Stablecoin Berpeluang Menjadi Arus Utama Keuangan Dunia

Stablecoin disebut berpeluang menjadi arus utama keuangan dunia, berkat keunggulan teknologi blockchain yang dipelopori oleh Bitcoin pada tahun 2008. Ranah baru uang fiat yang berinflasi tinggi?

Pada tahun 2008, melalui Bitcoin, Satoshi Nakamoto memberikan makna baru terhadap konsep uang (di negara lain, seperti di Indonesia, maknanya “diisolasi” menjadi aset kripto/aset digital setara produk komoditas).

Satoshi menyebutnya sebagai Sistem Uang Tunai Elektronik Peer-to-Peer. Sebutan sistem itu pun disederhanakan oleh Hal Finney menjadi “block-chain” atau “blockchain”. Namun, hingga 11 tahun kemudian masih sedikit yang mampu menjelaskan blockchain dengan tepat.

Soal yang terakhir itu masih dapat dimaklumi, seperti sulitnya menjelaskan cara kerja uang elektronik berbasis server (GoPay atau OVO di Indonesia). Atau cara kerja uang dalam konteks ekonomi negara (fiat money), yang nilainya tak berbasis emas fisik.

Jalan pintasnya: tak perlu semua orang memahami cara kerjanya, sepanjang manfaatnya benar-benar melebihi sistem yang lama. Di sinilah lahir value (nilai) teknologi blockchain yang melahirkan mata uang kripto, di mana stablecoin menjadi bagian terpadu di dalamnya.

Bitcoin sebagai bentuk baru uang elektronik tidaklah dimaksudkan bernilai “stabil” selayak uang dolar AS ataupun rupiah dan uang lain yang diterbitkan oleh negara (fiat). Karena, Bitcoin adalah antitesis/lawan/berseberangan dengan konsep uang biasa.

Tak heran harga Bitcoin sangat volatil, karena ia berada di ruang pasar bebas, tanpa ada kendali negara dan kendali sentral di dalamnya.

Hal itulah yang menjelaskan sebagian besar orang belum siap atau mungkin tak pernah bisa menerapkan Bitcoin atau aset kripto lainnya dalam transaksi sehari-hari (setidaknya seluas penggunaan dolar AS), apalagi untuk membayar gaji karyawan.

Dalam perjalanannya, berkat teknologi blockchain, mata uang yang diterbitkan oleh negara bisa direpresentasikan secara digital. Kita lazim menyebutnya sebagai tokenisasi.

Di sinilah lahir konsep stablecoin seperti United States Dollar Tether (USDT), yang nilai satu unitnya sama dengan nilai satu unit uang dolar AS sungguhan: satu banding satu. Ini dibuat oleh perusahaan swasta.

Di Indonesia sudah banyak startup yang bergerak di sektor ini, di antaranya adalah PT Rupiah Token dengan Indonesia Rupiah Token (IDRT)-nya dan perusahaan lain, PT Rupiah Digital Indonesia dengan Indonesia Rupiah Private (IDRP).

Akibatnya, di satu sisi, perpaduan blockchain dan uang fiat, kini sejatinya mengubah cara kerja keuangan dunia: dari mahal menjadi sangat murah, dari 3 hari pengiriman lintas negara menjadi sepersekian detik saja dan sejumlah kelebihan lainnya berbanding layanan perbankan ataupun PayPal (kutukan 4 persen).

Tak heranlah Tiongkok benar-benar menangkap peluang itu dengan mengembangkan mata uang fiat-nya, yakni yuan, agar berwujud digital murni. Di sini kita diperkenalkan dengan konsep baru, yakni Uang Digital Bank Sentral alias CBDC (Central Bank Digital Currency).

Tiongkok, yang tahun lalu mendeklarasikan pengusungan penuh blockchain, berpikir wujud digital uang itu akan lebih memperluas pengaruh yuan di banyak negara. Tak heran pula Jepang dengan yen-nya yang kuat, ingin melangkah serupa guna menghalangi gerak yuan.

Pun bagi kedua negara, uang digital lebih mempermudah pelacakan arus transaksi secara cepat dan mudah, dibandingkan sistem lama, terlebih-lebih uang fisik.

Bahkan Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengatakan ada permintaan tinggi bagi stablecoin di pasar, dan pemerintah negara-negara Uni Eropa harus siap. Ketika Christine masih memimpin IMF, dia mengungkapkan hal serupa, agar bank sentral di semua negara memanfaatkan teknologi blockchain atau terkadang dia kerap sebut sebagai DLT (Decentralized Ledger Technology).

Oleh perusahaan swasta lainnya, ada stablecoin (bernilai dolar AS dan mata uang fiat kuat lainnya), Libra yang digagas oleh Facebook melalui Libra Association pada tahun 2019 lalu.

CEO Facebook, Mark Zuckerberg mengatakan Libra mampu membantu miliaran warga dunia yang belum memiliki akses bank.

Libra kelak mudah digunakan sebab pengguna tidak perlu mendatangi kantor bank, cukup memakai ponsel, kartu identitas dan koneksi Internet.

Tapi, kini Libra ditinggalkan banyak anggota pendirinya, karena Bank Sentral dan Kongres tidak/belum memberikan lampu hijau.

Jadi, hadirnya stablecoin mampu meniadakan ketidaknyamanan pembayaran uang tunai konvensional. Kini dengan stablecoin, pengguna tidak perlu lagi mengunjungi anjungan tunai mandiri.

Pegiat mata uang kripto optimis tentang kemampuan blockchain merevolusi masa depan keuangan. Kendati demikian, ada sejumlah kekurangan yang ternyata sangat berdampak sehingga membuat adopsi kripto menjadi lambat, seperti regulasi dan pencurian di bursa aset kripto.

Dengan adanya stablecoin, bukan berarti blockchain akan mati, melainkan bisa diadopsi secara massal, dengan diterapkannya beberapa perubahan tertentu. Dua tahun lagi, mata uang digital menjadi lumrah, kata Bank Jerman belum lama ini. [ed]

Terkini

Warta Korporat

Terkait