Mengapa Nilai 1 BTC Tetaplah 1 Bitcoin?

Bagi Anda pendatang baru di dunia Bitcoin, sangatlah lumrah mengajukan pertanyaan seperti judul di atas. Pun lagi latar belakang pertanyaan itu mengacu pada: jikalau Bitcoin bernilai pada dirinya sendiri, mengapa harus mengacu pada nilai mata uang fiat yang secara ideologis dan sistem semestinya berseberangan?

Masalahnya nilai ideologi Bitcoin tidak sehitam-putih seperti itu, tidak pula disampaikan oleh Satoshi Nakomot sendiri. Ada wilayah di mana ia tidak bebas nilai, walaupun naik turun di wilayah pasar bebas, terbuka, transparan dan kekal.

Karena dolar AS secara fakta dan konsensus adalah mata uang global, didasarkan keyakinan terhadap kebijakan politik dan ekonomi bangsa Amerika Serikat, maka tidak ada pilihan, bahwa nilai dan harga dipatok dengan nilai uang dolar AS, sebagaimana yang kita lihat pada emas.

Bahwa kelak dolar AS tidak berkuasa penuh dalam sistem perdagangan dunia, dan digantikan oleh yuan, hal serupa akan juga terjadi, bahwa pair BTC/YUAN akan mendominasi atau setidaknya menjadi pilihan mutlak.

Singkat kata, objek bernilai manapun harus relatif terhadap nilai objek lain yang relatif lebih kuat dan digunakan, sehingga diperoleh angka nisbahnya. Dari sanalah ada acuan, kapan harus membeli dan sebaliknya.

Sekarang perhatikan fakta ini, harga Bitcoin naik relatif terhadap dolar AS sejak Maret 2020. Kelajuannya tidak terbendung, karena menuju wilayah US$14 ribu dan kemungkinan besar menembus batas US$20 ribu sebagai rekor tertinggi sepanjang masa.

Fakta itu secara sederhana mencerminkan permintaan yang teramat besar terhadap Bitcoin sebagai aset alternatif daripada dolar AS dan sebagian lagi mata uang asing lainnya.

Jadi, karena harga Bitcoin naik relatif terhadap dolar, yen, atau rubel, jelas bahwa orang-orang yang tinggal di bawah atap ekonomi fiat merasa mereka memiliki alasan untuk bertransisi, setidaknya sebagian, ke Bitcoin.

Meskipun masih jauh dari tingkat tertinggi dolar sepanjang masa di US$19.783-US$20.000 yang dicapai pada Desember 2017 (mendekati US$14.000 saat ini), harga Bitcoin telah mencapai titik tertinggi yang relatif dengan mata uang fiat lain, di antaranya real Brazil, lira Turki, peso Argentina, bolivar Venezuela, dan beberapa mata uang dunia lainnya dalam 30 hari terakhir.

Memang benar alat ukur utama adalah BTC/USD, yang kemudian dikonversi dengan nilai tukar mata uang lokal, misalnya USD/IDR.

Tetapi faktanya bahwa Bitcoin sejatinya melampaui tingkat tertinggi sepanjang masa itu dalam mata uang fiat lainnya. Inilah indikator penting dari 2 hal. Pertama, masalah akut dalam sistem mata uang fiat. Bukan teknologinya, tetapi kebijakan dan pengelolaan.

Kedua, nilai uang fiat secara global ke dalam Bitcoin adalah alternatif pilihan untuk masalah ini. Sesederhana itu sebenarnya!

Lihat pair BTC/LIRA telah mencapai titik tertinggi sepanjang masa, sementara BTC/USD belum.

Ini menunjukkan bahwa daya beli lira terhadap USD telah melemah. Tentu ini dampak dari berkurangnya pasokan dolar di negara itu, karena sanski ekonomi oleh AS, satu kebijakan ganjil sejak tahun 1971, di mana dolar AS tak lagi dipatok dengan nilai emas.

Selain sanksi, tentu saja ada masalah domestik di Turki, misalnya inflasi tinggi, karena produktivitas ekonomi yang lemah.

Pada tahun 2018 misalnya, tingkat inflasi Turki mencapai 16,33 persen, lalu turun tipis 1,18 persen pada tahun 2019, berdasarkan data dari Macrotrends.net.

Jadi, seandainya Anda adalah warga Turki, akan lebih baik membeli Bitcoin yang acuan utama harganya adalah dolar AS, daripada lira Turki sendiri, guna melawan inflasi yang ada.

Itu baru Turki saja, belum dari negara lain yang bernasib sama bahkan lebih parah dari Turki. Lihat Argentina, Venezuela, Sudan, Suriname dan Zambia, semuanya telah mengalami harga BTC tertinggi sepanjang masa bulan ini dan yang menyumbang hampir 3 persen dari seluruh populasi dunia.

Nah, dengan situasi ekonomi global yang disebut IMF baru-baru ini sudah berkontraksi 4 persen dan bahkan lebih pada tahun-tahun mendatang, maka situasi inflasi lebih parah akan menghampiri negara-negara itu, termasuk negara-negara lemah lainnya.

Di sisi lain, negara yang masih menerapkan suku bunga acuan negatif, seperti Jepang, Uni Eropa dan kemungkinan besar Inggris yang sedang mempertimbangkan, memaksa lebih banyak orang lagi mengeluarkan uangnya dari bank dan beralih ke Bitcoin yang sejatinya aset berisiko tinggi dan memberikan imbal hasil lebih tinggi.

Bukankah lebih berisiko menyimpan uang fiat di bawah bantal Anda? [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait