Rupiah Digital dan Risiko Laten Terhadap Bisnis Perbankan

Rupiah digital adalah bentuk uang baru yang diterbitkan langsung oleh bank sentral. Dalam wujud penerapannya yang ideal itu dapat lebih mengefektifkan kebijakan moneter, tetapi mungkin tidak terhadap bisnis perbankan masa depan. Dan ini sedang terjadi di Tiongkok lewat yuan digital yang dikembangkan sejak tahun 2014 dan mulai diujicoba sejak tahun 2020.

Wacana penerbitan rupiah digital oleh Bank Indonesia (BI) semakin mengerucut. Bank Sentral Indonesia itu mengatakan akan menerbitkan rancangan umum Central Bank Digital Currency (CBDC) itu menjelang akhir tahun 2022, yang dilatarbelakangi oleh meluasnya risiko penggunaan aset kripto secara global sebagai alat pembayaran alternatif.

“Guna mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto tersebut, dibutuhkan kerangka regulasi untuk mengatasinya. Selain itu, keberadaan aset kripto juga melatarbelakangi bank sentral dalam menjajaki desain dan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau mata uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral. Bank Indonesia terus mendalami CBDC dan akhir tahun ini berada pada tahap untuk mengeluarkan whitepaper pengembangan rupiah digital,” terang Bank Indonesia dalam keterangan resminya 12 Juli 2022 lalu, terkait ajang Festival Ekonomi Keuangan Digital 2022 yang digelar di Bali.

Pernyataan BI itu sangat mudah ditafsirkan, bahwa bank sentral sejatinya mengakui aset kripto (Bank for International Settlements menggunakan istilah “cryptocurrency), dari sisi efisiensi waktu dan biaya sebagai alat dan sistem pembayaran lintas negara.

Hanya saja, kripto, sebut saja untuk berjenis stablecoin bernilai dolar (USDT), masih berada di wilayah abu-abu, karena tidak diatur secara spesifik sebagai method of payment. Di Indonesia sendiri, oleh Kementerian Perdagangan/Bappebti, hanya diakui sebagai komoditas aset kripto.

Dengan bank sentral menjaga jarak terhadap stablecoin, yang pada prinsipnya adalah uang digital bentuk baru, sekaligus ingin lebih punya kendali terhadapnya, maka bank sentral berwacana sejak 5 tahun terakhir untuk membuat mata uang digitalnya sendiri.

Seperti pada istilahnya, CBDC (mata uang bank sentral), rupiah digital sejatinya tetaplah fiat money, nilainya tetaplah rupiah, tetapi diterbitkan langsung oleh bank sentral, bukan dengan mekanisme lewat bank komersial seperti saat ini, yang prinsip “money creation“-nya dimunculkan sejak tahun 1970-an oleh The Fed.

Lantas, apa bedanya rupiah digital dengan uang elektronik (e-money) yang digunakan setiap hari oleh warga Indonesia, seperti OVO dan GoPay dan lain sebagainya itu untuk pembelian barang dan jasa?

Dalam kacamata teknologi keuangan, uang elektronik bernilai rupiah sesungguhnya adalah digital. Perbedaannya terletak pada cara, lajur dan pihak yang terlibat untuk menerbitkannya. Ia pun beririsian dengan bentuk uang lainnya, berdasarkan fungsinya yang spesifik.

Ya, adalah benar bahwa awam menjawab, bahwa uang rupiah diterbitkan oleh bank sentral. Tetapi, tidaklah sesederhana itu. Yang sebenarnya terjadi adalah lewat bank komersil, bank sentral adalah pangkalnya.

Dalam “modern money creation“, yang kali pertama dirancang oleh The Fed sejak tahun 1970, pasca nilai dan peredaran dolar AS tak dipatok lagi dengan cadangan emas, uang diterbitkan dan diedarkan lewat mekanisme berikut ini (disederhankan).

Pertama, pemerintah menerbitkan surat utang (obligasi). Surat berharga negara ini adalah “pernyataan pemerintah” agar bank sentral menerbitkan sejumlah besar uang yang diperlukan oleh pemerintah yang kelak digunakan untuk membiayai belanja negara, di antaranya untuk gaji PNS, pembangunan rumah sakit, sekolah dan lain sebagainya. Besaran itu dinyatakan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kedua, agar surat utang itu berikutnya dapat digunakan sebagai “uang”, maka surat utang itu harus dijual lewat bank-bank komersil dan sebagian di antaranya dapat dibeli sebagai instrumen investasi oleh masyarakat biasa. Kita mengenalnya dengan Obligasi Ritel Indonesia (ORI).

Ketiga, dan sebagian surat utang itu dibeli oleh bank sentral dan menjadi bagian dari aset di neracanya, sebagai asas (underlying asset) dari diterbitkannya uang yang ada di pasar, baik dalam bentuk uang elektronik ataupun uang elektronik/digital.

Atas kerjasama apik antara kementerian keuangan pemerintah dan bank sentral itulah, kita menemukan tandatangan mereka berdua di atas semua uang kertas terbit dan kita digunakan setiap hari. Dan bentuk elektroniknya kita rasakan dalam bentuk OVO dan GoPay misalnya, yang sebagai produk bank ataupun perusahaan teknologi keuangan.

Jadi uang rupiah digital/elektronik hari ini bukanlah bentuk rupiah yang digital dari bank sentral secara langsung, melainkan layanan tambahan dari bank dan perusahaan swasta lainnya. Fungsi dan peran bank sentral dalam hal ini adalah pengawasan dan pengendalian, bersama dengan, misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kalau kita gali secara seksama, maka peran bank komersil sejatinya adalah “perantara” dalam proses money creation ini. Selayaknya peran perantara, maka ada biaya dalam proses distribusi dan peredaran uang.

Di sinilah CBDC, rupiah digital itu memainkan perannya, yang secara deterministik bisa memangkas peran ataupun eksistensi perbankan. Dengan kata lain, Anda secara individu kelak memiliki rekening (account) perbankan langsung di sistem bank sentral.

Jadi, jikalau proses penerbitan rupiah digital bisa tanpa lewat bank komersil, maka efisiensi biaya dan waktu bisa dicapai, khususnya lagi dalam hal Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang lebih efektif.

Ketika peran bank pada prinsipnya bisa ditiadakan lewat mata uang digital bank sentral, muncul risiko dan bahaya laten yang spesifik.

Ini ditegaskan sendiri oleh IMF dalam konferensi di Bali menyoal rupiah digital, bahwa saat ini, belum jelas apakah CBDC akan memiliki keuntungan dibandingkan deposito dengan sistem perbankan konvensional.

“Misalnya saja jika CBDC tidak menawarkan suku bunga dan bank komersial memiliki jaminan simpanan yang baik, maka tabungan bank komersial mungkin sama amannya, tetapi menawarkan imbalan yang lebih tinggi,” kata Tommaso Mancini Griffoli, Division Chief in the Monetary and Capital Markets Department IMF.

Ia mengungkapkan, perbankan saat ini sudah mulai bertransformasi ke arah digital dan menawarkan produk-produk digital yang nyaman bagi para nasabah.

Hal ini, kata dia, adalah buah dari pemahaman bank pada nasabah-nasabahnya dan pengalaman dalam mengembangkan produk digital. Bank-bank komersial juga sudah mampu untuk menciptakan produk digital yang lebih menarik dari konsep CBDC saat ini.

Apa yang dimaksudkan oleh IMF itu adalah isyarat kewaspadaan, bahwa ketika CBDC mampu menawarkan efisiensi, di saat yang sama, jikalau bank sentral gagal memberikan manfaat berupa “bunga”, termasuk fitur-fitur yang menarik dibandingkan bank komersil, maka rupiah digital mungkin tak bermanfaat. Kontorversi CBDC dan bisnis perbankan ini pernah terjadi di rusia, terkait rencana rubel digital.

Dengan kata lain, jikalau terjadi sebaliknya, maka rupiah digital yang merupakan produk langsung dari Bank Indonesia, akan mampu menyamai produk keuangan ala bank komersil, maka bank-bank saat ini mungkin tak diperlukan lagi, karena semua sudah digarap oleh bank sentral.

Mengutip artikel karya Christopher Yates: mata uang digital bank sentral (CBDC) dapat mewakili perubahan terbesar pada sistem keuangan sejak Bretton Woods. CBDC dapat sepenuhnya mengubah sistem keuangan global dan pada akhirnya, dapat meredefinisi ulang sifat uang itu sendiri.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Bank for International Settlements dan ditafsirkan oleh Yates, bahwa latar belakang dirancang dan dikembangkannya CBDC adalah karena CBDC memungkinkan interaksi langsung antara bank sentral dengan individu.

“Langkah-langkah stimulus bank sentral tidak akan lagi dibatasi oleh keinginan bank-bank komersial dan penciptaan kredit sektor swasta. Daripada mengandalkan profitabilitas bank, regulasi dan permintaan kredit untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dalam ekonomi riil, The Fed akan dapat menyuntikkan likuiditas langsung ke konsumen individu dan bisnis itu sendiri. Bentuk mata uang digital bank sentral seperti itu akan benar-benar mentransisikan bank sentral dari pemberi pinjaman terakhir menjadi pembelanja pilihan terakhir (atau pertama),” tegas Yates.

Dalam relasinya dengan kultur politik sebuah negara, CBDC lebih efektif diterapkan secara maksimal di negara yang relatif sentralistik dan non-demokrasi seperti di Tiongkok, karena lebih efisien dalam membuat keputusan dan regulasi untuk perubahan sistem.

Tak heran uang digital lebih cepat diterbitkan di negeri itu dan menjadi negara pertama di dunia, sebagai upaya baru mengharumkan nilai uang mereka di negara-negara lain. Kita sebut saja ini adalah rencana apik untuk dedolarisasi dan mulai meminggirkan peran uang elektronik oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Khusus rupiah digital di Indonesia, tentu saja berbeda ceritanya, karena memerlukan gesekan politik dan regulasi yang seru dan perlu waktu lama.

Menanti rupiah digital, kita nantikan saja dulu digital fiat money di negara lain, seperti won digital, yen, dolar digital dan lain sebagainya, apakah benar-benar efektif, sembari melihat potensi ia bisa berdiri berdampingan dengan stablecoin. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait