Apa Itu Worldcoin (World ID) yang Diblokir Komdigi?

Bayangkan jika untuk membuktikan bahwa kamu adalah manusia sungguhan di internet, kamu harus memindai iris matamu.

Kedengaran seperti film fiksi ilmiah? Tapi itulah yang ditawarkan oleh Worldcoin, proyek ambisius yang baru-baru ini ramai diperbincangkan setelah Kominfo dan Komite Etik Digital (Komdigi) menyatakan pemblokiran atas aktivitasnya di Indonesia.

Worldcoin bukan sekadar proyek kripto biasa. Di baliknya, ada nama besar seperti Sam Altman, sosok yang juga berada di balik OpenAI. Namun, bukan soal latar belakang elit yang jadi perhatian, melainkan bagaimana proyek ini mencoba membangun identitas digital global melalui cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Worldcoin: Proyek Kripto yang Menyentuh Ranah Identitas

Berdasarkan laporan Wired, proyek ini awalnya dikenal sebagai Worldcoin saat diluncurkan pada Juli 2024, merupakan hasil pemikiran Altman, Blania dan Max Novendstern, yang kini sudah tidak terlibat lagi dalam operasional perusahaan. Blania mengambil peran sebagai CEO, sementara Altman tetap menjadi pendukung utama.

Sampai Maret 2025, perusahaan berhasil memperoleh pendanaan ventura senilai US$240 juta dari sejumlah nama besar seperti Andreessen Horowitz, Khosla Ventures, Menlo Ventures, Bain Capital dan Coinbase Ventures, termasuk juga dari investor individu seperti Reid Hoffman dan Sam Bankman-Fried, yang kini mendekam di penjara.

Inti dari Worldcoin ada pada dua hal, yakni World ID dan token WLD. World ID merupakan semacam paspor digital yang membuktikan bahwa seseorang benar-benar manusia, bukan bot atau sistem otomatis.

Untuk mendapatkan World ID, seseorang harus memindai iris matanya menggunakan perangkat khusus bernama Orb, alat metalik bundar yang bentuknya cukup mencolok, seperti bola alien versi futuristik.

Setelah proses pemindaian selesai, pengguna mendapatkan identitas unik berbasis blockchain dan, sebagai bonus, diberikan token WLD yang disimpan di dompet digital resmi World App. Di titik ini, muncul berbagai pertanyaan. Apakah ini benar-benar solusi masa depan atau justru jebakan modern berkedok inovasi?

Di Balik Janji Mulia, Ada Keraguan Global

Worldcoin menyatakan bahwa misi utamanya adalah menciptakan inklusi digital dan keuangan global. Mereka ingin menjembatani jutaan orang, terutama di negara berkembang, untuk bisa mengakses sistem keuangan tanpa perlu bergantung pada lembaga tradisional. Di atas kertas, janji ini terdengar manis.

Namun demikian, di berbagai belahan dunia, skeptisisme justru semakin menguat. Salah satu sorotan utama adalah penggunaan data biometrik, terutama iris mata, yang dinilai sangat sensitif.

Meskipun pihak pengembang mengklaim bahwa data tidak disimpan secara permanen dan hanya digunakan untuk menghasilkan hash unik yang terenkripsi, banyak pihak merasa pendekatan ini terlalu agresif dan tidak sebanding dengan risikonya.

Di sisi lain, Komdigi dan sejumlah pengamat privasi digital menilai bahwa model bisnis seperti ini bisa membuka celah pelanggaran etika, terutama di negara-negara di mana kesadaran digital masih belum merata.

Hal ini pun menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia mengambil langkah tegas dengan melakukan pemblokiran sementara terhadap aktivitas Worldcoin.

Penolakan dan Larangan: Indonesia Bukan Satu-satunya

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengambil sikap waspada. Sebelumnya, Tiongkok, Kenya, dan beberapa negara di Eropa juga telah menaruh perhatian serupa. Bahkan di Kenya, pemerintah menghentikan proses pemindaian iris setelah ribuan warganya mengantri hanya demi mendapatkan token senilai beberapa dolar AS.

Bayangkan saja, seseorang dengan penghasilan minim tiba-tiba ditawari insentif uang digital hanya dengan “meminjamkan” matanya untuk dipindai. Tentu saja, tawaran semacam ini sulit ditolak.

Tapi di baliknya, ada konsekuensi jangka panjang yang belum tentu disadari oleh mereka yang tergiur saat itu.

Lebih lanjut lagi, muncul kekhawatiran bahwa proyek ini diam-diam sedang mengumpulkan database biometrik berskala global. Jika data tersebut jatuh ke tangan yang salah, potensi penyalahgunaannya akan jauh lebih berbahaya dibandingkan sekadar kebocoran password atau informasi KTP.

Inovasi atau Eksploitasi?

Sampai hari ini, Worldcoin mengklaim telah memverifikasi lebih dari dua juta pengguna di berbagai negara. Mereka juga tengah menjajaki potensi integrasi World ID sebagai alternatif login pada aplikasi Web3, bahkan dieksplorasi untuk sistem pemerintahan digital. Kedengarannya memang seperti masa depan yang efisien dan terdesentralisasi.

Namun, apakah kita benar-benar siap menyerahkan bagian tubuh kita untuk verifikasi digital, bahkan sebelum ada jaminan perlindungan yang kuat? Di tengah dunia digital yang makin sulit dipercaya, bukankah ironi jika kita harus memberikan lebih banyak data demi membuktikan bahwa kita manusia sungguhan?

Bukan cuma itu, pendekatan satu arah semacam ini juga menyisakan pertanyaan mendasar, apakah keadilan digital bisa dicapai melalui sistem yang justru menjadikan manusia sebagai objek data?

Meski teknologi ini mungkin membawa potensi yang menjanjikan, jalan menuju penerimaan publik tampaknya masih panjang. Terlebih di negara seperti Indonesia, di mana literasi digital masih terus dibangun, dan kesadaran privasi belum menjadi budaya yang mapan. [st]

Terkini

Warta Korporat

Terkait