Penelitian: Bitcoin Belum Bisa “Go Green”

Dampak penambangan dan pemrosesan transaksi Bitcoin terhadap lingkungan hidup telah lama menjadi perdebatan. Sejumlah penyokong Bitcoin beralasan, dampak ini bisa dikurangi dengan memakai sumber energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Tetapi, sebuah laporan baru yang diterbitkan jurnal Joule mengungkapkan sebaliknya.

Alex de Vries, seorang spesialis blockchain, melalui penelitiannya menyatakan, dampak terhadap lingkungan hidup akan pemrosesan transaksi Bitcoin lebih parah dibandingkan dengan sistem keuangan lain. Menurut de Vries, menghitung biaya transaksi Bitcoin adalah hal yang rumit. Tetapi, menggunakan serangkaian kalkulasi sederhana, dapat disimpulkan biaya penambangan Bitcoin lebih tinggi.

Berdasarkan kalkulasi tersebut, biaya energi Bitcoin lebih besar dibandingkan banyak negara-negara kecil. De Vries menjelaskan bahwa jaringan Bitcoin, dengan kebutuhan listrik rata-rata sebesar 491,4-765,4 kWh per transaksi, lebih rakus energi dibandingkan sistem keuangan tradisional.

“Energi listrik yang digunakan Bitcoin menyaingi negara kecil seperti Luksemburg, dengan beban listrik rata-rata empat bohlam lampu per transaksi Bitcoin yang diproses,” kata de Vries.

Perhitungan de Vries menjadi salah satu perdebatan terpanas melawan Bitcoin. Hal utama yang disoroti adalah terkait provinsi Sichuan di Tiongkok, di mana terjadi hampir 50 persen pemrosesan transaksi Bitcoin.

Laporan de Vries mengindikasikan produksi energi di wilayah tersebut turun drastis di kala musim kemarau. Pada musim itu, energi tambahan harus diimpor untuk menjalankan jaringan Bitcoin sehingga mengakibatkan pemakaian karbon lebih tinggi.

Pemakaian energi Bitcoin terbilang dramatis jika dibandingkan dengan Visa atau jaringan keuangan lain. Berdasarkan perhitungan de Vries, satu transaksi Bitcoin menghasilkan sekitar 233 hingga 263 kg karbondioksida. Di sisi lain, satu transaksi Visa menghasilkan hanya beberapa gram CO2.

“Kebutuhan energi yang luar biasa tersebut dapat mendorong tumbuhnya jaringan penghasil listrik yang besar, sehingga dampak lingkungan menjadi lebih besar pula. Dalam skenario terburuk, hal ini bisa memunculkan insentif untuk membangun pembangkit listrik tenaga batubara untuk memenuhi kebutuhan energinya,” katanya.

Hasil penelitian de Vries tersebut bisa memicu perdebatan tentang pemrosesan transaksi. Ethereum, kripto terbesar kedua, menghimbau perpindahan ke Proof of Stake (Pos) dari Proof of Work (PoW) untuk menjawab permasalahan krisis energi. Perpindahan tersebut seharusnya terjadi di hard fork Constantinople.

Namun, protokol PoS untuk menghasilkan blok masih memiliki beberapa galat (errot) tertentu. Bahkan, galat tersebut begitu dramatis sehingga sejumlah pihak menginginkan protokol PoS sepenuhnya ditutup dengan dalih keamanan.

Terlepas dari perdebatan teknologi, jaringan Bitcoin semakin diawasi. Bagi para Bitcoin Maksimalis,” konsumsi energi tersebut bukan masalah. Tetapi, agar adopsi dapat bertumbuh, harus ada solusi. Laporan dari de Vries menyimpulkan sumber energi terbarukan belum menjadi jawabannya.

“Mengingat tantangan memadukan penambangan Bitcoin dengan energi terbarukan, beserta fakta bahwa energi bukan satu-satunya dampak Bitcoin terhadap lingkungan, kami menyimpulkan energi terbarukan bukanlah jawaban bagi permasalahan keberlanjutan Bitcoin,” pungkas de Vries. [beincrypto.com/ed]

Terkini

Warta Korporat

Terkait