Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI).


 

Sekali peristiwa di sebuah grup WhatsApp. Seorang sahabat lama yang kini bekerja di sebuah bank milik pemerintah, men-tag saya. Ia melampirkan sebuah tautan berita dari media nasional berpengaruh: 5 Fakta Kasus Investasi Bitcoin BTC Panda, Terkecoh Pelayanan “Wah” hingga Merugi Rp480 Juta. Karena saya tahu dia memang tak memahami soal Bitcoin secara mendasar, saya cukup membalas dengan kalimat ini, “Wah, kasus begini mah sudah biasa. Ada yang lebih besar lagi. Kalau mau investasi Bitcoin, silahkan beli saja di bursa kripto di Indonesia yang sudah berbadan hukum. Jangan main skema Ponzi seperti ini.” Hingga detik ini, dia tak menanggapi perkataan saya itu. Tak ada perdebatan (padahal banyak celah di kalimat saya itu yang layak diperdebatkan). Hening.

Soal legal dan tak legal, termasuk apa itu yang disebut perusahaan berbadan hukum yang diizinkan menyediakan layanan jual-beli Bitcoin, masuk dalam wilayah abu-abu di negara manapun di muka bumi ini, termasuk di Indonesia. Saat ini, negara yang kita cintai ini, termasuk Malaysia dan Singapura menari di irama yang senada soal Bitcoin dan mata uang kripto atau hal apapun terkait teknologi Blockchain.

Ketiga-tiga negara menegaskan, bahwa Bitcoin dan kripto lainnya bukanlah legal tender atau alat tukar yang sah di dalam negeri, sebagaimana tidak boleh Anda menjual secangkir kopi menggunakan dolar. Imbauan sih memang tinggal imbauan. Masalahnya, Bitcoin adalah “duit Internet” yang tidak dibuat oleh negara. Dan Internet adalah ruang publik yang bebas dan maha asyik. Bagaimana negara melarang itu. Memblokir layanan Internet-nya?

“Main Bitcoin” pun tidak dilarang. Silahkan. Tetapi, kata pemerintah, resikonya ditanggung sendiri. Maksud dari resiko itu adalah, ketika nanti harganya turun drastis jangan menyesal, karena Bitcoin sangat spekulatif dan bubble. Lah, yang skema ponzi pakai Bitcoin itu, kek mana pulak? Silahkan carai tahu sendiri, ketika Anda pahami deliknya adalah penipuan. Itu pidana, sobat!

Jadi, di Indonesia, Malaysia dan Singapura, perusahaan-perusahaan baru dan lama diizinkan memperdagangkan Bitcoin dan jenis kripto lainnya, termasuk perusahaan yang menyediakan wallet kripto. Mereka terdaftar secara hukum. Legal. Resmi. Tetapi diawasi. Di Malaysia misalnya, perusahaan-perusahaan baru yang terkait mata uang kripto didaftarkan dan diawasi oleh Bank Sentral Malaysia.

Di sini mereka “main cantik” dengan mengatakan ini: The information made available on this document does not in any way indicate licensing, authorisation or endorsement by Bank Negara Malaysia (“the Bank”) of any digital currency exchangers or any other entities involved in providing services associated with digital currencies.

Khusus di Indonesia, ada beberapa hal terkini yang patut disoroti. Pertama, pernyataan Presiden Republik Indonesia, Jokowi, bahwa Blockchain dan Bitcoin adalah inovasi. “Seperti advance robotic yang bisa mengambil alih peran manusia, begitupun artificial intelligence, dan virtual reality yang terus berkembang. Kemudian blockchain dan cryptocurrency, mata uang tanpa bank sentral yang sekarang sedang ramai diperebutkan oleh banyak orang,” ujar Jokowi di Universitas Indonesia awal tahun lalu.

Padahal di saat yang sama, Bank Indonesia terus mendengungkan soal pelarangan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang tidak sah. Larangan itu menegaskan larangan serupa yang pernah dilemparkan kepada publik sejak tahun 2014 lalu. Sementara itu, Bappebti mewacanakan Bitcoin bisa sebagai komoditi.

Kedua, diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia bahwa aset kripto sebagai subjek komoditi yang layak diperdagangkan di Bursa Berjangka di Indonesia. Peraturan itu sangatlah singkat, hanya 4 halaman. Saking singkatnya, tak ada penjelasan apa itu aset kripto. Tidak ada juga pencantuman kata Bitcoin atau mata uang kripto. Ini adalah aspek abu-abu itu (lagi).

Namun, setidaknya peraturan sepanjang 4 halaman itu menegaskan wacana yang sejak awal tahun ini dikumandangkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti): Bitcoin dan mata uang kripto sebagai komoditi yang layak sebagai subjek kontrak berjangka Indonesia. Untuk yang satu ini, Bappebti diberikan wewenang untuk mengeluarkan sejumlah aturan main yang lebih terperinci, di tengah-tengah perdagangan komoditi di Indonesia yang tak setenar pasar saham di bursa efek.

Ketiga, ini yang lebih menarik perhatian saya, yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) soal layanan urun dana melalui penawaran saham menggunakan teknologi informasi, salah satunya diperbolehkannya menggunakan teknologi blockchain. Di peraturan itu tidak ditemukan juga istilah mata yang kripto atau aset kripto yang sebelumnya digunakan dalam peraturan Menteri Perdagangan itu.

Peraturan yang dikeluarkan pada akhir Desember 2018 itu memungkinkan perusahaan rintisan alias startup (disebut sebagai Penerbit) untuk menggalang dana dari masyarakat (Pemodal) untuk dijadikan modal perusahaan melalui perusahaan penyedia layanan teknologi informasi (Penyelenggara). Artinya, saya dan Anda bisa mempunyai saham di perusahaan itu dan mendapatkan profit (bagi hasil) di masa depan.

Tapi, saham yang dimaksud ini bukanlah saham yang akan diperdagangkan di bursa efek. Itulah sebabnya perusahaan konglomerasi juga dilarang ikut dalam bisnis yang satu ini. Dalam peraturan itu disebutkan, syarat utama Penerbit, selain berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, adalah: “(1) Penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 bukan merupakan: a. perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu kelompok usaha atau konglomerasi; b. perusahaan terbuka atau anak perusahaan terbuka; dan c. perusahaan dengan kekayaan lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan.”

Di bagian penjelasan untuk Pasal 47 diterakan: “Contoh layanan pendukung berbasis Teknologi Informasi antara lain big data analytic, aggregator, robo advisor, atau blockchain.” Yang dimaksud dengan “Blockchain” adalah layanan pembukuan transaksi keuangan berbasis Teknologi Informasi yang mencatat dan menyimpan data bukti transaksi atau ledger yang terdistribusi melalui jaringan komputer baik secara private maupun public.”

Pengertian blockchain itu kurang lebih serupa dengan pengertian blockchain yang kita pahami saat ini. Kemudian disematkan pengelompokkan blockchain private ataupun public yang boleh digunakan untuk menggalang dana dari masyarakat. Jikalau kita meletakkan pengertian blockchain publik itu, maka sangat memungkinkan penggalangan dana itu menggunakan coin atau token sebagai representasi nilainya. Hmmm… terdengar mirip seperti Initial Coin Offering (ICO).

Jadi, secara hukum, apa yang kita pahami soal blockchain dan kripto saat ini adalah sah di mata Pemerintah Indonesia. Dapat pula kita tafsirkan kedua aturan itu sebagai pintu masuk adopsi teknologi baru ini di masa depan. Namun, kita masih menanti aturan yang lebih terperinci dari pihak Bappebti dan OJK, masing-masing aset kripto sebagai komoditi dan penawaran saham oleh startup menggunakan teknologi blockchain. [vins]