Jauh sebelum teknologi blockchain hadir, istilah “token” lazim dikenal dan diterapkan di kehidupan sehari-hari. Dalam konteks teknologi blockchain, apalagi terkait dengan teknologi keuangan, mempunyai pengertian dan ruang lingkup berbeda. Namun, pengertian dasar token adalah “simbol” atau “lambang” atas sesuatu yang lain.
Dalam konteks internet banking, misalnya nasabah Indonesia lazim menggunakan token berupa alat kecil yang berisikan deret angka. Gunanya adalah sebagai otentifikasi, bahwa Anda benar-benar pengguna yang sah. Tanpa memasukkan token ini atau tidak memasukkan angka token dengan benar, maka Anda tidak memiliki akses ke dalam sistem. Ini mirip seperti PIN (Personal Identification Number). Sederhananya, token dalam konteks itu adalah selayak kata sandi alias password, hanya saja lebih dinamis, karena angka yang dimasukkan bersifat acak setiap kali hendak masuk ke dalam sistem.
Dalam bidang berbeda, token yang berwujud fisik juga lazim dikenal di kasino. Misalnya ada satu token berwarna biru, misalnya senilai US$500 ribu. Nantinya token ini dapat ditukar menjadi uang sungguhan dan sebaliknya. Token ini sangat bermanfaat untuk mempermudah transaksi ketika Anda bermain judi, daripada menggunakan uang sungguhan.
Istilah token juga dikenal pada sistem meteran listrik prabayar di Indonesia. Token dalam hal ini mirip seperti voucher untuk mengisi pulsa pada telepon selular. Token listrik PLN misalnya mewakili jumlah daya yang bisa diisikan pada sistem listrik di rumah Anda. Token tersebut pun memiliki denominisasi tersendiri yakni rupiah, sehingga dapat diperjualbelikan.
Pengertian token yang kedua ini lebih mendekati makna token dalam konteks blockchain, yaitu sesuatu (baik fisik ataupun digital) yang mewakili (representing) sesuatu agar mudah dikirimkan, dipertukarkan antar pengguna.
“Token [dalam konteks non-blockchain] mewakili sesuatu yang lain dan bisa dibentuk ke dalam wujud yang lain. Surat Izin Mengemudi (SIM) Anda misalnya, pada prinsipnya adalah token, karena mewakili sahnya Anda mengemudi kendaraan bermotor. Data pada SIM tersebut bisa dibuatkan token-nya di blockchain dengan fungsi serupa,” kata Joseph Lubin, Pendiri Ethereum.
Misalnya ada BAT (Basic Attention Token) yang dibuat di atas blockchain Ethereum. Token ini mewakili nilai (berupa angka) tertentu sehingga dapat dipertukarkan antar pengguna, khususnya di peramban (browser) Brave sebagai bentuk imbalan. Dalam hal ini token itu mewakili sebuah konsep atau gagasan tertentu.
Untuk membuat token seperti ini pun terbilang sangat mudah. Karena selain blockchain Ethereum tersedia secara publik, sistem ini tidak dikendalikan secara resmi oleh pemerintah negara manapun. Ini berbeda dengan sistem uang elektronik (e-money) di Indonesia, sistemnya diawasi oleh negara melalui badan-badan terkait. Ingat e-money ini pun pada prinsipnya sama seperti token, karena digunakan untuk mengakses fungsi tertentu (belanja, membayar biaya tol) dan mewakili nilai rupiah.
Sekarang kita mencoba mendekati sektor manajemen aset tradisional, seperti saham, surat utang negara ataupun valas, termasuk uang, dengan konsep token ini.
Manajemen aset tradisional, yang non-blockchain, melibatkan banyak tangan manusia atau istilah kerennya “padat karya”. Biasanya diproses melibatkan sejumlah perantara, termasuk badan-badan pemerintah. Jenis aset tertentu, seperti saham di bursa efek, surat utang (bond) atau properti bahkan aset tanah sangat-sangat rumit untuk dikelola. Saking rumitnya, dan walau sudah elektronis, bisa menjadi halangan bagi banyak orang untuk mengaksesnya.
Dan saking “ketinggalan zamannya” aset tradisional itu perlu sejumlah dokumen legal untuk memastikan aspek kepemilikan dan alih kepemilikan dari satu orang ke orang lain. Selain lambat, sistem lama ini tidak transparan dan kurang mampu mencegah penipuan yang sangat lazim terjadi.
Contoh paling sederhana misalnya aset berupa uang kertas. Uang kertas, walaupun memiliki nomor seri, relatif sangat sulit dilacak. Tak heran koruptor lebih doyan menerima uang tunai kertas sebagai medium suapnya. Kalau ditransfer melalui bank lebih mudah dilacak, karena sistem perbankan diawasi oleh negara melalui badan-badan pemerintah.
Ini berbeda dengan konsep tokenisasi, di mana semua bentuk aset, baik fisik ataupun elektronik dibuat versi digitalnya di blockchain, sehingga memudahkan proses transfer, audit dan pelacakan. Misalnya Anda memiliki sebuah rumah lalu dijual kepada orang lain, Anda dapat membuat token khusus untuk proses ini sehingga dapat dijadikan bukti bahwa Anda tidak lagi memiliki rumah tersebut. Pihak lain cukup membuka blockchain explorer dan melihat token tersebut sudah berada di address yang lain, tak lagi di address Anda.
Namun, akan berbeda kisahnya jikalau menggunakan blockchain seperti Monero ZCash, karena metode pengacakannya lebih rumit, sehingga token tertentu tidak dapat dilacak pangkal dan akhirnya, termasuk jumlah value yang dikirimkan.
Lagipula, mengingat sifat blockchain adalah permanent alias kekal, maka tingkat trust-nya lebih tinggi. Ingat, setiap kali data digital disimpan di blockchain, ia tak dapat dihapus. Jadi, kalau Anda sudah mentransfer beberapa token ke address lain, maka ia tak dapat dikembalikan lagi oleh sistem.
Dalam sistem biasa, alih kepemilikan aset rumah harus melalui notaris dan diwakili oleh sejumlah dokumen fisik terkait. Di blockchain dan dibuatkan token-nya, proses notarisasi ini dapat disimulasikan, sehingga mampu mengatasi kerumitan dan lambannya proses.
Dalam ranah blockchain, melalui tokenisasi ada dua jenis umum token, yakni utility tokens (token utilitas) dan security tokens (token sekuritas).
Utility atau utilitas berarti “penggunaan; yang memiliki manfaat khusus” adalah aset digital yang memberikan akses kepada pemiliknya terhadap produk atau layanan yang dihasilkan oleh perusahaan. Ingat kata kuncinya adalah “memberikan akses”. Ini serupa dengan token listrik PLN yang digunakan untuk mengakses daya listrik yang diwakilinya. Jika nomor token listriknya benar, maka Anda memiliki akses terhadap daya listrik itu, dan sebaliknya.
Sedangkan token sekuritas mencakup produk produk investasi efek, yakni saham, obligasi (surat utang negara atau perusahaan/bond), valuta asing, emas, rumah dan lain sebagainya. Jadi, dalam hal ini token sekuritas mewakili hal-hal fisik sebelumnya, yang nilainya dianggap setara dengan aset aslinya.
Misalnya saham BBRI di bursa efek Indonesia, itu adalah simbol saham perusahaan Bank Negara Indonesia yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia. BBRI itu dapat dibuatkan tokennya di blockchain, tetapi tetap mewakili nilai saham BBRI di Bursa Efek Indonesia dan bisa diperdagangkan. Masalahnya tokenisasi menggunakan blockchain terhadap sekuritas di Indonesia belum mendapat lampu hijau. Padahal, jikalau ini dilakukan akan memudahkan perdagangan efek di Bursa Efek Indonesia, sebab tidak memerlukan final settlement perdagangan hingga berhari-hari, karena semua terekam kekal dan transparan di blockchain.
Di atas itu semua, tokenisasi memerlukan sejumlah peraturan khusus, apalagi kalau menggunakan blockchain publik seperti Ethereum atau blockchain publik lainnya. Jikalau jenis token sekuritas bisa diterapkan di sistem perdagangan di Bursa Efek Indonesia, maka sistem blockchain itu harus terintegrasi penuh ke sistem perdagangan elektronis bursa saat ini, agar lebih mudah dalam pengawasannya, atau Bursa Efek Indonesia membuat sistem blockchain sendiri.
Pun kalau Indonesia mau, ada tokenisasi terhadap uang rupiah kita, tetapi versi resminya. Bank Sentral Tiongkok sudah melakukan itu, karena mereka tahu tokenisasi menggunakan blockchain (walaupun diklaim tak sepenuhnya), mempermudah transfer yuan lintas negara secara cepat, mudah dan aman. [Red]