di media ini.

Tetapi, Bitcoin jelas-jelas belum terbukti unggul ketika turbulensi ekonomi berlangsung di skala global atau setidaknya berjalan menuju itu. Jikalau Bitcoin lahir sejak 2008/2009 dan bertepatan dengan resesi global di masa itu, tetapi Bitcoin baru dikenal oleh segelintir orang dan belum ada wacana maha luas soal relasinya dengan resesi yang sedang berlangsung. Bahkan tidak sedikit orang yang membeli Bitcoin karena iseng-iseng saja.

Berisiko Tinggi, Harga Turun
Kita mulai dengan premis sederhana ini: jikalau tahun depan resesi ekonomi berskala global terjadi seperti tahun 2008, apakah Bitcoin yang kini dianggap sebagai safe haven asset juga akan naik?

“Jikalau terjadi resesi global seperti tahun 2008, menurut saya harga Bitcoin juga akan turun, sebab hal terakhir yang terjadi di resesi global adalah orang tidak akan menaruh dananya di aset yang berisiko tinggi. Nah, mengingat Bitcoin adalah aset berisiko tinggi, maka Bitcoin akan ikut tergerus. Orang akan merasa lebih baik membeli emas untuk melindungi nilai uangnya atau menyimpan uang tunai, terlebih akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga investasi merupakan hal terakhir yang dipikirkan oleh orang,” kata Gabriel Rey CEO bursa kripto Triv.

Gabriel Rey, CEO Triv.co.id di BlockJakarta 2019, Kamis (02/05).

Aditya Kinarang, CEO bursa kripto Biido tak menampik kemungkinan resesi global pada yang diprediksi paling cepat terjadi pada tahun depan. Katanya, resesi global hampir pasti akan terjadi dalam beberapa bulan mendatang. Indikator ekonomi yang ada sudah terlalu jelas untuk menyangkal resesi tersebut. Bahkan sejak tahun 2018 beberapa pakar ekonomi sudah meramalkan resesi akan terjadi dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ketika resesi terjadi, sudah tentu orang akan berlomba-lomba memindahkan kekayaannya ke safe haven asset, yaitu emas dan perak yang sudah terkenal sejak ribuan tahun lalu. Akan tetap di resesi kali ini, ada sesuatu yang berbeda, yaitu munculnya alternatif aset yang belum pernah ada saat resesi-resesi yang sebelumnya, yaitu cryptocurrency, terutama Bitcoin,” kata Aditya.

Menurut Aditya, Bitcoin bersama dengan emas akan menjadi alternatif aset saat resesi terjadi, terlepas dari anggapan orang tentang volatilitas yang terlalu tinggi. Hal ini karena Bitcoin memiliki karakteristik yang sesuai untuk dikategorikan sebagai aset, bahkan dari sisi kemudahan, Bitcoin jauh lebih liquid dan lebih mudah “dibawa-bawa” dalam ponsel maupun cold wallet.

“Karakteristik Bitcoin ini sesuai dengan generasi ‘zaman now‘ yang tidak selalu ingin sesuatu serba praktis dan cepat. Bahkan investment banking sekelas Goldman Sachs menyarankan client-nya untuk memiliki porsi Bitcoin dalam basket portfolio mereka.

Senada dengan Aditya, Direktur Rekeningku.com, Robby mengatakan Bitcoin dan emas akan menjadi pilihan investasi ketika resesi terjadi.

“Apalagi ketika Mei 2020 akan berlangsung Bitcoin Reward Halving, akan memberikan keyakinan kepada masyarakat untuk menempatkan dananya ke Bitcoin,” kata Robby.

Robby, Direktur Rekeningku.com.

Pendiri Komunitas CryptoWatch Christopher Tahir, berpendapat tanda-tanda menuju resesi sangat banyak, mulai dari penaikan tarif impor oleh Amerika Serikat terhadap barang-barang darai Tiongkok lain sebagainya.

“Ini berdampak terhadap negara-negara produsen yang akan menahan kegiatan ekonomi (produksi) dan berimbas pada pendapatan yang menurun dan termasuk konsumsi. Jadi, saya pikir, akan banyak orang akan pindah ke safe haven, salah satunya adalah emas dan mata uang yen. Khusus Bitcoin, saya yakin harga Bitcoin akan naik ketika resesi ekonomi global terjadi. Ini dapat terlihat dari gejolak sosial politik di Hong Kong selama kurang lebih bulan belakangan, harga Bitcoin lumayan terdongkrak,” kata Tahir.

Kita Mulai dari Sini
Sejak awal tahun 2019 hingga 27 Juni 2019 misalnya Bitcoin tampil apik hingga 265,7 persen dari US$3746 menjadi US$13.700. Ketika artikel ini ditulis, Bitcoin belum mampu melampaui tingkat tertinggi ini, justru merosot di bawah US$10.000. Bahkan Pendiri Morgan Creek Digital, Pompliano kemarin mencuit bahwa Bitcoin bisa merosot hingga 50 persen dari US$10.600.

Mari kita lihat reaksi pasar, beberapa jam setelah Bank Sentral Amerika (The Fed) mengumumkan memangkas suku bunga acuan mereka hingga 25 basis poin ke kisaran 2 persen pada  Rabu, 31 Juli 2019 lalu.

Pemangkasan yang merupakan pertama kalinya sejak 2008 dilakukan dengan mempertimbangkan kekhawatiran tentang ekonomi global dan inflasi AS. Fed masih mengisyaratkan kesiapan untuk menurunkan bunga acuan secara lebih lanjut jika diperlukan.

Sebaliknya, Presiden AS Donald Trump kemungkinan akan kecewa karena Fed tidak memberikan pemotongan suku bunga besar yang dia tuntut. Trump telah berulang kali mengancam bank sentral dan Ketua Fed Jerome Powell karena tidak melakukan cukup untuk membantu upaya pemerintahannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di hari yang sama pasar Bitcoin bereaksi dan naik dari US$9.693 dan memuncak pada 6 Agustus di US$11.266. Kenaikan sebesar 16,2 persen mungkin hanya kebetulan saja, hingga memicu para penghayat Bitcoin mengeluarkan pernyataan bahwa Bitcoin adalah safe haven untuk melindungi nilai uang fiat-nya. Faktanya, Bitcoin tidak setangguh itu, jikalau kita menggunakan acuan Bitcoin cepat melesat melampaui US$13.000.

Pernyataan itu pun dibumbui dengan kenyataan bahwa harga indeks saham S&P 500 anjlok ketika The Fed mengumumkan itu. Ketika 24 Juli 2019 misalnya S&P 500 berada di 3.019,56. Angka itu naik tinggi sejak 3 Juni 2019 di 2.744.  Satu hari menjelang pengumuman, S&P500 justru anjlok ke 3.019, lalu menyentuh dasar 2.844 pada 5 Agustus 2019.

Hal serupa terjadi pada indeks Dow Jones. Pada 30 Juli Dow Jones masih bertengger di 27.198,2. Itu angka yang sangat besar sejak 31 Mei 2019 di 24.815,04. Dow Jones pun ambruk di 25.717,74 pada 5 Agustus dan hingga hari ini belum ada tanda-tanda kenaikan lagi.

Bagaimana dengan emas? Emas sejak Januari 2019 juga mengalami kenaikan signifikan. Indeks HUI Gold misalnya mencatat, pada 2 Januari 2019 indeks harga emas diperdagangkan 213,49. Lonjakan besar terjadi sejak akhir Mei 2019 dari 147,59 menjadi 221,99 per 8 Agustus. Pada 31 Juli, ketika The Fed pegang corong, pasar justru naik, dari 199,40 menjadi 221,99.

Harga emas sendiri secara global memang sangat tak biasa, yang dianggap sebagai respons alami terhadap ketipastian ekonomi global. Berdasarkan data dari Goldprice.org, selama 6 bulan terakhir, harga emas naik dari kisaran Rp600.000 per gram menjadi 700.000 per gram. Ketika artikel ini disusun, harga emas di Logammulia.com milik PT Aneka Tambang di kisaran Rp759.000, naik Rp5 ribu dari hari sebelumnya. Data dari Goldprice.org juga menunjukkan lonjakan drastis emas terjadi sejak awal Agustus 2019 dari Rp640.000 menjadi Rp700.000 per gram.

Soal emas, karena disumbang lonjakan tinggi sejak Juni 2019, emas tumbuh 16,7 persen dalam 6 bulan, lebih dari 26 persen selama setahun dan 43 persen selama 5 tahun. Sungguh kontraksi ekonomi selama setahun belakangan mendorong itu semua.

Lonjakan harga emas dan perak. Sumber: https://goldprice.org/

Bagaimana dengan perak? Perak punya respons yang lebih positif daripada emas. Pada pertengahan Juli misalnya, harga perak baru sekitar Rp6.800.000 per kilogram. Beberapa hari setelah itu, melesat cepat ke Rp7.200.000, lalu Rp7.400.000, hingga melampaui Rp7.900.000 per kilogram.

Ketika artikel ini disusun, berdasarkan data dari Goldprice.org, harga perak turun 1 persen di kisaran Rp7,8 juta per kilogram. Selama setahun, perak membukukan kenaikan hingga 15,13 persen. Sebagai informasi, soal investasi perak sebagai alternatif emas sudah lama didengung-dengungkan oleh Robert T Kiyosaki sejak tahun 2017 dan ditegaskan lagi belum lama ini.

Resesi Global Tahun Depan?
Harga emas yang melonjak tinggi dan melemahnya sejumlah aset investasi biasa, adalah cerminan dari pelemahan ekonomi dunia. Jelas ini tidak biasa. Soal alasan pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed saja sudah menjelaskan secara gamblang.

Dilansir dari Antara, Saham-saham di Wall Street turun tajam pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), karena kekhawatiran pasar tentang resesi terus berlanjut sehingga memukul sentimen investor.

Indeks Dow Jones anjlok 800,49 poin atau 3,05 persen menjadi ditutup pada 25.479,42 poin, menandai penurunan harian terbesar tahun ini. Indeks S&P 500 jatuh 85,72 poin atau 2,93 persen, menjadi berakhir di 2.840,60 poin. Indeks Komposit Nasdaq turun tajam 3,02 persen atau 242,42 poin, menjadi 7.773,94 poin.

Semua dari 11 sektor utama S&P 500 diperdagangkan lebih rendah di sekitar penutupan pasar, dengan sektor energi jatuh hampir empat persen, memimpin kerugian.

Sektor keuangan juga berada di antara yang berkinerja terburuk, mundur sekitar 3,4 persen, karena saham-saham bank utama, sensitif terhadap suku bunga, memperpanjang kerugian mereka, termasuk Bank of America, Citigroup dan JP Morgan.

Saham Macy’s anjlok lebih dari 13,2 persen, setelah jaringan toko serba ada AS itu melaporkan laba kuartal kedua di bawah perkiraan pasar. Pengecer ini juga mengurangi prospek laba untuk setahun penuh sebesar 20 sen.

Pasar obligasi memancarkan sinyal mengkhawatirkan atas resesi yang membayangi pada Rabu (14/9/2019), karena imbal hasil dari surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun jatuh di bawah imbal hasil surat utang bertenor dua tahun, menandai untuk pertama kalinya dalam 12 tahun.

Selisih (spread) yang dibentuk disebut kurva imbal hasil terbalik, secara luas dianggap sebagai pertanda dari resesi ekonomi masa depan. Diakui bahwa resesi biasanya tiba dalam 18 hingga 24 bulan setelah kurva imbal hasil terbalik.

Image result for inverted yield curve
Inverted yield curve pada obligasi pemerintah Amerika Serikat. Indikator ini kerap digunakan untuk memprediksi resesi ekonomi AS dan mungkin menjalar secara global. Pada 7 resesi sebelumnya, indikator ini tepat memastikan. Jika garis tren terus turun di bawah nol, hampir dapat dipastikan resesi akan dimulai. Sumber: WashingtonPost: https://www.washingtonpost.com/business/2019/08/14/recession-watch-what-is-an-inverted-yield-curve-why-does-it-matter/?noredirect=on

Imbal hasil dari surat utang pemerintah jangka panjang dan jangka pendek Amerika Serikat, semua mundur kembali pada Rabu (14/8/2019). Kegelisahan pasar mendorong imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 30 tahun mencapai titik terendah sepanjang masa, sedikit di atas dua persen, memicu kepanikan terhadap kesehatan ekonomi Amerika Serikat dan ekonomi global.

Indeks Volatilitas CBOE, yang secara luas dianggap sebagai pengukur ketakutan terbaik di pasar saham, melonjak 26,14 persen menjadi 22,1 pada Rabu (14/8/2019).

Kapan Bitcoin Menguat Berarti?
Selain data Bitcoin di atas, beberapa waktu sebelumnya, ada di masa-masa di mana Bitcoin naik sangat berarti yang secara kebetulan bertepatan dengan situasi ekonomi yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian Grayscale pada Juni 2019 lalu, untuk menandai besaran krisis, dapat mengacu pada  derajat liquidity risk (resiko sejumlah aset turun besar berbanding harga belinya).

Salah satu komponen untuk mengukurnya adalah besaran utang dalam sistem keuangan. Grayscale mengacu pada rasio utang global tahun 2018, yang sudah mencapai US$250 triliun dan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 300 persen. Jelas Grayscale, kendati volatilitas mengecil pada beberapa tahun belakang, namun resiko likuiditasnya masih tinggi.

Catatan penting oleh Grayscale dalam lapora tersebut adalah kendati Bitcoin menguat, khususnya ketika terjadi devaluasi mata uang fiat, bukan berarti Bitcoin dapat disebutkan sebagai “investable asset“. Tetapi, fakta demikian menunjukkan Bitcoin sangat tangguh menghadapi situasi makro ekonomi yang melemah dan Bitcoin memberikan imbal hasil lebih tinggi berbanding jenis aset lain dan mata uang fiat lain.

Berikut ketangguhan Bitcoin di sejumlah kontraksi ekonomi tak berskala global.

Utang Tinggi Yunani

Peristiwa ditutupnya semua bank di Yunani selama 3 minggu pada tahun 2015, gara-gara semakin banyak warga Yunani yang menarik uang secara tunai. Hal itu disebabkan Pemerintah Yunani gagal membayar utang luar negerinya, ditambah isu Yunani ingin keluar dari Uni Eropa. Kekacaubalauan terjadi hingga tiga bulan lamanya. Ketika sebagian besar harga indeks saham dan mata uang ikut merosot, Bitcoin malah mampu cetak untung hingga 28 persen pada periode 20 April-10 Juli 2015. Sedangkan aset lainnya rata-rata minus 1,7 persen. Bitcoin hanya bersaing dengan poundsterling dengan raihan 4,1 persen.

Yuan Dilemahkan Sang Tuan

Pada Agustus 2015-Desember 2016, Bank Sentral Tiongkok memutuskan memotong suku bunga acuannya sebesar 1,9 persen. Tapi investor pasar modal di negeri itu sudah keburu menjual aset-aset berisikonya. Pada periode 20 Agustus 2015-20 Januari 2016, Bitcoin memberikan imbal hasil hingga 53 persen (10 Agustus-20 Januari 2016). Sedangkan kelas aset lainnya rata-rata minus 10 persen. Hingga Desember 2016 pula nilai mata uang yuan melemah hingga 11 persen terhadap dolar AS. Inilah pendorong pembelian Bitcoin untuk melindungi nilai uangnya.

Gerimis “Brexit” di Inggris

Pada 24 Juni 2016 Inggris membuat dunia terperanjat, ketika hasil referendum menunjukkan bahwa rakyat Inggris ingin terpisah dengan Uni Eropa (Brexit). Satu hari setelah pengumuman itu, harga poundsterling ambruk hingga minus 8,1 persen dan euro jatuh tak terbendung hingga minus 2,4 persen. Sementara itu Bitcoin bullish dengan imbal hasil hingga 7,1 persen. Bitcoin hanya bersaing ketat dengan Indeks harga emas COMEX, yakni 4,7 persen dan yen 3,9 persen. Hingga akhir tahun 2016, poundsterling dan euro terus melemah.

Gara-gara Bapak Trump 

September-Desember 2016 terjadi gonjang-ganjing politik seputar pemilihan Presiden Amerika Serikat plus situasi geopolitik global. Dua bulan sebelum pemilu presiden, suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS melebihi ekspektasi para pelaku pasar. Aksi jual saham dan aset berisiko tinggi lainnya pun tak terbendung. Pada periode 7 September 2016-10 November 2016 Bitcoin mampu memberikan imbal hasil hingga 17,2 persen. Di posisi kedua ditempati oleh Bloomberg Comodity Index 0,5 persen, selebihnya justru rata-rata minus 3,5 persen.

Goyangan Perang Dagang

Ketegangan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok turut mendorong banyak orang membeli Bitcoin. Sebenarnya ketegangan itu dimulai pada 2017, lalu dipertegas pada 5 Mei 2019, di mana Presiden Trump memerintahkan kenaikan bea masuk barang-barang impor dari Tiongkok dari 10 persen menjadi 25 persen. Hal itu mendorong kenaikan Bitcoin hingga memberikan imbal hasil hingga 47 persen pada periode 5 Mei-31 Mei 2019. Yen Jepang hanya memberikan 2,1 persen, sedangkan yang lainnya rata-rata minus 2 persen.

Anda bisa menyimpulkan sendiri berdasarkan premis ini: Pertama, bahwa Bitcoin yang sangat volatil adalah kelas aset baru yang berisiko. Kedua, pendapat pelaku pasar sendiri berbeda-beda soal nilai Bitcoin di kala resesi.

Ketiga, semua keputusan final berada di tangan dan resiko ditanggung sendiri. Ini bermakna pada batasan-batasan kecerdasan kita melihat banyak hal, termasuk investasi yang bernilai. Keempat, Grayscale sendiri menyebutkan Bitcoin tak dapat disebut “investable asset“, walaupun dalam beragam kontraksi ekonomi, Bitcoin memberikan imbal hasil yang lebih tinggi daripada jenis aset lainnya. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait