Serupa dengan bentuk objek bernilai lainnya, Bitcoin memiliki sisi gelap, salah satunya adalah sebagai alat mencuci uang alias money laundering.
Dimaz Ankaa Wijaya
Peneliti di Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia
Bitcoin bukanlah hal yang asing saat ini. Barang maya ini sudah jadi produk mainstream di kalangan Milenial yang melek teknologi. Hanya saja, kepopularannya justru muncul dari tempat yang tidak diduga-duga: dark web.
Sejarah Bitcoin agak nyentrik memang, jika dibandingkan dengan mata uang kripto alternatif (altcoin) seperti Ether (ETH) yang dibesarkan oleh tangan-tangan teknokrat dalam lingkaran kepercayaan Vitalik Buterin.
Tak ada yang menyangka bahwa Bitcoin yang tadinya tak punya harga, kini bernilai lebih dari 10 ribu dolar Australia. Jika kini kaum muda bisa dengan mudah menukar uang lokal ke dalam Bitcoin atau sebaliknya melalui pasar aset kripto, di tahun-tahun awal kemunculan Bitcoin, justru pelaku industri gelaplah yang pertama kali mengendus potensi Bitcoin.
Anonimitas, aksesibilitas, dan keamanan Bitcoin menjadi daya tarik utama untuk digunakan di dalam pasar bebas nan gelap di Internet. Bitcoin melengkapi trinitas pasar gelap: pelaku anonim, media transaksi anonim dan alat pembayaran anonim.
Bayangkan saja, betapa girangnya para pegiat Internet dengan kemunculan Bitcoin. Cukup dengan instalasi dompet maya dan sebuah alamat Bitcoin, mereka sudah bisa menerima pembayaran dari seluruh dunia.
Mereka tak perlu lagi repot membuat rekening bank yang harus menyertakan identitas asli semacam KTP ataupun paspor.
Pun tak perlu lagi mereka was-was dengan pemantau transaksi keuangan yang mengintai dengan mata setajam elang.
Para evangelis Bitcoin berusaha mengaburkan fakta bahwa desain fundamental Bitcoin memang memberi dukungan terhadap transaksi finansial yang anonim.
Para pegiat ini selalu saja mengutip beberapa artikel dan dokumen penelitian yang berusaha membongkar kelemahan desain anonim bitcoin.
Memang benar transaksi Bitcoin tidak seprivat yang dibayangkan sebelumnya. Tetapi itu bukan berarti pekerjaan melacak transaksi keuangan dalam Bitcoin menjadi lebih mudah.
Jika memang benar Bitcoin tak dapat dipakai untuk aktivitas kriminal, maka pelaku di balik serangan ransomware besar seperti WannaCry semestinya sudah lama terungkap. Nyatanya, hingga saat ini otak serangan WannaCry tak pernah tertangkap.
Artikel ini mengulas eksploitasi Bitcoin untuk kegiatan pencucian uang hasil kejahatan siber, yang tentu saja, ilegal. Tak kurang dari 100 juta dolar dicuci melalui sistem Bitcoin.
Aktivitas pencucian uang memang tak hanya terjadi di Bitcoin, melainkan juga melalui perbankan trans-nasional (baca: skandal HSBC). Namun, pencucian uang melalui Bitcoin tak lagi melibatkan korporasi besar. Teknologi memungkinkan semuanya terjadi dengan mudah dan murah.
Artikel itu mengutip penjelasan Philip Gradwell, pakar dari Chainalysis, perusahaan terkemuka dalam analisis transaksi berbasis blockchain.
Gradwell menggunakan istilah “peel chain” (rantai kupasan), yang sayangnya tidak terlalu dikenal.
Istilah tersebut sebenarnya merujuk pada salah satu analisis heuristik berbasis koin kembalian, misalnya oleh Meiklejohn dkk (2013) dan Reid dan Harrigan (2013).
Teknik “peel chain” melacak dana bernominal besar yang dipecah menjadi nominal-nominal kecil, umumnya berjumlah hingga ribuan atau bahkan ratusan ribu koin bernominal kecil dalam transaksi yang berlapis-lapis.
Seorang analis yang bertugas melacak transaksi mencurigakan harus mengupas lapisan-lapisan transaksi ini satu-persatu, dan kemudian mengelompokkan transaksi-transaksi tersebut dan semua alamat Bitcoin yang terkait berdasarkan kriteria tertentu.
Meskipun pelacakan transaksi dapat dilakukan dengan mudah dalam sistem Bitcoin, pada kenyataannya tidak mudah mengaitkan aktivitas transaksi dengan pihak-pihak terkait. Dibutuhkan usaha ekstra untuk membuat kesimpulan yang meyakinkan bahwa orang-orang tertentu bertanggungjawab terhadap aktivitas pencucian uang di Bitcoin, terutama karena minimnya dokumen legal yang digunakan.
Audit keuangan biasa tidak mempan menghadapi metode “peel chain” ini. Artikel Cryptaxforensic yang terbit di tahun 2018 menggambarkan potensi besar penggunaan sistem mata uang kripto dalam aktivitas kriminal.
Tak hanya Bitcoin, sistem-sistem anonim terbaru seperti Monero dan Zcash memberi tantangan yang lebih besar kepada penegak hukum untuk melacak arus uang panas.
Bagaimana dengan kesiapan Indonesia menghadapi laju perkembangan teknologi keuangan anonim seperti Bitcoin, Monero dan Zcash?
Sejauh yang saya tahu, beberapa organisasi pemerintah sudah mulai awas terhadap potensi negatif teknologi blockchain. Hanya saja, saya tidak yakin apakah mereka sudah memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menangani kasus terkait kejahatan berbasis blockchain yang memerlukan kemampuan teknis yang tinggi.
Beberapa kasus di masa lampau bisa dikatakan memiliki tingkat kompleksitas rendah. Kasus-kasus rumit yang melibatkan mata uang kripto, terutama koin-koin privat, hampir mustahil diselesaikan.
Sudah saatnya kita mengakui dua sisi teknologi aset kripto. Ia memberikan kemudahan bertransaksi lintas batas yang mendukung perdagangan global. Ia pula memberikan jalan bagi para kriminal menangguk keuntungan finansial, jauh dari jangkauan pihak berwenang. [*]