Ketika harga Bitcoin hari ini menyentuh rekor baru di US$111 ribu (Rp1,8 miliar), investor lama mungkin tergoda untuk segera menjual. Namun, apa alasan untuk tahan?
Lonjakan harga Bitcoin ke rekor tertinggi sepanjang masa menimbulkan pertanyaan krusial: apakah sekarang saat yang tepat untuk mengambil untung? Dengan harga BTC yang menembus di atas US$111.000 atau sekitar Rp1,81 miliar pada Kamis (22/5), sebagian investor jangka panjang mulai mempertimbangkan untuk merealisasikan sebagian keuntungan.
“Bagi investor jangka panjang, saat seperti ini bisa menjadi peluang untuk mengambil sebagian keuntungan, terutama jika sasaran harga pribadi sudah tercapai. Namun, belum tentu ini adalah waktu terbaik untuk keluar sepenuhnya dari pasar,” ujar Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (22/5/2025), mengingatkan kehati-hatian di tengah euforia harga.
Meski ada optimisme yang tinggi, kondisi pasar menunjukkan sinyal campuran. Indeks Crypto Fear & Greed melonjak ke level 73 (Greed), mengindikasikan antusiasme pasar yang tinggi—yang secara historis kerap mendahului fase koreksi. Selain itu, indikator RSI berada di angka 76,07, masuk zona overbought, meskipun tren harga masih stabil.
Fyqieh juga mencatat bahwa sekitar 66 persen dari total posisi likuidasi dalam 24 jam terakhir berasal dari posisi short senilai US$451 juta, menandakan banyaknya trader yang salah arah. Namun, ketahanan harga Bitcoin di atas US$109.000 mencerminkan kekuatan pasar spot.
Tekanan jual dari investor lama pun masih relatif terbatas. Data on-chain menunjukkan 8.511 BTC dari pemegang jangka panjang (3–5 tahun) telah berpindah ke cold wallet baru, bukan ke bursa, sehingga tidak langsung menambah tekanan jual di pasar terbuka. Namun demikian, perpindahan ini bisa menjadi sinyal bahwa sebagian investor mulai bersiap menghadapi potensi fluktuasi harga ke depan.
Di sisi makro, naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 20 tahun ke 5,047 persen turut menjadi pendorong minat pada aset lindung nilai seperti Bitcoin. Namun, faktor ini juga menambah volatilitas dan ketidakpastian arah kebijakan moneter jangka menengah, yang bisa berdampak pada aset berisiko.
Sementara itu, Bitcoin mendapat dorongan besar dari akumulasi institusional. Pada Selasa (21/5), aliran dana ke ETF Bitcoin spot mencapai US$667 juta, mayoritas dari iShares Bitcoin Trust (IBIT) milik BlackRock yang kini memegang lebih dari 625.000 BTC. Ini diperkuat oleh kabar kemajuan RUU GENIUS Act di Senat AS, yang memperjelas regulasi stablecoin.
MicroStrategy juga ikut menambah tekanan beli dengan pembelian 13.390 BTC senilai US$1,34 miliar. Aksi ini ikut menekan cadangan Bitcoin di bursa ke level terendah dalam beberapa tahun terakhir, mengindikasikan pasokan semakin terbatas di pasar spot.
Secara teknikal, Bitcoin diperdagangkan di atas seluruh rata-rata pergerakan utama, dan indikator MACD memperkuat tren naik. Resistensi terdekat diperkirakan di kisaran US$113.335 atau sekitar Rp1,85 miliar.
Mengenai fenomena musiman sell in May and go away, Fyqieh menilai pola tersebut belum tentu relevan untuk tahun ini. Ia menyoroti korelasi antara suplai uang global (M2) dan harga Bitcoin yang menguat belakangan ini. Ketika M2 naik, harga BTC biasanya ikut terkerek. Data historis pun mendukung tren positif, dengan rata-rata imbal hasil Bitcoin di bulan Mei mencapai 7,9 persen dalam 12 tahun terakhir.
“Walaupun tidak selalu konsisten, data menunjukkan bahwa bulan Mei seringkali menjadi momen kenaikan, bukan penurunan harga. Dukungan tambahan datang dari arus masuk besar-besaran ke ETF Bitcoin spot, yang menandakan akumulasi dan keyakinan investor terhadap prospek jangka panjang aset ini,” pungkas Fyqieh.
Namun, di tengah segala sinyal positif tersebut, narasi profit-taking tidak dapat diabaikan. Momentum saat ini membuka peluang strategis bagi investor untuk merealisasikan sebagian keuntungan sebelum potensi tekanan pasar atau perubahan sentimen tiba-tiba mengubah arah harga.
Prediksi Ganas BTC Lainnya
Bitcoin mencetak rekor tertinggi baru dengan menembus level US$111.000 untuk pertama kalinya, didorong oleh lonjakan minat dari kalangan investor institusi. Hanya sehari sebelumnya, produk ETF Bitcoin spot mencatatkan arus masuk bersih sebesar US$608,99 juta, berdasarkan data dari SoSoValue.
Firma riset Presto Research menyebut reli kali ini masih berada di tahap awal dari perubahan fundamental dalam cara institusi menilai Bitcoin. Target harga mereka sebesar US$210.000 untuk tahun 2025, yang pertama kali diumumkan pada akhir 2024, belum mengalami revisi.
Jeff Mei, COO dari BTSE, menilai bahwa pergerakan naik ini didorong oleh gelombang besar partisipasi institusional yang kemungkinan akan terus berlanjut. Ia mencatat bahwa minat terbuka (open interest) tertinggi di Deribit saat ini jatuh tempo pada akhir Juni, dengan harga eksekusi opsi mencapai US$110.000, US$120.000, bahkan US$300.000. Hal ini menunjukkan banyak trader berspekulasi bahwa harga Bitcoin masih akan naik dalam waktu dekat.
Sementara itu, Santiment mengingatkan bahwa lonjakan komentar positif di media sosial setelah rekor tertinggi sering kali diikuti oleh koreksi harga dalam jangka pendek.
Di sisi lain, HTX Research menyebut pasar saat ini berada dalam kondisi “sentimen euforia dengan volatilitas yang tenang”. Dalam lanskap seperti ini, mereka memperkirakan Bitcoin berpotensi menguji ulang level baru hingga US$115.000 dalam 30 hingga 45 hari ke depan.
Sebelum raihan rekor baru itu, spekulasi mengenai harga Bitcoin semakin ramai dibicarakan, dengan berbagai analis dan institusi finansial merilis proyeksi mereka. Mulai dari ramalan konservatif hingga skenario yang sangat optimis, pandangan terhadap masa depan aset kripto utama ini menunjukkan bahwa Bitcoin tetap menjadi pusat perhatian dalam lanskap investasi global.
Sejumlah pengamat memperkirakan bahwa harga Bitcoin akan bergerak stabil di kisaran US$100.000 hingga US$150.000. Prediksi ini bukan tanpa dasar. Kombinasi dari momentum pasca-halving, meningkatnya eksposur investor institusional melalui ETF Bitcoin Spot, serta sinyal regulasi yang mulai terang di Amerika Serikat dan Eropa menjadi pemicu utama optimisme tersebut.
Salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan trader, Peter Brandt, memperkirakan bahwa Bitcoin bisa mencapai antara US$130.000 hingga US$150.000 pada kuartal ketiga 2025. Ia mendasarkan proyeksinya pada pola historis pergerakan harga Bitcoin yang konsisten mengikuti siklus halving. Brandt bukan satu-satunya yang mengamati tren ini, karena banyak analis lain juga mengaitkan kenaikan harga dengan momen-momen pasca-halving sebelumnya.
Namun, tidak semua proyeksi bersifat konservatif. Di sisi yang lebih ekstrem, muncul prediksi dari Deepseek AI—sebuah sistem kecerdasan buatan asal Tiongkok—yang menyebutkan kemungkinan harga Bitcoin menembus angka fantastis US$500.000. Tentu, skenario ini sangat bergantung pada variabel global yang sangat sulit diprediksi, seperti hiperinflasi dolar AS dan adopsi Bitcoin sebagai cadangan nasional oleh pemerintah Amerika Serikat.
Sementara itu, Samson Mow, CEO dari perusahaan infrastruktur Bitcoin bernama JAN3, mengambil pendekatan yang lebih radikal. Dalam pernyataannya, ia menyatakan keyakinan bahwa Bitcoin bisa mencapai US$1 juta per keping sebelum akhir tahun 2025. Menurutnya, tren global yang mendorong negara-negara untuk mengadopsi Bitcoin serta penerbitan obligasi berbasis kripto menjadi katalis utama yang bisa memicu lonjakan luar biasa ini.
Di balik semua angka yang dilontarkan, ada sejumlah faktor fundamental yang turut diperhitungkan dalam membentuk harga Bitcoin. Misalnya, meningkatnya akumulasi aset kripto oleh ETF Bitcoin, lonjakan arus masuk stablecoin, serta kebijakan ekonomi makro seperti keputusan The Fed dalam menetapkan suku bunga, hingga pengumuman tarif impor baru dari AS—semuanya berkontribusi terhadap persepsi investor terhadap Bitcoin sebagai aset lindung nilai.
Menariknya, dalam skenario yang dianggap paling realistis oleh sebagian besar analis, Bitcoin diperkirakan akan berada di sekitar US$120.000 hingga US$150.000 menjelang akhir 2025. Prediksi ini dinilai mencerminkan keseimbangan antara sentimen pasar yang membaik dan kehati-hatian terhadap gejolak ekonomi global.
Kendati demikian, lonjakan harga bukan berarti tanpa risiko. Seiring meningkatnya ekspektasi, volatilitas harga tetap menjadi bayang-bayang yang tak bisa dihindari. Investor pun diingatkan untuk tidak semata-mata tergiur angka-angka besar, melainkan juga memperhatikan aspek fundamental dan kesiapan mental dalam menghadapi fluktuasi pasar.
Dengan begitu banyak variabel yang memengaruhi, tahun 2025 tampaknya akan menjadi babak penting dalam perjalanan Bitcoin. Apakah mata uang digital ini akan mencapai puncak baru atau justru menghadapi koreksi tajam, semuanya masih bergantung pada dinamika pasar, keputusan institusional, dan kebijakan global yang terus berubah. [ps]