Soal Modal Disetor 1 Triliun, Pengelola Bursa Kripto Indonesia Protes Keras

Peraturan Bappebti No 5 tahun 2019 yang diterbitkan pada 8 Februari lalu bersifat mengikat semua pelaku industri kripto di Indonesia, termasuk perusahaan bursa kripto yang sudah beroperasi selama ini. Namun, sejumlah pengelola bursa kripto di Indonesia mengakui sangat keberatan dengan sejumlah hal di dalam peraturan itu, khususnya soal besaran modal disetor.

Melalui peraturan itu, ringkasnya, Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang dinaungi oleh Kementerian Perdagangan, menggolongkan Bitcoin dan segala jenis kripto lainnya sebagai komoditi yang layak diperdagangkan di bursa berjangka (futures market). Bappebti, dalam peraturan itu menyebut “jenis komoditi baru” itu sebagai aset kripto (crypto asset).

Peraturan itu memuat sejumlah ketentuan teknis penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka. Pasar fisik aset kripto didefinisikan sebagai pasar fisik teroganisir yang dilaksanakan menggunakan sarana elektronik yang difasilitasi oleh bursa berjangka atau sarana elektronik yang dimiliki oleh pedagang fisik aset kripto.

Sedangkan yang dimaksud dengan pedagang fisik aset kripto adalah pihak yang telah memperoleh persetujuan dari Kepala Bappebti untuk melakukan transaksi aset kripto, baik atas nama diri sendiri, dan/atau memfasilitasi transaksi pelanggan aset kripto.

Di Indonesia sendiri ada dua bursa berjangka komoditi yang mendapatkan izin dari Bappebti, yaitu Jakarta Futures Exchange (JFX) dan Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX).

“Dengan terbitnya aturan itu, maka semua yang terkait dengan perdagangan aset kripto harus mematuhinya,” ujar Kepala Bappebti, Indrasari Wisnu Wardhana kepada Blockchainmedia.id, Kamis (14/2), di Jakarta.

Hal utama yang dipermasalahkan oleh pedagang aset kripto adalah ketentuan pada Pasal 8, yakni harus memiliki modal disetor paling sedikit Rp1 triliun dan mempertahankan saldo modal akhir paling sedikit Rp800 miliar. Ini adalah ketentuan agar pedagang dapat memperoleh persetujuan dalam memfasilitasi transaksi pelanggan aset kripto pada pasar fisik aset kripto.

Ketentuan mengenai kewajiban untuk mendapatkan persetujuan sebagai pedagang fisik aset kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkannya peraturan tersebut.

Hal lain yang dipermasalahkan adalah persyaratan bagi perusahaan yang hendak menjadi pedagang aset kripto. Disebutkan dalam peraturan itu, pendaftaran calon pedagang fisik aset kripto minimal memiliki modal disetor Rp100 miliar dan saldo modal akhir minimal Rp800 miliar, sebagaimana yang diatur pada Pasal 24 ayat 3. Bagi para pelaku usaha perdagangan aset kripto yang telah beroperasi sebelum berlakunya peraturan itu, juga diwajibkan mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bappebti.

Sangat keberatan

Sejumlah pengelola bursa kripto mengaku masih mempelajari aturan yang baru diterbitkan ini. Tetapi, persyaratan permodalan dinilai terlalu berat untuk industri yang masih terbilang baru ini.

“Untuk modal disetornya memang sangat besar sekali. Namun demikian, agar semua clear, kami perlu selekasnya bertemu dengan sejumlah pihak, termasuk Bappebti dan Lembaga Kliring Berjangka,” ujar Sumardi Fung, pendiri dan CEO Rekeningku.com.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Oscar Darmawan, pendiri dan CEO Indodax. Oscar mengaku setuju dengan beberapa poin persyaratan dalam aturan ini, seperti soal persyaratan aset kripto yang bisa diperdagangkan atau mekanisme registrasi dan transaksi aset kripto.

Tetapi, seperti Sumardi, Oscar juga keberatan dengan persyaratan permodalan yang dinilai terlalu besar.

“Jenis usaha yang modal disetornya sampai Rp1 triliun itu biasanya bank. Kurang cocok rasanya jika industri yang baru tumbuh ini disamakan dengan industri yang telah lama ada Indonesia,” ujarnya seperti dikutip dari laman Kontan.co.id.

Hal serupa disesalkan oleh CEO Triv Gabriel Rey. Katanya, peraturan itu tidak adil untuk industri kripto, perusahaan pialang saham yang nilai kapitalisasi pasarnya jauh di atas kripto, hanya memerlukan Rp20 miliar untuk modal disetornya.

“Sedangkan kapitalisasi pasar kripto yang berada di bawah saham, dikenakan minimal Rp100 miliar. Nominal Rp100 miliar ini juga setara dengan modal disetor sebuah bank, yang sangat tidak logis,” tegasnya, hari ini kepada Blockchainmedia.id melalui Telegram.

Rey menambahkan, jikalau kita membandingkan dengan industri fintech lainnya, seperti e-money OVO dan GrabPay, hanya memerlukan modal disetor Rp1 miliar. Sedangkan peer-to-peer lending hanya Rp2,5 miliar, yang sangat jauh di bawah minimal yang ditetapkan oeh Bappebti.

Teguh Kurniawan Harmanda, Chief Community Officer (CCO) Tokocrypto.com mengatakan, sangat terkejut dengan besaran modal disetor yang “fantastis” itu.

“Besaran angka tersebut belum pernah muncul dari beberapa kali pertemuan antara pengelola bursa dengan Bappebti. Jadi, saya rasa untuk semua pengelola bursa pasti terkejut dan butuh penyesuaian lagi,” tegas Harmanda.

Lalu apa kata pemain asing? M Yusuf Musa, Lead Business Strategist Gopax Indonesia mengatakan, masih agak gamang soal peraturan yang baru dikeluarkan oleh Bappebti itu. Dihubungi melalui WhatsApp hari ini, secara singkat Yusuf setuju dengan pendapat sejumlah perusahaan bursa kripto di Indonesia, bahwa peraturan itu perlu dikaji ulang, khususnya mengenai modal disetor yang mencapai Rp1 triliun itu.

“Menurut saya, sejumlah pasal dalam peraturan itu bisa didiskusikan oleh Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) bersama pemerintah, dalam hal ini adalah Bappebti yang berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia,” tegasnya.

Sebelumnya Musa mengatakan kepada Blockchainmedia.id, potensi pasar kripto di Indonesia sangatlah besar. Ini didahului dengan penelitian khusus oleh Gopax, bursa kripto yang bermarkas di Korea Selatan ini.

“Hasilnya, kami menemukan ada sekitar 1,7-2 juta pengguna aktif kripto di Indonesia. Bagi kami ini potensi pasar yang baik dan akan terus bertumbuh. Kondisi pasar kripto di Indonesia yang terus berkembang membuat Gopax tertarik untuk mengekspansi bisnisnya ke Indonesia.

Masih berdasarkan peraturan itu, maka, dalam perannya sebagai pedagang, maka bursa kripto yang telah dan akan beroperasi di Indonesia harus memiliki sistem dan/atau sarana perdagangan online yang dipergunakan untuk memfasilitasi penyelenggaraan pasar fisik aset kripto yang terhubung dengan bursa berjangka dan lembaga kliring berjangka.

Perusahaan juga harus memiliki standar operasional prosedur (SOP) minimal mengatur tentang pemasaran dan penerimaan pelanggan aset kripto, pelaksanaan transaksi, pengendalian dan pengawasan internal, penyelesaian perselisihan pelanggan aset kripto dan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.

Selain soal permodalan, pada pasal 24 ayat (8) huruf c juga ada larangan bagi bursa untuk menjual Aset Kripto yang mereka ciptakan sendiri atau pihak afiliasinya. Ketentuan ini bakal “mengganggu” sejumlah bursa kripto di Indonesia yang selama ini memiliki token sendiri dan diperdagangkan “secara bebas” di bursanya sendiri. Selain diperdagangkan, memang beberapa bursa kripto diketahui membuat token sendiri sebagai bentuk imbalan kepada pengguna atau sebagai mekanisme voting bagi aset kripto yang akan di-listing. [vins/jul]

Terkini

Warta Korporat

Terkait