Harga Bitcoin Kian Menggelinjang di US$11 Ribuan

Bak kuda terkekang yang hendak lari kencang, harga Bitcoin secara global terpantau kian menggelinjang di US$11 ribuan.

Sore ini pukul 14:41 WIB, harga aset kripto nomor wahid itu setara dengan Rp167.099.431 per BTC, menguat 4,73 persen dalam 24 jam. Level itu pula sudah melampaui harga pada 19 September 2020 lalu.

Jumat, 9 Oktober 2020, Bitcoin masih bertengger di kisaran Rp160,09 juta per BTC, lalu melonjak ke level tertingginya, yakni Rp168 juta, pada Sabtu pagi sebelum tengah hari.

Pergerakan harga Bitcoin dalam 24 jam terakhir. Sumber: Coinmarketcap.com.

Gegap gempita Bitcoin juga diikuti sentimen positif terhadap aset kripto lain, seperti Ether (ETH), Ripple (XRP), Bitcoin Cash (BCH), Polkadot (DOT) dan lain sebagainya.

ETH melaju kencang 7,36 persen dalam 24 jam terakhir di kisaran Rp5,5 juta. Ripple menyusul di bawah dengan raihan 2,43 persen (Rp3762). Sementara itu BCH percaya diri di Rp3,5 juta. Sedangkan DOT, si pendatang baru mampu melejit hingga 8,55 persen di harga Rp64,5 ribu.

Efek Square dan Stimulus US$1,8 Triliun
Menguatnya harga Bitcoin selama dua hari terakhir setidaknya didorong oleh keputusan Square yang membeli Bitcoin dalam jumlah cukup besar, yakni setara US$50 juta.

Perusahaan yang dipimpin oleh Pendiri Twitter itu membeli Bitcoin pada 7 Oktober 2020 melalui mekanisme Over the Counter (OTC) dan baru diumumkan sehari setelahnya.

Selain itu mencuat isu bahwa Trump telah menyetujui program stimulus sebesar US$1,8 triliun kepada warga AS. Program itu akan meningkatkan konsumsi warga, selain potensi mengalihkan dolar AS itu kepada aset lain, termasuk Bitcoin.

Namun, realisasi program itu belum jelas, karena harus melalui lobi-lobi keras di Senat, melawan partai Demokrat, rival Trump.

Bahkan Trump sebelumnya memantik perhatian lebih besar lagi, karena dia berniat menggulirkan dana stimulus yang lebih besar daripada US$2,2 triliun, seperti yang diusulkan oleh Partai Demokrat.

Dulu Benci Bitcoin, Sekarang Malah Beli

Kembali ke investasi oleh Square, besarannya memang tidak cukup besar dibandingkan perusahaan MicroStrategy pada Agustus dan September 2020 lalu.

Perusahaan publik pimpinan Michael Saylor itu membeli Bitcoin senilai Rp3,6 triliun pada 11 Agustus 2020. Lalu pada 14 September 2020, sebanyak 6.796 BTC (setara Rp2,7 triliun.

Kendati berbeda jumlah Bitcoin yang dibeli, kedua perusahaan bermotif serupa, yakni demi mengamankan keuangan mereka akibat kondisi ekonomi yang serba tak pasti, dampak pandemi COVID-19.

Square misalnya mengklaim Bitcoin yang dibelinya itu setara dengan 1 persen dari total aset keuangan perusahaan.

Entitas lain di balik MicroStrategy juga turut jadi pusat perhatian. Mereka yang memiliki saham di perusahaan itu dianggap turun andil memiliki nilai setara Bitcoin di MicroStrategy.

Entitas itu antara lain adalah Lembaga Dana Pensiun milik pemerintah Norwegia (Oil Fund), BlackRock Fund Advisors dan Vanguard Group.

Kepemilikan Bitcoin ittu berupa kepemilikan tidak langsung, karena Pemerintah Norwegia melalui badan pengelola dan pensiun itu memiliki saham di MicroStrategy.

Hasil penelitian Arcane menyebutkan bahwa Oil Fund memiliki sekitar 577,6 BTC (Rp95 miliar dengan harga hari ini, 21 September 2020) melalui investasi saham di MicroStrategy.

“Nilai investasi itu setara dengan US$6,3 juta. Oil Fund sendiri memiliki 1,51 persen saham di MicroStrategy,” sebut Arcane.

Selain Oil Fund, ada pula dua perusahaan lain yang memiliki Bitcoin secara tidak langsung, yakni BlackRock Fund Advisors dan Vanguard Group, masing-masing memiliki 15,24 persen saham (5829,30 BTC) dan 11,72 persen (4482,90 BTC).

Investasi Bitcoin oleh kalangan institusi/perusahaan memang masih teramat kecil, yang saat ini yang didominasi oleh retail, sama seperti tahun 2017.

Berdasarkan survei terbaru oleh Universitas Cambridge akhir bulan lalu terungkap pengguna Bitcoin naik drastis.

Cambridge Centre for Alternative Finance di Universitas Cambridge, Inggris menyebutkan bahwa pengguna Bitcoin Cs (aset kripto) secara global saat ini mencapai 101 juta. Angka itu naik 189 persen berbanding tahun 2018, yakni 35 juta “unique users”. Pengguna dari kalangan institusi masih kecil.

Hal itu tertuang dalam laporan hasil survei “3rd Global Cryptoasset Benchmarking Study” sepanjang 71 halaman. Survei digelar pada Maret-Mei 2020 dan laporan diterbitkan beberapa hari yang lalu. Mayoritas responden adalah dari kawasan Asia Pasifik dan Eropa.

“Pada tahun 2018, berdasarkan survei edisi pertama jumlah pengguna aset kripto sekitar secara global mencapai 35 juta. Jumlah itu berdasarkan identitas pengguna yang terverifikasi di sejumlah bursa aset kripto dan penyedia layanan sejenis. Sedangkan pada survei ke-3 ini pengguna mencapai 101 juta di 191 juta akun,” sebut Cambridge dalam laporan itu.

Kalangan Institusi Masih Kecil
Sementara itu, berdasarkan kategori asal pengguna, kategori institusi/kelembagaan masih belum terlalu banyak. Pengguna retail masih mendominasi, serupa dengan peningkatan pada tahun 2017.

“Hal ini menunjukkan, bahwa kendati minat dari kalangan institusi telah tumbuh, tetapi tidak terwujud dalam hal penambahan pengguna termasuk pembelian,” sebut Cambridge.

Pembelian Bitcoin oleh perusahaan dan organisasi ternama dianggap sebagai pelecut naiknya harga Bitcoin. Itu menjadi cerminan bangkitnya kesadaran dan kepercayaan diri banyak pihak di luar investor dan trader retail.

Setidaknya, apa yang dilakukan Square dan dukungan besar Pendiri Twitter, Jack Dorsey dan tentu saja langkah MicroStrategy, bisa menjadikan Bitcoin kian unggul, tanpa kita tahun kapan itu akan tiba. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait