Transaksi aset kripto oleh pengguna di semua crypto exchange di Indonesia akan dikenakan pajak mulai 1 Mei 2022. Sebagai kelas aset baru, sekaligus industri yang baru berkembang, layakkah transaksi aset kripto dikenakan pajak, khususnya kepada pengguna dengan aktivitas trading tinggi?
OLEH: Dimaz Ankaa Wijaya, Ph.D
Peneliti Teknologi Blockchain di Universitas Deakin, Australia
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, memberikan keterangan pers pada Jumat, 1 April 2022 lalu, bahwa transaksi aset kripto akan dikenakan pajak. Jenis pajak yang dikenakan yakni PPh (Pajak Pertambahan Hasil) Final dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Lebih lanjut dipaparkannya bahwa mekanisme pemajakan PPN adalah melalui PPN final dengan tarif 0,1 persen, termasuk PPh dengan besaran serupa.
Menurut Hestu, aset kripto dikenakan pajak atas dua alasan. Pertama, karena aset kripto dianggap bukan uang oleh BI atau Bank Indonesia (dalam artikel Kompas ditulis BEI atau Bursa Efek Indonesia—jelas, ada kesalahan kutipan di sini), sementara oleh Bappebti (Kementerian Perdagangan), aset kripto dianggap sebagai komoditas. Kedua, karena aset kripto tidak termasuk dalam negative list daftar barang yang dikecualikan dari pemungutan PPN.
Pajak Penghasilan (PPh) dan dipungut dari mereka yang mendapatkan penghasilan dari transaksi tersebut. Sedangkan PPN Final akan dipungut oleh exchanger. Rincian mekanisme pajak ini akan dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Nanti yang memungut adalah exchanger. PPN final 0,1 persen,” ujar Hestu, dilansir dari Liputan6.
Memang sangat dipahami bahwa negara sedang butuh uang. Pandemi COVID-19 tidak hanya memukul ekonomi rakyat kebanyakan. Institusi negara juga tersengal-sengal untuk membiayai ini-itu dalam mengatasi pandemi—salah satu yang terparah di era modern dunia ini. Pengaturan PPN atas aset kripto ini sejalan dengan program menambah pundi-pundi penerimaan negara, setelah kenaikan tarif PPN yang kini berada di angka 11 persen, naik 1 persen dari tarif lama.
Hanya saja, patut dipertimbangkan bahwa kebanyakan negara tidak memungut PPN atas transaksi aset kripto. Meski tarif PPN final yang dikenakan pada aset kripto adalah 0,1 persen dari total transaksi, pengenaan pajak jenis ini patut dipertanyakan. Artikel ini akan coba mengupas sedikit, mengapa pengenaan PPN atas transaksi aset kripto kurang tepat.
Pajak Aset Kripto di Luar Negeri
Perpajakan adalah hal yang rumit. Tak cuma soal menerapkan subjek, objek, tarif, dan saat terutang saja. Pajak berarti memperhitungkan hal-hal lainnya, misalnya studi kasus pengenaan yang ada di luar negeri juga terkadang diperhitungkan.
Dalam hal ini, dokumen OECD tahun 2020 yang berjudul “Taxing Virtual Currencies: An Overview of Tax Treatments and Emerging Tax Policy Issues” merupakan salah satu dokumen menyeluruh yang seharusnya jadi salah satu acuan para pengambil kebijakan negeri ini, terutama dalam hal pemajakan aset kripto.
Dokumen ini panjang, akan tetapi salah satu bahasannya adalah pembebasan VAT (Value-Added Tax) atas transaksi aset kripto. VAT ini, bila di-Indonesiakan, menjadi PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Halaman 34 dari dokumen ini tertulis sebagai berikut:
“On this basis, the ECJ held that virtual currencies were comparable to fiat currencies in that their sole purpose was to provide a means of exchange, and that both virtual currencies and fiat currencies gave rise to similar difficulties in determining the taxable amount and the amount of VAT deductible. The Court therefore ruled that transactions including the exchange of fiat currency for virtual currencies and vice versa, performed for consideration, are transactions exempt from VAT within the meaning of Article 135(1)(e) of the EU VAT Directive.”
ECJ (European Court of Justice) menyamakan aset virtual (atau aset kripto) dengan mata uang fiat dalam hal karakteristik keduanya, yakni sebagai alat pertukaran (terlepas dari apakah negara-negara Uni Eropa mengakui aset kripto sebagai mata uang).
Pertimbangan lainnya adalah kesulitan pengidentifikasian berapa jumlah terutang atas aset kripto. Tak hanya negara-negara di Eropa saja yang telah membebaskan transaksi aset kripto dari PPN.
Negeri jiran Singapura misalnya, telah melakukan hal yang sama sejak tahun 2020. Australia juga tidak mengenakan PPN atas transaksi aset kripto. Hanya saja, transaksi yang difasilitasi oleh sistem komputerisasi misalnya centralized exchange (CEX) seperti Indodax, dikenakan pajak atas jasa yang diberikan kepada pengguna.
Maka, perlu dipertanyakan mengapa Indonesia memutuskan untuk memajaki transaksi aset kripto. Padahal kita sendiri tidak melihat geliat pemerintah di dalam ekosistem ini secara terang-terangan. Kecuali, tentunya, lewat Bappebti (dan Kementerian Perdagangan) yang cakupannya (mestinya) hanya soal produk berjangka saja. Artikel seseorang tentang Bappebti dan aset kripto dapat dibaca di sini (Bappebti dan Nasib Aset Kripto di Indonesia).
Pajak Aset Kripto dan Dampaknya di Dalam Negeri
Indonesia menikmati perkembangan industri aset kripto yang sangat pesat beberapa tahun belakangan ini. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya jumlah pengguna platform CEX dan semakin banyak platform CEX dalam negeri yang tersedia untuk pengguna.
Tak hanya itu, banyak juga bermunculan proyek-proyek aset kripto “karya anak bangsa”, yang mencoba mengeksploitasi basis pengguna aset kripto yang makin besar di Indonesia.
Memajaki aset kripto memang berpotensi mengumpulkan penerimaan negara yang cukup besar. Dari data tahun 2020, diperkirakan setidaknya Rp480 miliar tambahan penerimaan negara dari industri ini dengan pungutan 0,1 persen atas PPh dari setiap transaksi aset kripto. Angka ini tentu saja akan membengkak jika memperhitungkan perkembangan pesat industri aset kripto tanah air selama dua tahun belakangan ini.
Hanya saja, pengenaan pajak atas setiap aset kripto mestinya tak semudah membalikkan tangan. Pertama, karena hingga saat ini, tidak mudah mendefinisikan aset kripto. Kedua, karena tidak semua aset kripto diciptakan setara. Artinya, setiap aset kripto memiliki karakteristiknya masing-masing, di mana setiap saat bisa muncul jenis aset kripto yang tidak tercakup dalam definisi yang akan dibuat. Ketiga, metode perolehan aset kripto bisa bermacam-macam, mulai dari membeli sendiri, menambang, ataupun metode lain misalnya hard fork ataupun airdrop alias mendapatkan aset tiba-tiba.
Pengenaan pajak atas aset kripto yang kurang tepat juga bisa menurunkan tren industri yang sedang berkembang ini. Para pedagang yang bertransaksi dengan frekuensi tinggilah yang paling terdampak. Tidak hanya itu, operasi pasar aset kripto di wilayah hukum Indonesia menjadi tidak memiliki daya saing dengan pasar internasional. Padahal, ada pihak-pihak “arbitrator” yang mengeksplorasi selisih harga di dalam dan luar negeri.
Semoga regulator bisa menyusun aturan yang baik terkait perpajakan aset kripto ini, dengan mempertimbangkan kebijakan di negara lain dan dampaknya terhadap industri di dalam negeri. [ps]