Menafsirkan Rencana Baru AS Bidik Dunia Kripto, Stablecoin pun Bisa “Disikat”

Pasca kasus yang membelit Binance di Amerika Serikat, Pemerintah AS punya rencana segudang untuk terus membidik pelaku “tak beradab” di dunia kripto. Salah satunya adalah akan lebih memperluas pengawasan stablecoin, kendati penggunanya berada di luar negeri. Bahkan validator di node blockchain juga bisa jadi sasaran

Bagi Amerika Serikat, walaupun blockchain dan kripto sudah terbukti sebagai inovasi berfaedah dari segi efisiensi, namun kalau sudah masuk wilayah hukum tertentu, pidana adalah jawabannya. Itulah yang terjadi terhadap Binance, di mana salah satunya digugat karena diduga memfasilitasi transaksi kripto dari banyak negara yang terkena sanksi AS, termasuk memfasilitasi kelompok-kelompok yang dikategorikan “teroris”, salah satunya Hamas. AS adalah salah satu negara pendukung negara penjajah, Israel yang saat ini melakukan pembantian di Palestina.

Dan seperti diduga banyak orang, AS tak berhenti saja di Binance, karena ada sejumlah entitas lain yang mungkin menyusul. Ingatlah apa yang disampaikan Komisi Perdagangan Komoditi Berjangka (CFTC) beberapa waktu lalu. Mereka memastikan bahwa tindakan agresif AS untuk membidik entitas seperti Binance akan terus berlangsung, kendati berada di luar wilayah hukum AS, jika memang terbukti melanggar kedaulatan, keamanan dan kebijakan Negeri Paman Sam itu.

Pengawasan Lebih Luas Hingga ke Validator Blockchain

Kabar terbaru yang layak disoroti tentu saja pernyataan dari Wakil Menteri Keuangan AS, Wally Adeyemo pada Rabu (29/11/2023) lalu kepada komunitas kripto di Washington.

“Kalian memiliki kemampuan untuk membangun alat baru yang membantu mencegah pencucian uang sembari senantiasa memberikan perlindungan kepada individu. Anda juga memiliki kemampuan untuk memutus hubungan dengan perusahaan dari ekosistem yang gagal mengambil langkah-langkah untuk mencegah keuangan ilegal,” kata Adeyemo.

Dia juga mengatakan bahwa Kementerian Keuangan berencana lebih memperluas pengawasan terkait keuangan hingga ke titik spesifik di dunia kripto, mulai dari validator blockchain, penyedia crypto wallet hingga memonitor stablecoin lebih dekat lagi, kendati penggunanya bukanlah penduduk AS.

Rencana itu sudah mengkristal di benak pemerintah dalam bentuk proposal dan sudah diajukan ke Kongres belum lama ini. Namun, jauh sebelum proposal itu masuk, debat stablecoin rupanya sudah panas di lembaga wakil rakyat itu. Maklumlah, aroma politik tetap kental di sana, karena Adeyemo sendiri datang dari sayap Demokrat dan ada di sisi lainnya orang Partai Republik di Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) AS, yakni Hester Peirce yang sejak ia menjabat dikenal lebih ramah kripto (secara politik).

Rencana perluasan kewenangan pengawasan ini hingga ke sendi-sendi blockchain di satu sisi tidaklah mengherankan, karena merupakan adab Negeri Paman Sam sejak dahulu kala, karena sudah “menyenggol” rasa keamanan mereka. Namun, di sisi lain, jika kewenangannya terlalu luas, dia punya implikasi tertentu terkait politik luar negeri, katakanlah soal mengganggu kedaulatan negara lain atau privasi personal. Kalimat ini mungkin terlalu halus untuk mengatakan itu adalah kebiasaan yang lumrah untuk sebuah negara adidaya.

Potensi Deklarasi Perang Geopolitik Baru

Lihat apa kata pelaku industri kripto terkait rencana itu. Austin Campbell, mantan eksekutif di Paxos misalnya membandingkan rencana raksasa itu sebagai ekspansi kekuasaan terluas dengan Patriot Act. Undang-undang ini disahkan setelah serangan 11 September untuk memburu semua pihak yang melawan Amerika, di mana salah satu aspek di dalamnya adalah mengawasi transaksi keuangan.

Tambah Campbell lagi, rencana itu bisa menjadi cara memunculkan perang dagang baru dan deklarasi perang geopolitik.

“Ini adalah cara memulai perang dagang. Menegaskan yurisdiksi AS atas stablecoin bernilai dolar AS yang ada negara asing, di bawah aturan negara tersebut, disimpan di bank-bank di negara tersebut, hanya karena mereka menggunakan dolar? Ini bukan sesuatu yang bisa kita lakukan. Ini adalah deklarasi perang geopolitik. Anda tidak bisa hanya pergi ke negara lain, dengan produk di sana, dan mengatakan karena mereka menggunakan mata uang Anda, Anda mengontrolnya,” tegas Campbell.

Sementara itu, Jerry Britto, Direktur Eksekutif Coin Center, kepada Fortune mengatakan, usulan tersebut penting namun berpotensi berlawanan dengan kebijakan kepentingan AS. Dia mencontohkan itu bisa membatasi inovasi di industri kripto yang baru berkembang 15 tahun. Ia pun memastikan, itu bisa berpotensi mengarah pada pelanggaran privasi dan kebebasan individu.

Akhirul kata, siapa sih yang berani melawan Amerika di saat-saat seperti ini? Karena masih banyak negara yang bergantung kepadanya. Negara oposisi pun “kurang agresif”, untuk mengatakan tidak terlalu terang-terangan soal ini. Tanyakan itu kepada Rusia yang sejak awal pro terhadap blockchain dan kripto sebagai upaya proxy melawan Barat. Lagipula perusahaan Tether sejak lama “sudah menyerah” dan selalu turut serta dalam banyak penyelidikan stablecoin. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait