JPEG Eksplorasi Pemanfaatan Blockchain untuk Kelola Produk Grafis

Keunggulan teknologi blockchain kian mengundang perhatian banyak pihak, termasuk JPEG (Joint Photographic Experts Group). Selasa, 21 Januari 2020 lalu saya berkesempatan menghadiri diskusi terbuka yang mereka selenggarakan di Sydney, Australia.

OLEH: Dimaz Ankaa Wijaya
Peneliti Teknologi Blockchain di Universitas Monash, Australia

Bagi JPEG pemanfaatan blockchain dimungkinkan untuk proses bisnis yang terkait dengan gambar elektronik. Untuk paham lebih banyak, diskusi itu tentu saja tidak dapat saya lewatkan begitu saja.

Dalam eksplorasi teknologi blockchain untuk pengelolaan gambar elektronik, JPEG telah merilis makalah berjudul “Towards a Standardized Framework for Media Blockchain”.

JPEG sendiri merupakan organisasi standardisasi internasional di bidang kompresi grafik digital, yang saat ini dipimpin oleh Profesor Touradj Ebrahimi dari EPFL, Swiss. Produk JPEG yang paling terkenal, tentu saja, kompresi gambar berformat *,jpeg yang dirilis 28 tahun lalu.

Selain standar jpeg, mereka juga memiliki beberapa standar lain, seperti JPEG XR, XT, 2000, LS, XS, XL dan Pleno, termasuk juga JPSearch dan JPEG Systems sebagai perlengkapan tambahan untuk meningkatkan kapabilitas sistem dalam mengelola gambar elektronik.

Diskusi JPEG kali ini, Universitas Teknologi Sydney (UTS) menjadi tuan rumahnya. Tidak hanya dihadiri oleh kalangan akademisi, pertemuan ini juga diramaikan oleh perwakilan dari perusahaan multinasional seperti Ricoh dan Intel.

Beberapa pengacara dari firma hukum lokal juga berpartisipasi untuk menyampaikan pendapat mereka. Saya sendiri mewakili Monash Blockchain Technology Centre (MBTC) yang baru berdiri akhir 2019 lalu.

Dalam diskusi itu, sebagian berdasarkan makalah “Towards a Standardized Framework for Media Blockchain”, menyajikan berbagai studi kasus beragam teknologi blockchain yang dikembangkan dalam bidang media.

Di antaranya adalah KodakOne yang digawangi oleh pelaku industri kawakan Kodak dan OpenstreetVR yang mengembangkan teknologi blockchain untuk kapabilitas realitas maya (virtual reality).

Beberapa platform blockchain lain seperti Current, eWitness dan Po.et juga dibahas. Platform-platform ini di antaranya membuat model imbalan atas pengelolaan media secara terdesentralisasi dan menyediakan model autentikasi atas media elektronik.

Keabsahan Izajah
Diskusi terbuka ini dilakukan dengan cair. Ada empat topik berbeda yang sempat dibahas selama 3,5 jam, yakni blockchain di bidang edukasi, blockchain dalam pengelolaan gambar, kontrak legal pintar (smart legal contract), dan yang terakhir isu privasi dalam teknologi blockchain.

Sebagai penyaji pertama adalah Tom Worthington, dosen senior dari Australian National University (ANU), Canberra. Tom menjelaskan bagaimana blockchain dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan di bidang akademik, misalnya untuk memberi testimoni atas keabsahan sebuah ijazah.

Secara tradisional, kita mengenal proses legalisasi ijazah yang kita lakukan untuk berbagai keperluan, misalnya saat melamar pekerjaan atau melanjutkan ke tingkat pendidikan lebih tinggi. Mereka yang menyelesaikan pendidikan di luar negeri harus melakukan “penyetaraan ijazah” untuk memastikan keabsahan ijazah yang mereka raih dari institusi pendidikan luar negeri.

Legalisasi ijazah menjadi masalah besar bagi para ekspatriat yang berkarir di luar negeri, sementara universitas asal tidak dapat mereka kunjungi secara fisik untuk mendapatkan “leges” atas salinan ijazah mereka. MIT Media Lab telah mengeksplorasi bidang ini dengan mempublikasikan sertifikat elektronik di atas blockchain.

Dua orang dari firma hukum lokal (saya lupa nama mereka) menyajikan topik tentang kontrak legal pintar (smart legal contract) dan perbedaannya dengan kontrak pintar (smart contract).

Jika kontrak pintar dapat didefinisikan sebagai kode program (ditulis dengan bahasa pemrograman) yang disimpan secara kekal dan dieksekusi dalam sistem blockchain, kontrak legal pintar mengejawantahkan kontrak pintar sebagai sarana atau perangkat untuk meningkatkan kecepatan eksekusi kontrak legal.

Kontrak legal itu ditulis dengan bahasa natural (misalnya bahasa Indonesia atau Inggris). Kontrak legal pintar tidak banyak berbeda dengan kontrak legal pada umumnya.

Komponen mencolok dari kontrak legal pintar yang tidak ada dalam kontrak legal adalah adanya kode program yang mengejawantahkan kontrak legal pintar.

Konsekuensi hukum akan terjadi jika kontrak legal pintar dieksekusi, namun juga perlindungan hukum akan diberikan apabila terjadi persoalan yang tidak diinginkan dalam eksekusi kode program tersebut, misalnya saat sebuah bug ditemukan.

Sabrina Caldwell, peneliti dari ANU, memaparkan bagaimana bidang yang ditekuninya dalam pengelolaan informasi bisa mendapatkan manfaat atas penggunaan blockchain.

Sabrina mengatakan, bahwa informasi metadata sebuah gambar milik seseorang, misalnya waktu dan lokasi gambar tersebut diambil, dapat disimpan ke dalam blockchain untuk memberikan ketepatan informasi bilamana diperlukan.

Ring Signature
Sebagai penyaji terakhir, saya memaparkan topik tesis saya yang berfokus pada privasi atas sistem blockchain. Dengan studi kasus penggunaan teknik tandatangan cincin (ring signature) pada Monero, saya menjelaskan kompleksitas fitur privasi pada sistem terbuka seperti blockchain.

Saya menekan, meskipun jaminan privasi dapat diberikan pada tataran teoretis dan matematis, pada kenyataannya protokol privasi seperti milik Monero memiliki celah yang dapat dieksploitasi untuk menggali informasi tentang pengguna, yang seharusnya terlindungi oleh teknik kriptografi.

Paparan terakhir ini memberikan gambaran besarnya tantangan yang dihadapi JPEG untuk mencari solusi terbaik dalam pemanfaatan teknologi blockchain di bidang media. [*]

Terkini

Warta Korporat

Terkait