Faktanya, Tambang Bitcoin Haus Listrik Lampaui Nigeria

Tambang Bitcoin di seluruh dunia, berdasarkan kajian terkini BlockchainAnalytics, mengonsumsi energi listrik lebih tinggi daripada Nigeria dan Selandia Baru. Dan kini setara dengan konsumsi energi listrik di Republik Cekoslowakia.

BlockchainAnalytics menyebutkan energi listrik dalam proses penambangan Bitcoin terus meningkat. Pada tahun 2017 mengonsumsi lebih banyak listrik daripada Jamaika. Pada tahun 2018 lebih banyak daripada Nigeria. Lalu, pada 2019 lebih banyak daripada Selandia Baru.

“Saat ini energi listrik yang dihabiskan oleh tambang Bitcoin secara global, sudah setara dengan konsumsi listrik di Republik Cekoslowakia,” sebut BlockchainAnalytics dalam keterangannya kemarin, Selasa (11 Februari 2020).

Saat ini, konsumsi listrik tahunan tambang Bitcoin adalah 56 TWh. Portugal misalnya mengonsumsi 49 TWh per tahun, Romania (50 TWh) dan Republik Cekoslowakia (59 TWh). Diperkirankan, tambang Bitcoin akan mengonsumsi lebih dari 70 TWh pada tahun 2020.

Peningkatan konsumsi listrik Bitcoin dan negara. Sumber: BlockchainAnalysis.

“Itu setara dengan Chili, negara dengan populasi 18 juta jiwa,” jelas BlockchainAnalytics.

Bitcoin sebagai aset kripto nomor wahid di dunia semakin popular dan semakin mahal setiap tahun. Menurut BlockchainAnalytics, itu yang mendorong lebih banyak orang dan perusahaan masuk ke bisnis tambang Bitcoin.

BACA SEMUA BERITA TENTANG TAMBANG BITCOIN

Konsumsi listrik tambang Bitcoin, 2017-2020.

“Untuk memvalidasi blok transaksi Bitcoin hingga memperoleh imbalan berupa Bitcoin baru, para penambang bersaing satu sama lain. Menggunakan peranti keras khusus dan tidak murah, para penambang yang memiliki lebih banyak daya komputasi (hashrate) berpeluang lebih besar untuk memenangkan persaingan. Ini mendorong para penambang untuk membeli peralatan yang lebih kuat yang mengonsumsi lebih banyak listrik,” jelasnya.

Pada saat yang sama, efisiensi peralatan pertambangan terus meningkat, dan seiring waktu semakin sedikit listrik yang dibutuhkan untuk menghasilkan hashrate yang sama. Faktor ini memungkinkan untuk memperlambat meningkatnya konsumsi listrik.

“Misalnya, pada tahun 2016, Bitmain, produsen peralatan pertambangan terbesar di dunia, meluncurkan Antminer S9 yang legendaris, yang mengonsumsi 100 watt untuk menghasilkan satu terahash per detik (100 W/TH per detik). Generasi setelah itu, yakni Antminer S15 (tahun 2018), mengonsumsi 57 W/TH per detik. Saat ini, Antminer S17 yang paling efisien hanya mengkonsumsi 40 W/TH per detik,” papar BlockchainAnalytics.

Situasi itu, kata BlockchainAnalytics, akan memaksa sejumlah produsen alat tambang Bitcoin bersaing dalam mengembangkan perangkat keras yang lebih efisien tanpa mengorbankan hashrate-nya.

Di sisi lain, itu pula mendorong lebih banyak lagi penambang Bitcoin, dengan asumsi biaya listrik yang juga tetap murah. Itu yang kelak mampu mendorong hash rate lebih tinggi lagi. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait