Meneroka Peran Stablecoin Setelah Bitcoin Halving

Bitcoin Halving adalah momen paling dinantikan oleh ekosistem aset kripto di seluruh dunia. Peristiwa yang hanya terjadi 4 tahun sekali itu dianggap paling penting bagi kenaikan harga Raja Aset Kripto itu, sebagaimana yang pernah terjadi pada dua Halving sebelumnya. Lantas, apa peran stablecoin setelah Bitcoin Halving?

“Setelah Halving, Bitcoin (BTC) kian langka. Penyebabnya adalah karena laju produksi Bitcoin melalui imbalan (reward) kepada penambang, berkurang separuh. Di blok ke-630.000 (diperkirakan pada Mei 2020), imbalan itu berkurang dari 12,5 BTC menjadi 6,25 BTC per blok,” kata Muhammad Zaky, Business Development Rupiah Token kepada Blockchainmedia belum lama ini.

Lanjutnya, saat ini laju produksi Bitcoin adalah 1800 BTC per hari, maka setelah Halving, menjadi 900 BTC per hari. Harga Bitcoin setelah itu berpotensi melonjak tajam, ketika permintaan (daya beli) akan melebihi pasokan (jumlah Bitcoin) yang tersedia.

Selain faktor kelangkaan, Zaky menilai peningkatan permintaan terhadap Bitcoin, turut dipengaruhi oleh peningkatan adopsi teknologi blockchain, yang merupakan asas dari Bitcoin itu sendiri.

“Kita lihat sendiri di banyak negara, termasuk di Indonesia, eksplorasi teknologi blockchain semakin besar saja. Misalnya, tumbuhnya bursa aset kripto, aplikasi dompet aset kripto, aplikasi desentralistik, stablecoin dan banyak ragam lainnya,” katanya.

Khusus di Indonesia, Zaky menyambut baik peran Bappebti yang mengatur soal tata cara perdagangan aset kripto di bursa berjangka. Itu adalah bentuk pengakuan terhadap Bitcoin dan aset kripto lainnya sebagai komoditi setara dengan emas dan minyak.

Selain pengakuan, tentu saja peraturan itu dibuat untuk melindungi uang masyarakat yang masuk ke aset kripto. Dan itu sangat berdampak menumbuhkan kesadaran dan rasa percaya diri masyarakat, jelas Zaky.

Peran Stablecoin
Secara historis harga Bitcoin naik setelah Halving Day. Itu turut berdampak terhadap pergerakan harga aset kripto lainnya.

“Itu kelak meningkatkan hasrat trading. Di sinilah peran stablecoin seperti Rupiah Token (IDRT) yang dapat digunakan untuk hedging atau mengamankan profit dari kemungkinan loss ketika terjadi pullback,” ucapnya.

Zaky mencontohkan, jika harga Bitcoin melonjak dan mencapai US$20.000, para pemegang Bitcoin yang meramalkan akan terjadi pullback dapat memanfaatkan Rupiah Token (IDRT) dengan melakukan konversi BTC menjadi IDRT, sebelum harga turun.

Dan ketika pullback dirasa sudah selesai, trader dapat mengonversi kembali IDRT menjadi BTC untuk menunggangi gelombang uptrend selanjutnya.

“Jika permintaan pasar terhadap Bitcoin semakin besar setelah Halving, kami prakirakan akan berbanding lurus dengan kebutuhan stablecoin,” imbuhnya.

Rupiah Token (IDRT) adalah stablecoin yang didukung 1:1 oleh mata uang rupiah. Harga 1 IDRT akan selalu setara dengan 1 rupiah. Saat ini Rupiah Token dibangun di atas tiga jaringan blockchain, yaitu Ethereum (ERC-20), Binance Chain (BEP-2), dan Luniverse. IDRT kini tersedia di beberapa bursa aset kripto terkemuka di dunia. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait