Nasib Harga Bitcoin di Tengah Inflasi AS 9,1 Persen dan Era Suku Bunga Agresif

Nasib harga Bitcoin (BTC) mungkin kian memburuk ketika inflasi AS menyentuh 9,1 persen, angka terkuat sejak tahun 1982, karena dolar AS akan terus menguat, setelah The Fed diperkirakan akan injak gas lebih dalam lagi guna mengerek suku bunga pada akhir Juli 2022 ini. Panel ahli Finder.com berpendapat BTC akan bernilai US$25.473 pada akhir 2022.

OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id

“Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk semua konsumen perkotaan meningkat sebesar 1,3 persen pada Juni 2022, setelah naik 1 persen pada Mei. Selama 12 bulan terakhir, indeks semua harga barang dan jasa meningkat 9,1 persen,” sebut Departemen Ketenagakerjaan AS dalam keterangan resmi pada Rabu (13/7/2022) malam. Harga Bitcoin bereaksi ketika kabar ini mencuat, sempat turun dari kisaran US$20.058 ke US$18.917, lalu rebound cepat ke wilayah US$20 ribu lagi.

Nasib harga Bitcoin
Reaksi harga Bitcoin merespons inflasi AS 9,1 persen.

Penguatan inflasi AS berikutnya memang sudah diproyeksikan akhir bulan lalu, ketika inflasi masih nongkrong di 8,6 persen. Sebelum data inflasi terbaru ini, Dow Jones memprakirakan inflasi hanya 8,8 persen. Secara statistik, berdasarkan pengamatan pelaku pasar, nisbah antara proyeksi dengan data pemerintah AS itu tentu sangat jauh sekali.

Inflasi yang tergolong dahsyat itu tentu saja akan memberikan “semangat tambahan” bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi, setelah akhir bulan lalu menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin. Kenaikan suku bunga adalah jurus satu-satunya yang dianggap ampuh bagi Bank Sentral AS itu untuk menekan inflasi hingga 2 persen, sembari mengurangi likuiditas dolar AS dari pasar.

Inflasi Tinggi Tanpa Resesi

Pun lagi The Fed bisa cukup bernapas lega, karena kebijakan suku bunga agresif praktis mungkin tanpa resesi (alias soft landing) hingga beberapa bulan ke depan, karena kenaikan upah pekerja naik selama sebulan pada Juni 2022.

Departemen Ketenagakerjaan AS pada 8 Juli 2022 lalu menyebutkan, nonfarm payrolls alias upah tenaga kerja untuk sektor non-pertanian, meningkat 372.000 dalam sebulan, lebih baik dari perkiraan Dow Jones, yakni 250.000. Sedangkan angka pengangguran tidak berubah, yakni 3,6 persen seperti Mei 2022.

Resesi akibat kenaikan suku bunga agresif adalah kata kunci bagi naiknya nilai pasar modal dan pasar kripto secara besar-besaran, karena situasi itu akan memaksa The Fed berbalik arah untuk menurunkan suku bunga agar pertumbuhan ekonomi tidak memburuk.

Resesi pada Prinsipnya Sudah Tiba

Namun, dari sudut pandang lain, resesi pada prinsipnya sudah hadir, karena produk domestik bruto (PDB) AS sudah berkontraksi pada tahun ini sebesar 1,6 persen pada kuartal pertama dan berada di laju penurunan 1,9 persen pada kuartal kedua. Itu saja sudah memenuhi definisi umum dari resesi, karena pertumbuhan ekonomi turun selama dua kuartal berturut-turut.

Bagaimana dengan Nasib Bitcoin?

Narasi Bitcoin (BTC) sebagai kelas aset baru untuk melawan inflasi, sejatinya sudah gugur, karena mengikut pergerakan pasar modal, sebagai akibat arus modal besar dari pasar tradisional dan semakin beririsan. Itu memuncak pada dua bulan lalu. Jadi, ketika pasar modal berangsur-angsur mulai membaik (hanya jika resesi terjadi dan suku bunga dilemahkan), itu dapat mencerminkan situasi serupa dengan pasar kripto, termasuk Bitcoin.

Proyeksi kenaikan suku bunga acuan AS berikutnya. The Fed akan menggelar rapat dewan berikutnya pada akhir Juli 2022. Kenaikan suku bunga sebesar 100 basis poin masih terbuka lebar, karena inflasi harus bisa ditekan sebesar mungkin, hingga target inflasi 2 persen tercapai.

Sejauh ini, di era pengetatan kuantitatif dan kenaikan suku bunga besar-besaran oleh The Fed, setidaknya hingga akhir tahun ini, masih belum ada harapan bagi Bitcoin untuk naik signifikan. Lihat saja dolar AS yang kian bertaji yang dicerminkan oleh indeks dolar AS (DXY) melejit hingga 108. Itu adalah angka tertinggi sejak Oktober 2002.

indeks dolar AS
Indeks dolar AS (DXY) menyentuh 108, terkuat sejak Oktober 2002.

Harapan satu-satunya adalah, ini pernah ditegaskan oleh Goldman Sachs pada Juli 2021, bahwa kebijakan suku bunga rendah adalah pendorong bagi naiknya permintaan terhadap Bitcoin dan kripto lain. Dan ini tentu saja terjadi ketika pandemi 2020 dan menjadi landasan besar bagi dirancangnya Bitcoin pada tahun 2008 silam, sebagai era suku bunga rendah dan dolar menjadi sangat murah dan melimpah.

Nasib Harga Bitcoin: Bisa Turun ke US$13.676, Sebelum Melenting ke US$106.757

Jika bicara angka-angka, sejumlah sumber memprakirakan penurunan harga Bitcoin lebih lanjut. Hasil panel ahli yang digelar Finder.com baru-baru ini menyematkan kekhawatiran, bahwa harga BTC bisa surut hingga US$13.676.

“Panel ahli berpendapat BTC akan bernilai US$25.473 pada akhir 2022 sebelum naik menjadi US$106.757 pada tahun 2025. Mereka memandang masih ada masa sulit di masa depan dalam jangka pendek, di mana BTC bisa menjadi US$13.676,” tulis Finder.

Proyeksi harga Bitcoin berdasarkan panel ahli Finder.com.

Senada dengan itu, dengan situasi makroekenomi saat ini, Coinshare berpendapat harga BTC terus tertekan, tanpa perlu masuk ke wilayah US$14.000. Perusahaan itu juga memproyeksikan bahwa rekor tertinggi baru bagi kripto itu akan dicapai setidaknya dalam 24 bulan lagi, berdasarkan siklus historisnya.

Harga Bitcoin Murah, Sebuah Peluang Besar Membeli

Baik Coinshare dan sejumlah panel ahli berpendapat, ketika nasib harga Bitcoin yang terus menukik dan suatu waktu akan menemukan support level terbaiknya, ini justru adalah peluang besar untuk mengakumulasi. Hal senada disampaikan Bos MicroStrategy pada awal Juli 2022 lalu.

Itu juga tercermin secara teknikal pada time frame mingguan, ketika secara fakta plot RSI sudah menyentuh wilayah sangat oversold, jauh melampaui situasi serupa oversold 12 Januari 2015 dan menyamai oversold 12 Januari 2012. Ini sudah cukup mencerminkan akan munculnya support level terbaik bagi BTC, jika plot RSI kelak bertahan di atas 40 dan 50. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait