Harga Bitcoin baru-baru ini mencetak rekor tertinggi, menembus angka US$112.000 (sekitar Rp1,81 miliar) pada Kamis, (10/07/2025). Lonjakan hampir 3 persen dalam 24 jam tersebut mengejutkan pasar dan memicu spekulasi tentang pergerakan BTC ke depan.
Katalisator Utama Kenaikan Harga BTC
Lonjakan harga Bitcoin dipicu oleh ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga oleh Federal Reserve. Kenaikan ini terjadi setelah risalah rapat FOMC Juni 2025, yang menunjukkan bahwa sebagian besar pejabat The Fed memprediksi pemangkasan suku bunga pada 2025.
Beberapa pejabat bahkan mengisyaratkan penurunan suku bunga bisa terjadi lebih cepat, yaitu pada rapat 30 Juli, tergantung data inflasi yang akan dirilis. Ini meningkatkan harapan akan pelonggaran moneter yang dapat mendongkrak harga Bitcoin.
“Lonjakan ini menunjukkan bahwa pelaku pasar mulai memperhitungkan kemungkinan pelonggaran moneter yang dapat mendongkrak likuiditas. US$112.000 merupakan level psikologis penting. Jika tren naik berlanjut, Bitcoin berpotensi menguji resistensi di kisaran US$115.000 hingga US$118.000,” ujar analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur dalam pernyataan tertulis, Kamis (10/7/2025)
Optimisme terhadap Bitcoin Spot ETF turut mendukung lonjakan harga BTC, dengan arus masuk yang tercatat mencapai US$218 juta pada 9 Juli 2025. Ini menunjukkan minat investor besar yang semakin tinggi terhadap Bitcoin.

Namun, meski saat ini terlihat ada akumulasi dari investor besar, volume perdagangan ritel masih rendah. Hal ini menimbulkan keraguan apakah lonjakan harga bisa bertahan tanpa dukungan volume yang memadai.
Dua Momen Krusial yang Akan Tentukan Arah Selanjutnya
Arah pergerakan harga Bitcoin ke depan akan dipengaruhi oleh dua indikator penting: data Indeks Harga Konsumen (CPI) untuk Juni yang dirilis pada 11 Juli, dan keputusan suku bunga The Fed pada 30 Juli.
Menurut Fyqieh, kedua momen ini diperkirakan akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kebijakan moneter AS dan dampaknya terhadap pasar global, termasuk pergerakan harga BTC.
“Data inflasi CPI akan menjadi faktor penentu. Jika inflasi terus menurun, ruang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga akan lebih lebar, yang dapat memperkuat sentimen positif terhadap aset digital,” jelasnya.
Dinamika politik global, termasuk kebijakan tarif Donald Trump, juga memengaruhi sentimen pasar Bitcoin. Risalah FOMC mencatat kekhawatiran tentang dampak kebijakan ini terhadap ekonomi global, meskipun Trump menyatakan tarif tersebut tidak mempengaruhi inflasi.
Prospek Jangka Pendek dan Teknikal Bitcoin
Secara teknikal, jika Bitcoin berhasil bertahan di atas level US$112.500, ada peluang untuk melanjutkan penguatan ke kisaran US$115.000 hingga US$118.000. Namun, jika gagal mempertahankan posisi tersebut, koreksi harga menuju support di US$110.800 dan US$109.750 bisa terjadi.
Indikator teknikal saat ini masih mendukung tren bullish, dengan Relative Strength Index (RSI) di atas level 50 dan indikator MACD yang menunjukkan arah yang masih positif. Ini mengindikasikan bahwa momentum kenaikan harga BTC masih kuat.
Penguatan harga Bitcoin kali ini mencerminkan reaksi pasar terhadap kebijakan moneter AS, sekaligus semakin mengukuhkan peran Bitcoin sebagai salah satu aset lindung nilai di tengah ketidakpastian global.
Dengan sejumlah faktor yang saling terhubung—mulai dari kebijakan The Fed hingga dinamika politik—Bitcoin terus menunjukkan potensinya sebagai aset yang tak hanya menarik bagi investor, tetapi juga sebagai instrumen yang dapat bertahan dalam menghadapi turbulensi ekonomi. [dp]