Pemerintah Rampungkan Aturan Pajak Kripto, Industri Menyambut Baik

Banner IUX

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menyelesaikan kebijakan perpajakan terbaru untuk dua instrumen digital yang kian diminati, yakni aset kripto dan logam mulia (bullion).

Langkah ini merupakan bagian dari upaya besar untuk memperluas basis pajak atas transaksi digital yang akan diterapkan secara lebih sistematis mulai 2026.

“Kami sedang menyusun dan menuntaskan sejumlah kebijakan terkait pemajakan atas transaksi kripto serta penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion. Termasuk juga digitalisasi transaksi luar negeri melalui platform asing. Sistem kami terus diperkuat, dikembangkan, dan disempurnakan,” ujar Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/7).

Sejak diberlakukannya PMK Nomor 68/PMK.03/2022 per 1 Mei 2022, aset kripto telah masuk dalam sistem perpajakan nasional. Hingga 31 Maret 2025, DJP mencatat penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun, di mana pajak dari transaksi kripto menyumbang Rp1,2 triliun.

BACA JUGA:  Nomura Siapkan Strategi Masuk Pasar Kripto Jepang

Namun, DJP mengakui terdapat sejumlah kendala dalam implementasi pajak kripto, mulai dari rendahnya pemahaman pajak di kalangan pelaku pasar hingga sulitnya melacak transaksi anonim. Untuk itu, pemerintah berencana meningkatkan edukasi dan menyederhanakan proses pelaporan.

Langkah ini diapresiasi oleh pelaku industri. CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah dalam membangun sistem pajak yang lebih tertib dan berkeadilan bagi aset digital.

“Kami mendukung proses penyusunan kebijakan pajak kripto yang tengah difinalisasi DJP. Ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mengatur industri secara inklusif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi dan sistem keuangan digital,” kata Calvin dalam pernyataan tertulis kepada Blockchainmedia.id belum lama ini.

Ia menilai, kebijakan pajak yang adil dan proporsional akan mendorong pertumbuhan industri. Calvin juga berharap revisi aturan pajak mempertimbangkan status kripto yang kini berada di bawah pengawasan OJK sebagai aset keuangan, bukan komoditas.

BACA JUGA:  Indeks Kelangkaan Bitcoin Melonjak, Pertanda Apa Bagi Pasar?

“Saat ini kripto masih dikenai PPN 0,11 persen dan PPh final 0,1 persen, sebagaimana diatur dalam PMK No. 68 dan PMK No. 81 Tahun 2024. Namun, bila kripto diperlakukan sebagai produk keuangan, seharusnya tidak dikenai PPN, sebagaimana halnya produk keuangan lainnya. Kami berharap revisi PMK No. 81 bisa mengakomodasi hal tersebut,” jelasnya.

Calvin menambahkan bahwa meski regulasi pajak kripto di Indonesia tergolong moderat dibanding negara lain, seperti AS yang mengenakan PPh hingga 37 persen atas capital gain aset digital, masih ada ruang untuk penyempurnaan.

“Thailand bahkan telah mengambil langkah progresif dengan membebaskan pajak penghasilan pribadi atas transaksi kripto domestik hingga 2029. Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang suportif dapat meningkatkan daya saing industri,” ujarnya.

Dengan sistem pajak yang lebih adil dan infrastruktur yang diperkuat, sektor aset digital di Indonesia diyakini mampu tumbuh lebih sehat, transparan dan memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan negara.[st]


Disclaimer: Konten di Blockchainmedia.id hanya bersifat informatif, bukan nasihat investasi atau hukum. Segala keputusan finansial sepenuhnya tanggung jawab pembaca.

Terkini

Warta Korporat

Terkait